Wacana Sertifikasi Halal Transportasi dan Logistik Dinilai Kurang Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wacana pemerintah menerapkan sertifikasi halal untuk angkutan transportasi logistik jalan raya (truk), dinilai tidak berdasarkan pertimbangan menyeluruh dan terkesan mengada-ada. Hal ini ditegaskan oleh Pengamat Transportasi, Bambang Haryo Soekartono (BHS).
BHS menjelaskan, bidang transportasi logistik jalan raya tidak memungkinkan untuk diterapkan sertifikasi halal. Karena komponennya sangat banyak yang perlu diawasi.
"Transportasi itu kan selalu bergerak. Arah dan tujuannya tidak bisa diketahui oleh Pemerintah. Karena setiap bergerak, transportasi logistik tidak wajib melaporkan kepada regulator/pemerintah," kata Bambang Haryo, Kamis (29/8/2024).
"Selama perjalanan itu apakah memenuhi ketentuan halal atau tidak, Siapa yang tahu? Bahkan pemilik truk pun sulit mengetahui pergerakan yang dilakukan oleh pengemudi," tambah Anggota DPR-RI terpilih 2024-2029 ini.
BHS menegaskan, jadi walaupun bersertifikasi halal, tapi dalam perjalanannya tidak bisa dipastikan apakah tetap halal atau tidak.
"Sehingga, akan sulit menentukan, suatu alat transportasi masih memenuhi standar kehalalan atau tidak. Jika suatu alat transportasi truk harus disertifikasi halal, artinya pengemudi alat transportasi halal tersebut juga harus bersertifikasi halal. Tentu harus memenuhi sertifikasi halal juga. Masalahnya bagaimana penetapan standar halal untuk pengemudi alat transportasi tersebut," jelasnya.
"Kan bisa dalam perjalanan pengemudinya melakukan tindakan-tindakan yang tidak halal. Apakah BPJPH selaku pemegang otoritas standar kehalalan sanggup untuk memantau 6 juta truk yang ada di seluruh Indonesia? Kalau iya, mereka harus menyiapkan 6 juta orang untuk ikut di setiap truk mengawasi perjalanan logistik dan tindakan dari supir truk," sambungnya.
Menurutnya, bila Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH akan menjalankan hal tersebut, tentunya infrastruktur jalan raya yang dilewati oleh truk semuanya harus disertifikasi halal.
"Demikian juga kuli-kuli yang mengangkut produk halal, tentunya juga harus bersertifikasi halal. Demikian juga ceane crane yang ada di pelabuhan serta lapangan penumpukan, pelabuhan juga harus halal dong? Ini adalah suatu kebijakan yang aneh dan terkesan mengada-ngada," tegasnya.
BHS menegaskan sektor transportasi ini berbeda dengan produk makanan atau pun minuman, yang produksinya di satu tempat dan bisa dipantau secara berkala.
"Transportasi jalan raya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 dimana tidak ada ketentuan sertifikasi halal di dalamnya. Yang ada hanya lah tentang standarisasi keselamatan, keamanan dan kenyamanan / pelayanan minimum," ungkapnya.
"Jadi sertifikasi halal terkesan mengada ngada untuk BPJPH mencari uang untuk negara dengan mengorbankan kepentingan yang lebih luas, dan tentu ini akan membuka celah baru untuk korupsi atau gratifikasi," tutup BHS.
BHS menjelaskan, bidang transportasi logistik jalan raya tidak memungkinkan untuk diterapkan sertifikasi halal. Karena komponennya sangat banyak yang perlu diawasi.
"Transportasi itu kan selalu bergerak. Arah dan tujuannya tidak bisa diketahui oleh Pemerintah. Karena setiap bergerak, transportasi logistik tidak wajib melaporkan kepada regulator/pemerintah," kata Bambang Haryo, Kamis (29/8/2024).
"Selama perjalanan itu apakah memenuhi ketentuan halal atau tidak, Siapa yang tahu? Bahkan pemilik truk pun sulit mengetahui pergerakan yang dilakukan oleh pengemudi," tambah Anggota DPR-RI terpilih 2024-2029 ini.
BHS menegaskan, jadi walaupun bersertifikasi halal, tapi dalam perjalanannya tidak bisa dipastikan apakah tetap halal atau tidak.
"Sehingga, akan sulit menentukan, suatu alat transportasi masih memenuhi standar kehalalan atau tidak. Jika suatu alat transportasi truk harus disertifikasi halal, artinya pengemudi alat transportasi halal tersebut juga harus bersertifikasi halal. Tentu harus memenuhi sertifikasi halal juga. Masalahnya bagaimana penetapan standar halal untuk pengemudi alat transportasi tersebut," jelasnya.
"Kan bisa dalam perjalanan pengemudinya melakukan tindakan-tindakan yang tidak halal. Apakah BPJPH selaku pemegang otoritas standar kehalalan sanggup untuk memantau 6 juta truk yang ada di seluruh Indonesia? Kalau iya, mereka harus menyiapkan 6 juta orang untuk ikut di setiap truk mengawasi perjalanan logistik dan tindakan dari supir truk," sambungnya.
Menurutnya, bila Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH akan menjalankan hal tersebut, tentunya infrastruktur jalan raya yang dilewati oleh truk semuanya harus disertifikasi halal.
"Demikian juga kuli-kuli yang mengangkut produk halal, tentunya juga harus bersertifikasi halal. Demikian juga ceane crane yang ada di pelabuhan serta lapangan penumpukan, pelabuhan juga harus halal dong? Ini adalah suatu kebijakan yang aneh dan terkesan mengada-ngada," tegasnya.
BHS menegaskan sektor transportasi ini berbeda dengan produk makanan atau pun minuman, yang produksinya di satu tempat dan bisa dipantau secara berkala.
"Transportasi jalan raya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 dimana tidak ada ketentuan sertifikasi halal di dalamnya. Yang ada hanya lah tentang standarisasi keselamatan, keamanan dan kenyamanan / pelayanan minimum," ungkapnya.
"Jadi sertifikasi halal terkesan mengada ngada untuk BPJPH mencari uang untuk negara dengan mengorbankan kepentingan yang lebih luas, dan tentu ini akan membuka celah baru untuk korupsi atau gratifikasi," tutup BHS.
(maf)