Komunikasi Politik di Lingkaran Istana Dinilai Perlu Dibenahi

Senin, 14 Oktober 2019 - 14:10 WIB
Komunikasi Politik di Lingkaran Istana Dinilai Perlu Dibenahi
Komunikasi Politik di Lingkaran Istana Dinilai Perlu Dibenahi
A A A
JAKARTA - Kegaduhan politik belakangan ini ditengarai akibat buruknya sistem komunikasi politik Istana. Pihak Istana dianggap tidak mampu mengajak masyarakat untuk memahami dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah.

Beberapa orang dalam Istana justru terkesan menciptakan distorsi pemahaman publik yang berdampak pada resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Parahnya lagi, Presiden Jokowi seolah berjalan sendirian, sementara yang lain sibuk menyelamatkan diri masing-masing untuk sejumlah kepentingan di kabinet dan jabatan lainnya di periode baru ini.

Pola komunikasi Istana ini menjadi catatan kritis para alumni atau penyatu Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang disampaikan Inisiator/Koordinator Forum Sahabat Alumni PMKRI, Emanuel Migo dalam keterangannya, Senin (14/10/2019).

Menurut Migo, sapaan Emanuel Migo, catatan tersebut merupakan hasil diskusi yang berkembang pada acara Ngobrol Pintar (Ngopi Bareng Sabtu) pekan lalu. Adapun alumni yang hadir antra lain Politikus PDIP Restu Hapsari dan Yohanes Fransiskus Lema (Anggota DPR RI Fraksi PDIP), Pengamat Politik Sebastian Salang, dan Politikus PKB yang juga mantan TKN Jokowi-Ma’ruf Antonius Doni Dihen.

Sedangkan dari kalangan profesional yang hadir di antaranya Gaudens Wodar, Leonardo J Renyut, dan Emanuel Migo, Stefanus Asat Gusma. Sementara itu, hadir pula dari kalangan pengacara Monica, Emanuel Herdiyanto serta blogger Priyo Husodo, pegiat LSM Indro Surono dan Gaby Sola.

Migo mengungkapkan para alumni PMKRI mencatat bahwa dalam perkembangan terakhir tampaknya komunikasi politik di lingkaran Istana sering melakukan blunder dalam menanggapi isu-isu yang berkembang. Respons Istana atas sebuah masalah di media sering sekali menjadi bola liar yang tidak terkendali di publik.

Misalnya pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bahwa KPK menghambat masuknya investasi di Indonesia. Termasuk pernyataan Moeldoko soal buzzer politik Istana.

Selain itu, pernyataan Tenaga Ahli Madya KSP Ali Mochtar Ngabalin soal situasi dan kasus Papua yang penanganannya tampak tidak terorkestrasi dengan baik. Juga soal statemen Menko Polhukam Wiranto bahwa pengungsi gempa Ambon membebani negara ini turut menambah riuh situasi politik. Hal-hal inilah yang turut dibedah tuntas saat acara Ngopi Sabtu yang dihadiri para tokoh alumni PMKRI lintas generasi dan profesi.

Alumni PMKRI menilai ada masalah besar di lingkaran Istana terkait pengelolaan dinamika politik, terutama tentang pengelolaan komunikasi politik yang dibangun.

Tercatat bahwa pada 2017, Jokowi pernah mengeluhkan komunikasi politik ke publik yang belum maksimal dan kurang luas menjangkau publik. Jokowi gerah dan sudah beberapa kali mengingatkan namun tidak juga ada perbaikan. Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi sangat dirugikan dengan lemahnya komunikasi politik Istana.

Sebagai presiden di periode kedua, Jokowi perlu sekali dukungan yang maksimal dalam hal komunikasi politik Istana. Pengalaman pada periode pertama penting sebagai bahan evaluasi agar pengelolaan komunikasi politik ini ditinjau kembali dan ditata ulang.

Kritik buruknya komunikasi politik Istana saat ini harus diperbaiki dalam tataran siapa yang harus bicara apa dan dengan cara bagaimana. Tidak semua hal harus diberikan porsinya kepada presiden yang menyampaikan ke publik. Lalu, pesan yang keluar harus jadi pembuka sumbatan saluran ke dan dari publik, bukan sebaliknya malah terjadi disinformasi.

Di akhir diskusi Ngopi Sabtu, para alumni PMKRI juga merekomendasikan agar Presiden Jokowi serius menata ulang tim dan perangkat komunikasi politiknya. Harus ada pembantu presiden yang mampu mensinkronkan pemikiran para tokoh, jaringan gerakan rakyat, mahasiswa dan kelompok-kelompok lainnya. Istana harus mampu menghimpun aspirasi masyarakat.

Lagi-lagi tujuan komunikasi politik adalah membentuk persepsi publik yang baik dan juga membentuk opini publik yang positif. Citra politik secara keseluruhan terbentuk berdasarkan informasi yang diterima masyarakat secara langsung maupun melalui media dan media sosial. Pesan politik harus disampaikan dengan lugas, oleh orang-orang yang paham persoalan dan mumpuni.

Rakyat bukan hanya sebagai khalayak saja dalam komunikasi politik melainkan juga komunikator dalam model komunikasi timbal balik yang secara aktif memberikan penilaian. Persepsi dan kesan yang buruk pasti akan sangat merugikan presiden dan dapat berdampak pada berkurangnya dukungan dari rakyat. Presiden tidak boleh hanya mengandalkan media sebagai tempat ”curhat” tanpa kejelasan sistem informasi publik yang seharusnya tercermin dalam pengelolaan komunikasi politik Istana.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3614 seconds (0.1#10.140)