Menyudahi Pelemahan KPK

Selasa, 10 September 2019 - 06:55 WIB
Menyudahi Pelemahan...
Menyudahi Pelemahan KPK
A A A
Muhamad SalehPeneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK)Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah pemberantasan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan.

Dalam merespons tuntutan itu, MPR menetapkan ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Konsideran Tap MPR tersebut, antara lain menyatakan bahwa pemberantasan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius serta merupakan kejahatan luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pelemahan KPK

Berdasarkan sejarah penanganan korupsi di Indonesia, telah ada sekitar 13 kali lembaga antikorupsi dibuat 'tidak hidup' dan tidak berjalan efektif.

Pada titik ini kita bisa mengambil sebuah hipotesis bahwa salah satu penyebab mengapa segenap upaya mewujudkan cita-cita proklamasi yang ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial tidak bisa dilakukan secara paripurna dan konsisten, karena upaya pemberantasan korupsi tidak pernah dilakukan secara utuh.

Pada periode Orde Lama, ada sekitar lima lembaga mulai dari Badan Koordinasi Penelik (1957), Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959), Panitia Retooling Aparatur Negara (1960), Operasi budi (1953), Komando Retooling Aparatur Revolusi (1964).

Begitu pun dalam periode Orde Baru ada sekitar empat lembaga yang meliputi Tim Pemberantasan Korupsi (1967), Komisi 4 (1970), Operasi Penertiban (1977), Tim Pemberantasan Korupsi (1982).

Hal yang menyedihkan di Era Orde Reformasi juga pernah dibuat Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (1999), Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000), dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2005), yang pada akhirnya dibunuh oleh kekuasaan (Indrayana, 2016).

Serangan balik koruptor di republik ini kelihatannya memang bukan hanya isapan jempol. Ada berbagai upaya yang ditujukan untuk mendekonstruksikan eksistensi KPK. Upaya yang dilakukan, pertama, melumpuhkan kepastian dan merusak kredibilitas sumber daya manusianya.

Hal ini terlihat dengan pimpinan KPK dan komposisinya bukan sumber daya terbaik yang dihasilkan dalam proses seleksi. KPK satu-satunya lembaga negara yang ketuanya dipilih sendiri oleh DPR, padahal ini tidak terjadi pada Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, menghancurkan eksistensi kelembagaannya.

Hal ini dilakukan terus menerus membangun wacana untuk membubarkan KPK dengan argumen lembaga tersebut bersifat ad hoc. Upaya ini dilakukan melalui serangan legislasi dengan mengulirkan wacana revisi UU KPK.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada tiga draf Revisi UU KPK, yaitu periode 2012, Oktober 2015, Februari 2016, dan terbaru pada draf revisi September 2019. Selain itu, upaya pelemahan juga melalui permohonan judicial review di MK. Sedikitnya 15 kali UU KPK diajukan untuk diuji di MK.

Ketiga, menyabotase program pemberantasan korupsi, baik melalui anggaran, intervensi pada forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dan DPR, serta penyerobotan kasus yang sedang ditangani KPK.

Keempat, kriminalisasi terhadap komisioner KPK seperti yang pernah dialami beberapa pimpinannya dan bahkan ada upaya penyerangan terhadap penyidik, salah satunya pernah dialami Novel Baswedan.

Kelima, serangan kelembagaan, yaitu dari lembaga DPR melalui hak angket. Upaya ini kian menkghawatirkan karena KPK seolah-olah terus dicari-cari kesalahannya.

Penguatan KPK

Pengaturan KPK hanya lewat UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika ditinjau dari aspek hukum tata negara, masih memiliki risiko besar dibandingkan lembaga-lembaga lain yang diatur dalam UUD.

Pertama, menimbulkan kerancuan pengertian lembaga negara sebagai (organs of state ). Kedudukan dan wewenangnya tidak bersifat konstitusional. Kedua, eksistensi susunan, tugas, dan wewenang ditentukan (tergantung) DPR dan Presiden.

Ketiga, pengaturan lewat undang-undang merupakan objek yang bisa dimohonkan untuk diuji MK. Keempat , karena hanya diatur melalui undang-undang, KPK menjadi tidak mempunyai kedudukan atau previlage yang sama dengan lembaga yang diatur dalam UUD.

Atas dasar hal tersebut, maka gagasan memperkuat posisi KPK sesungguhnya bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Gagasan itu ialah dengan memasukkan KPK menjadi organ konstitusi (constitutional organs ), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur dalam konstitusi.

Seperti yang ada di Afrika Selatan dan Thailand. Penelitian John C. Ackerman, memperlihatkan terdapat 81 negara mencantumkan independent agencies di dalam konstitusinya. Saat ini kecenderungannya konstitusi-konstitusi baru hasil amendemen semakin banyak menempatkan lembaga negara independen sebagai organ konstitusi.

Selain itu, kewenangan KPK yang telah dimiliki sekarang perlu tetap dipertahankan, dibangun mekanisme pengawasan terhadapnya secara eksternal maupun internal (self-control ).

Kemudian pembentukan perwakilan KPK di daerah juga perlu sehingga daya jangkau akan semakin luas, jaminan terhadap ketersediaan anggaran, dan KPK perlu memiliki pegawai tetap sendiri. Semua upaya ini bisa dilakukan apabila ada komitmen dari pemegang otoritas untuk melakukan pemberantasan korupsi yang serius dan segera menyudahi pelemahan KPK.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6921 seconds (0.1#10.140)