Parpol Lokal Papua Bisa Menjawab Persoalan Biaya Politik yang Mahal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia mengenal demokrasi elektoral asimetris atau tidak sama. Karena itu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem ) menyatakan pembentukan partai politik (parpol) lokal di Papua memiliki pijakan yang kuat.
Ada beberapa aturan yang bisa digunakan, antara lain, Pasal 18 ayat 4, Pasal 17 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1 dan 3, serta Pasal 28 H ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Pasal 28 ini banyak dipakai sebagai basis untuk memberikan tindakan khusus sementara atau afirmasi dalam rangka mencapai keadilan,” ujar Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam diskusi daring dengan tema “Menimbang Pembentukan Partai Politik Lokal di Papua”, Selasa (25/8/2020).
(Baca: Parpol Diharapkan Bisa Memilih Calon Kepala Daerah Berintegritas)
Ada empat daerah yang asimetris dari sisi sistem, mekanisme, dan aktor. DKI Jakarta menggunakan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Khusus Ibu Kota Jakarta. di Aceh ada UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Di Papua sendiri ada UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta dimungkinkan dua putaran jika tak ada paslon yang memperoleh suara 50 plus 1. Selain itu, tidak ada pilkada untuk bupati dan walikota. Mereka diangkat oleh Gubernur.
Sementara itu, di D.I.Yogyakarta itu tidak ada pemilihan gubernur. Sementara itu ditilik dari sisi aktor, Aceh diperbolehkan ada partai lokal. “Perlakuan khusus ini untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,” ucapnya.
Titi memaparkan ada satu aturan di Aceh yang menjadi patokan untuk pilkada nasional. Calon perseorangan itu awalnya hanya diperbolehkan di Aceh. Payung hukumnya UU Nomor 11 Tahun 2006.
Kemudian, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Tengah Lalu Ranggalawe menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Lalu ingin calon perseorangan boleh ikut dalam pilkada di provinsi lain.
MK pun mengabulkan gugatan tersebut. Sejak saat itu, pilkada-pilkada kerap diikuti oleh calon perseorangan walaupun syaratnya kian berat. “Calon perseorangan tidak eksklusif di Aceh,” ucap Titi menirukan putusan MK.
Ada beberapa aturan yang bisa digunakan, antara lain, Pasal 18 ayat 4, Pasal 17 ayat 1, Pasal 28 D ayat 1 dan 3, serta Pasal 28 H ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Pasal 28 ini banyak dipakai sebagai basis untuk memberikan tindakan khusus sementara atau afirmasi dalam rangka mencapai keadilan,” ujar Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam diskusi daring dengan tema “Menimbang Pembentukan Partai Politik Lokal di Papua”, Selasa (25/8/2020).
(Baca: Parpol Diharapkan Bisa Memilih Calon Kepala Daerah Berintegritas)
Ada empat daerah yang asimetris dari sisi sistem, mekanisme, dan aktor. DKI Jakarta menggunakan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Khusus Ibu Kota Jakarta. di Aceh ada UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Di Papua sendiri ada UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus.
Lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta dimungkinkan dua putaran jika tak ada paslon yang memperoleh suara 50 plus 1. Selain itu, tidak ada pilkada untuk bupati dan walikota. Mereka diangkat oleh Gubernur.
Sementara itu, di D.I.Yogyakarta itu tidak ada pemilihan gubernur. Sementara itu ditilik dari sisi aktor, Aceh diperbolehkan ada partai lokal. “Perlakuan khusus ini untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,” ucapnya.
Titi memaparkan ada satu aturan di Aceh yang menjadi patokan untuk pilkada nasional. Calon perseorangan itu awalnya hanya diperbolehkan di Aceh. Payung hukumnya UU Nomor 11 Tahun 2006.
Kemudian, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Tengah Lalu Ranggalawe menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Lalu ingin calon perseorangan boleh ikut dalam pilkada di provinsi lain.
MK pun mengabulkan gugatan tersebut. Sejak saat itu, pilkada-pilkada kerap diikuti oleh calon perseorangan walaupun syaratnya kian berat. “Calon perseorangan tidak eksklusif di Aceh,” ucap Titi menirukan putusan MK.