Ikhtiar Menjaga Asa RUU Perampasan Aset

Selasa, 28 Mei 2024 - 17:47 WIB
loading...
Ikhtiar Menjaga Asa...
Nugroho Habibi. FOTO/DOKUMEN PRIBADI
A A A
Nugroho Habibi
Mahasiswa Magister Kebijakan Publik dan Governansi Universitas Indonesia


KORUPSI telah menjadi penyakit kronis di Indonesia yang belum mampu diobati dengan berbagai resep. Ada sejumlah kasus besar yang berhasil diungkap baru-baru ini, di antaranya kasus korupsi tata niaga PT Timah dengan kerugian negara Rp271 triliun sejak 2015-2022, Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo dengan kerugian Rp8,32 triliun, hingga pemerasan dan gratifikasi Rp44,5 miliar di Kementan era Syahrul Yasin Limpo (SYL). Selain itu, masih banyak kasus korupsi lainnya yang sedang ditangani oleh lembaga penegak hukum.

Pengungkapan kasus korupsi juga belum sebanding dengan pengembalian uang negara. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023 memperlihatkan bahwa kasus korupsi telah merugikan negara sebesar Rp29,9 triliun, sedangkan 2022 kerugian akibat tindak pidana korupsi tembus Rp48,786 triliun dengan tingkat pengembalian kerugian melalui pidana tambahan uang pengganti hanya sebesar 7,83% atau Rp3,821 triliun. Apalagi, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 stagnan dengan skor 34 yang menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara.

Upaya pencegahan dan penindakan kasus korupsi sejatinya telah dilakukan oleh pemerintah melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan strategi represif, perbaikan sistem, serta edukasi dan kampanye. Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menitik beratkan pada penindakan subjek hukum orang dan korporasi, pemberantasan korupsi yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, serta penerapan pidana pencucian uang (TPPU) pada kasus-kasus korupsi. Upaya memberantas korupsi akan semakin kuat jika didukung secara konstitusional salah satunya dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP).

Mendorong DPR

Naskah RUU PATP telah dibahas sejak era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2008. Di akhir masa jabatan periode kedua Presiden Joko Widodo, RUU PATP akhirnya masuk dalam daftar 39 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Sayangnya, 16 tahun berlalu RUU PATP tak kunjung dibahas kembali oleh DPR.

RUU PATP kental dengan nuansa politis. Rezim Jokowi ingin mendapatkan legacy atas keseriusannya dalam pemberantasan korupsi sebagai 'kado' untuk bangsa di akhir masa jabatannya. Sedangkan, bagi pejabat publik tidak terkecuali anggota DPR menimbulkan kekhawatiran 'getah' RUU PATP. Sebab, RUU PATP tidak hanya mengatur tentang tindak pidana korupsi tetapi juga yang berhubungan dengan kejahatan yang merugikan perekonomian negara di antaranya; penghindaran pajak, narkotika, penipuan, penggelapan, perjudian dan perusakan lingkungan.

Secara singkat, RUU PATP sebagai komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi dan mengembalikan aset negara yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003. Sebelum RUU PATP disahkan, perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang masih harus melakukan pembuktian pidana asal terlebih dahulu melalui proses persidangan yang cukup panjang.

Sebaliknya, jika RUU PATP dapat disahkan, maka pemrosesan perampasan aset bisa dilakukan lebih cepat melalui analisis profil, perolehan pendapatan, besaran pajak yang disetorkan oleh pejabat berwenang. Hal ini tidak akan mengulangi kejadian kasus yang menjerat mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo yang begitu susahnya melakukan perampasan aset yang mencapai Rp150 miliar. Padahal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafel Alun hanya sebesar Rp50 miliar.

Sebagai institusi negara, Lembaga Legislatif memiliki tiga pilar utama yang dikemukakan oleh William R Scott (2013) yakni, regulatif, normatif dan budaya kognitif. Pilar regulasi merupakan aktivitas proses penyusunannya, rule-setting, monitoring dan sanksi. Pilar normatif sebagai nilai-nilai yang merupakan pedoman bagi pejabat yang menduduki kursi DPR itu sendiri.

Dalam paradigma budaya kognitif, perilaku anggota DPR dipengaruhi oleh proses interpretatif internal dalam kerangka kultural eksternal dan lingkungan kolektifnya. Dalam tarik-ulur RUU PATP, anggota DPR tentu terpengaruh budaya yang ada dalam institusinya. Sehingga patut diduga bahwa belum disahkannya RUU PATP ini disebabkan oleh budaya institusi yang cenderung tidak memberikan perhatian pada sesautu yang tidak menguntungkan. Padahal, sebagian besar konstituen anggota DPR di akar rumput menginginkan RUU PATP dapat segera disahkan.

Jika melihat rekam jejak institusi DPR, tingkat kepercayaan masyarakat selalu rendah. Dalam survey terbaru yang dilakukan Indikator Politik Indonesia yang berlangsung pada 4 April sampai dengan 5 April 2024 dengan jumlah 1.201 responden, menemukan bahwa kepercayaan publik terhadap institusi DPR hanya 56% dan partai politik sebesar 51%, yang menempatkan DPR dalam posisi terendah kedua setelah partai politik.

Membentuk Koalisi Advokasi

Untuk menjaga asa dan mendorong RUU PATP dapat dituntaskan, maka penting untuk membentuk koalisi advokasi. Dalam koalisi advokasi ini tentu ada banyak pihak yang terlibat diantaranya, organisasi anti korupsi, akademisi, praktisi, dan masyarakat. Secara sederhana, agar koalisi ini berjalan dengan baik, organisasi anti korupsi seperti Koalisi Anti Korupsi Indonesaia (KAKI) atau ICW harus menjadi motor penggerak koalisi untuk mempengaruhi pemangku kebijakan.

Menurut Edi Suharto (2005) dalam menjalankan koalisi advokasi ini, dibutuhkan tiga jaringan kerja advokasi. Pertama, supporting units untuk memberikan dukungan berupa dana, logistik, akses dan informasi. Kedua, groundworks untuk membangun basis masa, pendidikan politik, membentuk lingkar inti mobilisasi aksi, dan kampanye. Ketiga, front lines untuk melaksanakan fungsi juru bicara, lobby, negosiasi, terlibat dalam proses legislasi dan litigasi, serta menggalang sekutu. Jika diperkirakan, masalah yang muncul nantinya adalah biaya sehingga diperlukan penggalangan dana melalui platform online untuk mendukung gerakan ini.

Selain itu, untuk memperkuat koalisi ini, diperlukan pemetaan tingkat kepedulian 580 anggota DPR terhadap kasus korupsi, mengingat RUU ini pengusulnya adalah pemerintah. Pasalnya, kekuatan besar yang menjadi penentu cepat tidaknya pembahasan adalah partai politik. Dengan pemetaan kepedulian anggota DPR, setidaknya dapat membantu koalisi advokasi ini dalam meyakinkan pentingnya RUU PATP kepada petinggi partai politik. Untuk menarik kepedulian anggota DPR ini, koalisi perlu memperlihatkan kondisi-kondisi yang terjadi pada konstituen mereka akibat dampak dari korupsi, termasuk meyakinkan bahwa jika RUU PATP disahkan, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi DPR akan berangsur membaik.

Terakhir, koalisi advokasi ini juga harus menggandeng media massa. Media massa yang menjadi pilar keempat demokrasi ini, diharapkan dapat menyuarakan pentingnya pengesahan RUU PATP dengan terus menyinggung RUU PATP dalam pemberitaan agar segera dibahas.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2047 seconds (0.1#10.140)