Menteri Milenial di Kabinet, Pakar Organisasi Tekankan 3 Mentalitas Penting

Selasa, 29 Oktober 2019 - 17:51 WIB
Menteri Milenial di Kabinet, Pakar Organisasi Tekankan 3 Mentalitas Penting
Menteri Milenial di Kabinet, Pakar Organisasi Tekankan 3 Mentalitas Penting
A A A
JAKARTA - Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk beberapa generasi milenial untuk menduduki posisi menteri dan wakil menteri (wamen) di Kabinet Indonesia Maju mendapat apresiasi banyak pihak. Pakar organisasi yang juga guru besar Universitas Indonesia (UI) Martani Huseini mengatakan, dalam organisasi hal terpenting adalah kemauan dalam berkolaborasi dan mendengarkan aspirasi.

Merujuk kepada "Theory U" dari Otto Scharmer, Martani menekankan tiga mentalitas kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin transformasional yaitu open mind, open heart, dan open will. “Tanpa memandang usia, pemimpin itu harus mau open mind, open heart, open will. Dalam organisasi, pemimpin harus mau belajar, mendengar, bertutur, itu harus dilakukan,” katanya kepada SINDOnews, Selasa (27/10/2019).

Dalam buku The Essentials of Theory U, Otto Scharmer yang merupakan pengajar senior dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Boston menjelaskan, melalui Teori U seorang pemimpin bisa melakukan metode manajemen perubahan untuk mengubah pola perilaku yang tidak produktif. Teori U memungkinkan para pemimpin dan organisasi di semua industri dan sektor bergerak dari ego ke eco (mengamati lingkungan) untuk mempengaruhi masa depan melalui tindakan. (Baca juga: Angela Tanoesoedibjo Satu-satunya Wamen Perempuan dan Termuda )

Martani pun mengapresiasi komitmen salah satu menteri milenial yaitu Menteri Pendidikan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang menyatakan dalam tiga bulan pertama menjabat menteri, mantan CEO Gojek itu ingin mendengarkan semua pendapat para ahli di bidang pendidikan.

“Berarti sudah terjawab bahwa dia mau mendengar dan belajar. Jadi sebetulnya tidak ada masalah meskipun Nadiem itu masih muda dan tidak berlatarbelakang akademisi,” tukas Chairman Center for Innovative Governance UI ini. (Baca juga: RI Lima Besar Ekonomi Dunia Jadi Tantangan Kabinet Baru Jokowi )

Melalui proses mendengar dan belajar yang terus-menerus, kata Martani, maka seorang pemimpin akan berubah dari yang semula tidak menyadari bahwa dirinya tidak mampu (unconscious incompetence) menuju kemampuan yang tidak disadari (unconscious competence).

“Lama-lama kalau sudah khatam baru bisa menjadi concious competence. Ini memang perlu waktu. Kecepatan untuk mencapainya juga tergantung kemampuan otak dan kemauan belajarnya yang extraordinary,” tuturnya.

Martani melanjutkan, pemimpin harus menempatkan diri sebagai pembelajar atau pendamping dalam belajar bersama-sama (co-learner). Ada dua hal berbeda dalam pembelajaran. Pertama, belajar dengan merefleksi hasil dari masa lalu.

Kedua, belajar dengan merasakan dan mengaktualisasikan kemungkinan yang muncul di masa depan. “Saya lihat Nadiem ini tipe yang kedua karena dia punya latar belakang inovasi,” ucapnya. (Baca juga: Ditunjuk Jadi Menteri, Nadiem Makarim Mundur dari Gojek )

Lebih lanjut, Martani berpesan agar para pemimpin dan menteri baru menempatkan dirinya sebagai pembelajar ataupun co-learner dalam organisasi. “Hal yang sama dengan para wakil menteri yang beberapa juga dari kalangan muda, jadilah pembelajar dan mau mendengarkan. Kalau dia merasa paling pintar ya selesai sudah. Itu kan mindset,” pungkasnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0204 seconds (0.1#10.140)