Revisi UU KPK Dinilai Perlu Dikawal untuk Pengembangan Lembaga Antikorupsi

Selasa, 17 September 2019 - 00:06 WIB
Revisi UU KPK Dinilai Perlu Dikawal untuk Pengembangan Lembaga Antikorupsi
Revisi UU KPK Dinilai Perlu Dikawal untuk Pengembangan Lembaga Antikorupsi
A A A
JAKARTA - Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dinilai perlu dikawal. Tujuannya, agar poin-poin penting yang diperlukan dalam pengembangan KPK masuk dalam revisi tersebut.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang Hukum dan Regulasi, Melli Darsa mengatakan bahwa yang namanya sebuah organisasi atau institusi pasti harus selalu berkembang mengikuti perubahan zaman.

"Jadi lebih baik kita kerahkan energi dan pikiran kita untuk mengawal proses RUU KPK agar memerhatikan poin-poin berikut, yaitu peningkatan kualitas SDM, nilai dan budaya institusi, tata kelola dan pengendalian, serta akuntabilitas dan transparansi,” ujar Melli Darsa, dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/9/2019).

Dia mengatakan, check and balances biasa dalam hukum tata negara. Jadi, revisi UU KPK itu dianggap tidak perlu diributkan. Yang paling utama, KPK tetap ada independensi dalam penetapan tindakan, aksi, dan penilaian profesional terhadap tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Melli memberikan contoh, Dewan Pengawas tidak akan mengurangi independensi KPK. Yang penting, kata dia, anggota dari Dewan Pengawas itu dijaga profesionalitasnya.

"Dan ibaratnya lebih sebagai two tier structure seperti halnya di Badan Hukum Perseroan Terbatas pada umumnya. Ada direksi, ada komisaris. Keduanya sejajar, saling melengkapi, saling memperkuat, dan selama dibentuk dengan benar komisaris tidak melemahkan direksi,” kata Melli.

Selain itu, Melli menuturkan bahwa revisi UU KPK perlu dilanjuti nantinya dengan revisi UU Tipikor. Menurut dia, merevisi UU KPK tanpa merevisi UU Tipikor seperti mempunyai smartphone lebih bagus, tapi software-nya tidak update.

"Ini dikarenakan UU Tipikor terkait erat dengan doktrin-doktrin keuangan negara dalam arti luas di dalam UU Perbendaharaan Negara. Paradigma keuangan negara dalam arti luas dari UU Perbendaharaan Negara saat ini masih menimbulkan banyak ketidakpastian bagi dunia usaha,” kata Melli yang juga pernah menjadi sukarelawan di YLBHI semasa menjadi mahasiswi tingkat pertama di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan sejak lama sudah menjadi penggiat antikorupsi itu.

Salah satu contohnya, lanjut dia, adalah pasal di dalam UU Tipikor yang mengatur bahwa tindak pidana korupsi meliputi perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara. Konsep itu dalam praktiknya dinilai masih diartikan terlalu kaku dan normatif, sehingga sebuah transaksi bisnis atau corporate action yang biasa dilakukan di dunia usaha dapat disalahartikan sebagai tindakan korupsi hanya karena masalah prosedural.

“Contoh lain, terkait dengan corporate action di BUMN yang sering kali dikaitkan dengan definisi potensi kerugian keuangan negara dari UU Perbendaharaan Negara. Padahal perlu kita ingat aset dan keuangan BUMN sudah dipisahkan dari APBN dan dalam bisnis yang namanya potensi rugi pasti ada. Tapi kan bukan berarti perusahaan ingin rugi atau sengaja merugi. Maunya pasti untung dengan strategi korporasi yang terukur dan mengelola dengan baik risiko yang ada," jelas Melli.

Dia mengungkapkan, hal tersebut merupakan doktrin yang sering kali menimbulkan kerancuan definisi dan berpotensi menjadi pasal karet yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha.

“Umpamanya BUMN melakukan transaksi derivatif atau Haircut Non-Performing Loan, itu kan biasa saja sebenarnya di dunia usaha dan tidak ada niat jahat di situ. Jadi jangan langsung dicap BUMN tersebut melakukan korupsi. Kita harus ingat bahwa di dunia usaha yang namanya corporate action atau investasi itu return-nya tidak dalam jangka pendek,” pungkasnya.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9784 seconds (0.1#10.140)