Stop Ekspor Benih Lobster
loading...
A
A
A
Muhamad Karim
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang mencatat kenaikan fantastis ekspor benih lobster hingga 3.148,99% senilai USD3,67 juta Juli 2020 jadi lampu merah bagi keberlanjutan sumberdaya tersebut. Menariknya lagi 99,9% tujuan ekspornya Vietnam. Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim meminta pemerintah menghentikan kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12/2020. Sikap PBNU, Muhamadiyah, dan Emil Salim tak datang begitu saja. PBNU melalui forum Batsul Masail dan Muhammadiyah menyikapinya lewat kajian ahli perikanan dan fiqih Agama Islam yang kompeten. KKP ternyata tak menggubris sikap kedua ormas Islam ini. Malah ekspor BBL ke Vietnam semakin menjadi gila-gilaan. Apakah kondisi ini tak berpotensi menimbulkan eksploitasi berlebihan BBL di perairan Indonesia yang berujung ancaman kepunahan? Bukankah fenomena ini kian membesarkan Vietnam sebagai negara pembudidaya lobster terbesar dunia dan melemahkan daya saing Indonesia?
Potensi
Laporan FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat 7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton, sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton. Ironisnya, sepuluh negara utama produksi lobster budidaya dunia menempatkan Vietnam di peringkat pertama 1.100 ton dan Indonesia 556 ton. Masalahnya, mengapa BBL diekspor ke Vietnam yang jadi pesaing kita di dunia? Lalu mengapa Indonesia tak memprioritaskan budidaya lobster domestiknya agar mampu menyalip Vietnam?
Mesti dicamkan, status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ternyata mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh (full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur (718) (KKP, 2017).
Ironisnya, lewat Permen KP Nomor 12/2020, pemerintah malah menetapkan kuota BBL di 11 WPPNRI itu sebesar 139.475.000 ekor. Di wilayah tangkap lebih kuotanya 65,037,500 ekor, dan tangkap penuh 74,437,500 ekor yang ditetapkan lewat Keputusan Dirjen Tangkap KKP Nomor 51/2020. Merujuk PP Nomor 75/2015 menetapkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) buat BBL yang masuk kategori crustacea Rp250/1000 ekor. Bila menghitung kuota BBL di WPPNRI, negara hanya memperoleh PNBP Rp34,868,750. Bukankah eksportir yang meraup keuntungan berbasis kuota ini? Merujuk harga rata-rata eksportir BBL ke Vietnam sebesar USD13, eksportir meraup keuntungan kotor USD1,8 miliar. Diasumsikan harga rata-rata di tingkat petani USD0,95, selisihnya jadi USD12,05. Imbasnya, eksportir bakal meraup keuntungan bersih USD1,68 miliar (Petersen et al, 2015). Bukankah ini jomblang ketimbang PNBP yang diterima negara? Dimana letak kebijakan semacam ini berorientasi “pengelolaan” dan menyejahterakan nelayan? Bukankah penetapan kuota malah berorientasi eksploitatif sembari menghancurkan siklus hidup lobster? Kapan lobster berkembang biak dan menjamin keberlanjutan siklus hidupnya dalam rantai makanan di alam (MacArthur et al, 2007)? Bukankan kebijakan ini sejatinya berorientasi perburuan rente dan bisnis an sich yang mengabaikan keberlanjutan sumberdaya?
Peta Perdagangan
Bisnis perdagangan internasional lobster dewasa sepanjang 2001-2019 -non BBL- sungguh menggiurkan. Permintaan ekspor lobster dunia tumbuh rata-rata 5,34% per tahun. Jika, tahun 2001 nilai ekspor dunia USD1,96 miliar, tahun 2019 melonjak dua kali lipat hingga USD4,73 miliar. Negara eksportir utama lobster dunia tahun 2019 yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Ketiganya menguasai share ekspor dunia hingga 66,20%. Posisi Indonesia dan Vietnam hanya bertengger di posisi ke 19 dan 20 dunia dengan share ekspornya 0,68% dan 0,50%. Vietnam yang mengimpor BBL dari Indonesia pernah masuk empat besar dunia tahun 2001 dengan share ekspornya 8,78%. Sesudahnya, tidak lagi masuk 10 besar dunia. Mirisnya, lagi Indonesia sejak tahun 2001 belum pernah masuk 10 besar eksportir lobster dunia (Trademap, 2020). Permasalahannya, bisnis lobster Indonesia sebagian besar tak dilaporkan (unreported), utamanya BBL karena tindakan selundupan. Sepanjang 2015-2019 pemerintah sukses menggagalkan selundupan BBL 8.576.783 ekor senilai Rp8,18 triliun (KKP, 2019) akibat pemberantasan kejahatan perikanan.
Dari sisi importir, China dan Amerika Serikat adalah dua negara importir utama lobster dunia tahun 2019. Nilai share impor keduanya 60,89%. Posisi ini berubah karena sepanjang 2001-2018 Amerika Serikat sebagai importir nomor satu dunia disalip China sejak 2019. Makanya, wajar Vietnam ngotot mengimpor BBL dari Indonesia buat budidayanya agar memperkokoh dirinya sebagai eksportir lobster hasil budidaya. Soalnya Vietnam sebagai pemasok utama permintaan pasar Cina. Posisi Vietnam juga dekat China sehingga ongkos transportasi dan rantai pasoknya lebih efisien. Terbukti, China menguasai USD1,02 miliar (61,78%) dari total impor dunia lobster Panulirus spp tahun 2019 yang nilainya USD1,64 miliar (Trademap, 2020).
Bagaimana konstelasi perdagangan lobster dewasa Indonesia dibandingkan Vietnam? Sepanjang 2010-2015, ekspor Indonesia selalu di bawah Vietnam. Baru tahun 2016-2018 Indonesia menyalip Vietnam. Apa maknanya? Kebijakan Permen KP Nomor 56/2016 yang melarang ekspor BBL efektif mengerem hegemoni Vietnam yang ekspor lobsternya bergantung hasil budidaya yang benihnya diimpor dari Indonesia. Jika, sepanjang 2010-2015 nilai ekspor Vietnam USD 55,83 juta lebih besar dibandingkan Indonesia USD 53,65 juta, Masuk periode 2016-2018 ekspor Indonesia senilai 60,61 juta melampaui Vietnam USD19,50 juta (Trademap, 2020). Semua ekspor lobster Indonesia (96,91%) bersumber dari tangkapan dan sisanya budidaya 3,09% (FAO, 2018).
Memang permintaan impor lobster dunia ke dari China melonjak drastis setiap tahunnya terutama jelang perayaan Imlek. Vietnam amat paham soal itu. Makanya, sejak Maret 2020 ia mengenjot budidayanya supaya jelang perayaan Imlek tahun 2021 sudah mencapai umur panen delapan bulan. Makanya, terbukti hingga Juli 2020 99,9% ekspor BBL dari Indonesia masuk Vietnam. Pertanyaannya, mengapa bukan Indonesia yang memasok pasar China berbasiskan budidaya perikanan lobster yang disokong pengembangan teknologi budidaya dan sumberdaya manusianya? Lantas dimana letak keberpihakan negara lewat Permen KP Nomor 12/2020?
Kebijakan
Menghentikan kebijakan ekspor BBL, bukan berarti sektor perikanan Indonesia kiamat. Di tengah Covid-19 ini budidaya lobster mestinya jadi sumber lapangan kerja baru dan mata pencaharian nelayan. Jangka pendek: Pertama, nelayan tradisional penangkap BBL bisa saja menangkapnya dengan syarat ukuran tertentu. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sehingga mengurangi potensi sampah. Tujuannya memasok pembudidaya/pembesaran keramba jaring apung (KJA) domestik, bukan diekspor. Akibat kebijakan ekspor BBL, pembudidaya mulai kesulitan memperoleh benih. Soalnya eksportir telah memborongnya dari nelayan. Pasokannya pun kian sulit dan harganya selangit tingkat lokal. Pembudidaya terancam gulung tikar. Bukankah kondisi ini mengisyaratkan Permen KP Nomor 12/2020 jauh panggang dari api keberpihakan terhadap pembudidaya domestik? Terlalu absurd menganggapnya sebagai kebijakan pengelolaan.
Kedua, pemerintah mestinya mendorong pembudidaya membesarkan lobster lalu diekspor ke negara tujuan dengan permintaan tinggi. Caranya memfasilitasi pengembangan teknologi budidaya dan kapasitas sumberdaya manusianya. Tak perlu beretorika, Vietnam teknologinya sudah maju hingga kita mengambil jalan pintas lewat ekspor BBL negara itu. Ketiga, membolehkan penangkapan lobster dewasa layak ekspor sesuai aturan Permen KP Nomor 56/2016 dan tidak menangkap indukannya. Terbukti sepanjang 2016-2018 nilai ekspor Indonesia mampu menyalip Vietnam.
Jangka panjangnya, pemerintah mesti mengembangkan teknologi pembenihan (hatchery) berkolaborasi perguruan tinggi dan lembaga riset dalam maupun luar negeri. Memang butuh waktu dan riset yang tekun. Bila sukses pembenihan pemerintah boleh mengekspor BBL tanpa pembatasan. Dampaknya, tercipta lapangan kerja dan sumber pendapatan baru bagi nelayan dan pembudidaya lobster. BBL alam pun tetap aman menjalani rantai siklus hidupnya secara berkelanjutan. Begini mestinya kebijakan memihak serta menyejahterahkan nelayan dan pembudidaya. Bila teknologinya sudah familiar, bakal menarik kaum milenial berbisnis pembenihan BBL sebagai wujud technosociopreneur. Pengalaman keberhasilan teknologi pembenihan ikan patin yang familiar sejak paruh 1990-an, membuat siapapun dapat mengaplikasikannya dalam skala rumah tangga maupun industri. Suksesnya pembenihan mesti dibarengi juga pemulihan stok sumberdaya lobster di alam atau restocking benih dari hatchery. Supaya tercipta keseimbangan antara pemanfaatan dengan pengelolaan lobster secara berkelanjutan lobster di alam. Makanya menyetop ekspor BBL jadi keniscayaan.
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Dosen Universitas Trilogi Jakarta
LAPORAN Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru yang mencatat kenaikan fantastis ekspor benih lobster hingga 3.148,99% senilai USD3,67 juta Juli 2020 jadi lampu merah bagi keberlanjutan sumberdaya tersebut. Menariknya lagi 99,9% tujuan ekspornya Vietnam. Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, dan Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof. Emil Salim meminta pemerintah menghentikan kebijakan ekspor benih bening lobster (BBL) dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12/2020. Sikap PBNU, Muhamadiyah, dan Emil Salim tak datang begitu saja. PBNU melalui forum Batsul Masail dan Muhammadiyah menyikapinya lewat kajian ahli perikanan dan fiqih Agama Islam yang kompeten. KKP ternyata tak menggubris sikap kedua ormas Islam ini. Malah ekspor BBL ke Vietnam semakin menjadi gila-gilaan. Apakah kondisi ini tak berpotensi menimbulkan eksploitasi berlebihan BBL di perairan Indonesia yang berujung ancaman kepunahan? Bukankah fenomena ini kian membesarkan Vietnam sebagai negara pembudidaya lobster terbesar dunia dan melemahkan daya saing Indonesia?
Potensi
Laporan FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat 7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton, sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton. Ironisnya, sepuluh negara utama produksi lobster budidaya dunia menempatkan Vietnam di peringkat pertama 1.100 ton dan Indonesia 556 ton. Masalahnya, mengapa BBL diekspor ke Vietnam yang jadi pesaing kita di dunia? Lalu mengapa Indonesia tak memprioritaskan budidaya lobster domestiknya agar mampu menyalip Vietnam?
Mesti dicamkan, status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ternyata mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh (full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian Timur (718) (KKP, 2017).
Ironisnya, lewat Permen KP Nomor 12/2020, pemerintah malah menetapkan kuota BBL di 11 WPPNRI itu sebesar 139.475.000 ekor. Di wilayah tangkap lebih kuotanya 65,037,500 ekor, dan tangkap penuh 74,437,500 ekor yang ditetapkan lewat Keputusan Dirjen Tangkap KKP Nomor 51/2020. Merujuk PP Nomor 75/2015 menetapkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) buat BBL yang masuk kategori crustacea Rp250/1000 ekor. Bila menghitung kuota BBL di WPPNRI, negara hanya memperoleh PNBP Rp34,868,750. Bukankah eksportir yang meraup keuntungan berbasis kuota ini? Merujuk harga rata-rata eksportir BBL ke Vietnam sebesar USD13, eksportir meraup keuntungan kotor USD1,8 miliar. Diasumsikan harga rata-rata di tingkat petani USD0,95, selisihnya jadi USD12,05. Imbasnya, eksportir bakal meraup keuntungan bersih USD1,68 miliar (Petersen et al, 2015). Bukankah ini jomblang ketimbang PNBP yang diterima negara? Dimana letak kebijakan semacam ini berorientasi “pengelolaan” dan menyejahterakan nelayan? Bukankah penetapan kuota malah berorientasi eksploitatif sembari menghancurkan siklus hidup lobster? Kapan lobster berkembang biak dan menjamin keberlanjutan siklus hidupnya dalam rantai makanan di alam (MacArthur et al, 2007)? Bukankan kebijakan ini sejatinya berorientasi perburuan rente dan bisnis an sich yang mengabaikan keberlanjutan sumberdaya?
Peta Perdagangan
Bisnis perdagangan internasional lobster dewasa sepanjang 2001-2019 -non BBL- sungguh menggiurkan. Permintaan ekspor lobster dunia tumbuh rata-rata 5,34% per tahun. Jika, tahun 2001 nilai ekspor dunia USD1,96 miliar, tahun 2019 melonjak dua kali lipat hingga USD4,73 miliar. Negara eksportir utama lobster dunia tahun 2019 yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Ketiganya menguasai share ekspor dunia hingga 66,20%. Posisi Indonesia dan Vietnam hanya bertengger di posisi ke 19 dan 20 dunia dengan share ekspornya 0,68% dan 0,50%. Vietnam yang mengimpor BBL dari Indonesia pernah masuk empat besar dunia tahun 2001 dengan share ekspornya 8,78%. Sesudahnya, tidak lagi masuk 10 besar dunia. Mirisnya, lagi Indonesia sejak tahun 2001 belum pernah masuk 10 besar eksportir lobster dunia (Trademap, 2020). Permasalahannya, bisnis lobster Indonesia sebagian besar tak dilaporkan (unreported), utamanya BBL karena tindakan selundupan. Sepanjang 2015-2019 pemerintah sukses menggagalkan selundupan BBL 8.576.783 ekor senilai Rp8,18 triliun (KKP, 2019) akibat pemberantasan kejahatan perikanan.
Dari sisi importir, China dan Amerika Serikat adalah dua negara importir utama lobster dunia tahun 2019. Nilai share impor keduanya 60,89%. Posisi ini berubah karena sepanjang 2001-2018 Amerika Serikat sebagai importir nomor satu dunia disalip China sejak 2019. Makanya, wajar Vietnam ngotot mengimpor BBL dari Indonesia buat budidayanya agar memperkokoh dirinya sebagai eksportir lobster hasil budidaya. Soalnya Vietnam sebagai pemasok utama permintaan pasar Cina. Posisi Vietnam juga dekat China sehingga ongkos transportasi dan rantai pasoknya lebih efisien. Terbukti, China menguasai USD1,02 miliar (61,78%) dari total impor dunia lobster Panulirus spp tahun 2019 yang nilainya USD1,64 miliar (Trademap, 2020).
Bagaimana konstelasi perdagangan lobster dewasa Indonesia dibandingkan Vietnam? Sepanjang 2010-2015, ekspor Indonesia selalu di bawah Vietnam. Baru tahun 2016-2018 Indonesia menyalip Vietnam. Apa maknanya? Kebijakan Permen KP Nomor 56/2016 yang melarang ekspor BBL efektif mengerem hegemoni Vietnam yang ekspor lobsternya bergantung hasil budidaya yang benihnya diimpor dari Indonesia. Jika, sepanjang 2010-2015 nilai ekspor Vietnam USD 55,83 juta lebih besar dibandingkan Indonesia USD 53,65 juta, Masuk periode 2016-2018 ekspor Indonesia senilai 60,61 juta melampaui Vietnam USD19,50 juta (Trademap, 2020). Semua ekspor lobster Indonesia (96,91%) bersumber dari tangkapan dan sisanya budidaya 3,09% (FAO, 2018).
Memang permintaan impor lobster dunia ke dari China melonjak drastis setiap tahunnya terutama jelang perayaan Imlek. Vietnam amat paham soal itu. Makanya, sejak Maret 2020 ia mengenjot budidayanya supaya jelang perayaan Imlek tahun 2021 sudah mencapai umur panen delapan bulan. Makanya, terbukti hingga Juli 2020 99,9% ekspor BBL dari Indonesia masuk Vietnam. Pertanyaannya, mengapa bukan Indonesia yang memasok pasar China berbasiskan budidaya perikanan lobster yang disokong pengembangan teknologi budidaya dan sumberdaya manusianya? Lantas dimana letak keberpihakan negara lewat Permen KP Nomor 12/2020?
Kebijakan
Menghentikan kebijakan ekspor BBL, bukan berarti sektor perikanan Indonesia kiamat. Di tengah Covid-19 ini budidaya lobster mestinya jadi sumber lapangan kerja baru dan mata pencaharian nelayan. Jangka pendek: Pertama, nelayan tradisional penangkap BBL bisa saja menangkapnya dengan syarat ukuran tertentu. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan sehingga mengurangi potensi sampah. Tujuannya memasok pembudidaya/pembesaran keramba jaring apung (KJA) domestik, bukan diekspor. Akibat kebijakan ekspor BBL, pembudidaya mulai kesulitan memperoleh benih. Soalnya eksportir telah memborongnya dari nelayan. Pasokannya pun kian sulit dan harganya selangit tingkat lokal. Pembudidaya terancam gulung tikar. Bukankah kondisi ini mengisyaratkan Permen KP Nomor 12/2020 jauh panggang dari api keberpihakan terhadap pembudidaya domestik? Terlalu absurd menganggapnya sebagai kebijakan pengelolaan.
Kedua, pemerintah mestinya mendorong pembudidaya membesarkan lobster lalu diekspor ke negara tujuan dengan permintaan tinggi. Caranya memfasilitasi pengembangan teknologi budidaya dan kapasitas sumberdaya manusianya. Tak perlu beretorika, Vietnam teknologinya sudah maju hingga kita mengambil jalan pintas lewat ekspor BBL negara itu. Ketiga, membolehkan penangkapan lobster dewasa layak ekspor sesuai aturan Permen KP Nomor 56/2016 dan tidak menangkap indukannya. Terbukti sepanjang 2016-2018 nilai ekspor Indonesia mampu menyalip Vietnam.
Jangka panjangnya, pemerintah mesti mengembangkan teknologi pembenihan (hatchery) berkolaborasi perguruan tinggi dan lembaga riset dalam maupun luar negeri. Memang butuh waktu dan riset yang tekun. Bila sukses pembenihan pemerintah boleh mengekspor BBL tanpa pembatasan. Dampaknya, tercipta lapangan kerja dan sumber pendapatan baru bagi nelayan dan pembudidaya lobster. BBL alam pun tetap aman menjalani rantai siklus hidupnya secara berkelanjutan. Begini mestinya kebijakan memihak serta menyejahterahkan nelayan dan pembudidaya. Bila teknologinya sudah familiar, bakal menarik kaum milenial berbisnis pembenihan BBL sebagai wujud technosociopreneur. Pengalaman keberhasilan teknologi pembenihan ikan patin yang familiar sejak paruh 1990-an, membuat siapapun dapat mengaplikasikannya dalam skala rumah tangga maupun industri. Suksesnya pembenihan mesti dibarengi juga pemulihan stok sumberdaya lobster di alam atau restocking benih dari hatchery. Supaya tercipta keseimbangan antara pemanfaatan dengan pengelolaan lobster secara berkelanjutan lobster di alam. Makanya menyetop ekspor BBL jadi keniscayaan.
(ras)