Kemelut Ekonomi dan Keberlanjutan Perlindungan Sosial
loading...
A
A
A
Hardy R Hermawan
Wartawan Ekonomi, Peneliti SigmaPhi Research
APA mau dikata, suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia, pada Oktober mendatang harus berlangsung dalam situasi ekonomi yang mencemaskan. Tekanan eksternal tak bisa dipandang enteng. Pertengahan Juni 2024, Bank Dunia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya berada di level 2,6%.
baca juga: Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia: Tantangan dalam Era Demokrasi
Angka itu sudah merupakan kenaikan dari prediksi awal tahun yang menunjuk 2,4%. Betul, Bank Dunia juga menyatakan- untuk pertama kalinya selama tiga tahun—bahwa perekonomian dunia akan stabil tahun ini. Namun, jika saja pertumbuhan 2,6% bisa tercapai, itu belum menunjukkan pemulihan. Pada dekade sebelum pandemi, pertumbuhan global rata-rata mencapai 3,1%.
Dunia memang sedang sering-seringnya menahan nafas. Panasnya geopolitik di timur tengah dan Eropa menjadikan harga komoditas merangkak naik dan membuat semua orang mengawasi kemungkinan further disruption pada rantai pasok komoditas, terutama minyak dan gas. Inflasi dunia tetap berkibar. Dana Moneter Internasional (IMF) menduga angkanya 5,9% tahun ini. Makanya, negara-negara maju mempertahankan rezim suku bunga tinggi sehingga menghantam kurs negara-negara berkembang, ternasuk rupiah. Capital outflow pun terjadi.
Pukulan bertubi-tubi itu membuat ekonomi dalam negeri keteteran. Di atas kertas, dalam situasi seperti itu, Indonesia mestinya fokus ke dalam, inward looking, mengandalkan industri domestik untuk melayani pasar dalam negeri yang jumlahnya 270 juta jiwa. Namun praktiknya, itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Alih-alih bisa diandalkan, industri kita justru sedang butuh-butuhnya pertolongan,. Sudah belasan tahun Indonesia tergoda naiknya harga komoditas sehingga para industriawannya berbondong-bondong meninggalkan pabrik lalu menambang mineral atau batu bara, atau bertanam sawit. Mereka mengabaikan industri manufaktur.
Perilaku esktraktif itu melahirkan fenomena resources curse alias kutukan sumber daya alam. Rahma, dkk. (2021) meneliti bahwa di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki lebih banyak sumber daya alam tambang, terdapat fenomena resource curse yang lebih tinggi dibandingkan di provinsi dengan sedikir sumber daya ekstraktif.
Di saat yang sama, barang-barang impor datang bersama bendera perdagangan bebas. Maka, industri manufaktur local semakin terkapar. Deindustrialisasi terjadi. Jalilian dan Weiss (2000) menjelaskan, deindustrialisasi tampak dari penurunan pangsa nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB. Di Indonesia, 20 tahun lalu, sektor manufaktur masih bisa menyumbang 26% PDB. Sekarang tinggal 18%. Alderson (1997) menyatakan, memang ada pengaruh siginifikan dari perdagangan internasional terhadap deindustrialisasi.
Kini, ketika ekonomi dunia megap-megap, makin banyak industri manufaktur lokal berjatuhan. Putus Hubungan Kerja (PHK) merajalela. Mereka yang bergiat di industri tekstil, alas kaki, serta makanan-minuman banyak kehilangan pekerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) dalam rilisnya pada awal Juni 2024 menyatakan, sudah ada 100.000 pekerja industri padat karya mengalami PHK hingga medio 2024 ini.
PHK juga terjadi di industri teknologi informasi, media, dan e-commerce. Bahkan, sentimen negatif dari kisruh timur tengah ternyata juga bisa menyebabkan banyaknya PHK di industri restoran cepat saji. Alhasil, gelombang PHK yang sudah ada sejak pandemi masih berlanjut hingga sekarang.
Pada 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah pekerja formal yang terkena PHK ada 386.877 orang. Pada 2021, angkanya menurun jadi 127.085 orang. Pada 2022, pekerja ter-PHK ada 25.114 orang. Pada 2023 naik lagi menjadi 60.000 orang, dan sepertinya akan terus meningkat di tahun ini.
baca juga: Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia
Pemerintahan sekarang, dan pemerintahan baru yang akan bekerja mulai Oktober mendatang harus sigap mengatasi masalah ini. Gelombang besar PHK dapat memicu ketidakstabilan politik. Kesejahteraan sudah pasti terpangkas. PHK yang tak teratasi dapat menyebabkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi yang serius, seperti meningkatnya kemiskinan, ketidakamanan pangan, konflik sosial, kejiwaan, atau kriminalitas.
Kalau sudah begini, perlindungan sosial bagi mereka mutlak harus disiapkan. Bank Dunia (2012) menyebutkan bahwa perlindungan sosial mencakup jaring pengaman sosial, investasi pada sumber daya manusia, serta upaya-upaya penanggulangan pemisahan sosial.
Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sekitar Rp496,9 triliun- Rp513 triliun untuk tahun 2025. Namun, perlindungan sosial itu umunnya diberikan bagi masyarakat miskin. Basri, Hanna, dan Olken (2022) menyatakan, perlindungan sosial perlu diperluas kepada masyarakat menengah bawah, terutama pekerja korban PHK.
Bahkan, perlindungan sosial mesti dianggarkan tidak hanya bagi mereka yang sudah terkena PHK, tapi bagi ratusan ribu pekerja lain yang terancam pemecatan. Apalagi, skema pesangon saat ini, berdasarkan UU Cipta Kerja, menjadi sangat kecil dibandingkan skema berdasarkan regulasi sebelumnya.
Program Kartu Prakerja layak dilanjutkan. Presiden (terpilih) Prabowo Subianto perlu membaca laporan Mugijayani dkk (2022) bersama Rumah Riset Presisi Indonesia yang menyatakan bahwa program Kartu Prakerja terbukti bisa meningkatkan kompetensi, produktivitas, daya saing, dan keterampilan kewirausahaan penerima manfaat. Mereka juga bisa meningkatkan pendapatan, meningkatkan peluang mendapatkan pekerjaan, atau mendirikan bisnis baru sehingga dapat menciptakan multiplier effect pada penciptaan lapangan kerja.
Laporan Vivi Alatas dkk (2022) bersama Tim J-Pal SEA juga menyatakan, rata-rata pendapatan bulanan peserta Prakerja lebih tinggi 10% ketimbang mereka yang tidak ikut program Peserta program juga terbukti punya peluang lebih baik untuk memiliki pekerjaan baru atau memiliki usaha baru.
Sudah belasan juta orang di seluruh kabupaten/kota di Indonesia menjadi peserta program Kartu Prakerja. Sayang, program itu diperkecil skala anggarannya. Pada 2020, anggaran Kartu Prakerja mencapai Rp20 triliun, lalu menjadi 21,2 Triliun pada 2021. Di tahun 2022, realisasi anggaran turun menjadi Rp17,84. Tahun 2023, anggaran Kartu Prakerja anjlok menjadi Rp4,2 triliun dan Rp4,8 triliun untuk 2024.
Mengingat situasi ekonomi dan ketenagakerjaan yang suram saat ini, sudah semestinya presiden terpilih Prabowo Subianto nanti menegaskan keberlanjutan program perlindungan sosial Kartu Prakerja . Tingkatkan anggarannya agar lebih memadai.
baca juga: Dari Desa Membangun Ekonomi Indonesia
Bagi korban PHK, menjadi peserta program juga merupakan jaring pengaman karena bisa mendapat Rp3,5 juta beasiswa pelatihan, Rp600.000 insentif biaya transportasi/internet, serta insentif survei Rp100.000. Jadi, setiap peserta mendapat alokasi Rp4,2 juta.
Di saat yang sama, pemerintahan baru dapat menjalankan program pengembangan dan perluasan kesempatan kerja melalui program padat karya dan kewirausahaan bagi pekerja terdampak PHK dan UMKM. Berikan pula insentif pajak, restrukturisasi kredit, serta pembiayaan bagi UMKM. Pastikan juga keberlanjutan dalam perluasan peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Bikin urusan pendaftaran pekerja informal tidak lagi rumit.
Buatkan regulasi agar mitra platform teknologi (umumnya ojek online/ojol) dapat memiliki jaminan sosial. Pertimbangkan program penerima bantuan iuran (PBI) jaminan sosial ketenagakerjaan, sebagaimana untuk BPJS Kesehatan. Dengan begitu, korban PHK bisa merasa terlindungi oleh negara dan pemerintahnya.
Wartawan Ekonomi, Peneliti SigmaPhi Research
APA mau dikata, suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia, pada Oktober mendatang harus berlangsung dalam situasi ekonomi yang mencemaskan. Tekanan eksternal tak bisa dipandang enteng. Pertengahan Juni 2024, Bank Dunia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya berada di level 2,6%.
baca juga: Dinamika Politik dan Ekonomi Indonesia: Tantangan dalam Era Demokrasi
Angka itu sudah merupakan kenaikan dari prediksi awal tahun yang menunjuk 2,4%. Betul, Bank Dunia juga menyatakan- untuk pertama kalinya selama tiga tahun—bahwa perekonomian dunia akan stabil tahun ini. Namun, jika saja pertumbuhan 2,6% bisa tercapai, itu belum menunjukkan pemulihan. Pada dekade sebelum pandemi, pertumbuhan global rata-rata mencapai 3,1%.
Dunia memang sedang sering-seringnya menahan nafas. Panasnya geopolitik di timur tengah dan Eropa menjadikan harga komoditas merangkak naik dan membuat semua orang mengawasi kemungkinan further disruption pada rantai pasok komoditas, terutama minyak dan gas. Inflasi dunia tetap berkibar. Dana Moneter Internasional (IMF) menduga angkanya 5,9% tahun ini. Makanya, negara-negara maju mempertahankan rezim suku bunga tinggi sehingga menghantam kurs negara-negara berkembang, ternasuk rupiah. Capital outflow pun terjadi.
Pukulan bertubi-tubi itu membuat ekonomi dalam negeri keteteran. Di atas kertas, dalam situasi seperti itu, Indonesia mestinya fokus ke dalam, inward looking, mengandalkan industri domestik untuk melayani pasar dalam negeri yang jumlahnya 270 juta jiwa. Namun praktiknya, itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Alih-alih bisa diandalkan, industri kita justru sedang butuh-butuhnya pertolongan,. Sudah belasan tahun Indonesia tergoda naiknya harga komoditas sehingga para industriawannya berbondong-bondong meninggalkan pabrik lalu menambang mineral atau batu bara, atau bertanam sawit. Mereka mengabaikan industri manufaktur.
Perilaku esktraktif itu melahirkan fenomena resources curse alias kutukan sumber daya alam. Rahma, dkk. (2021) meneliti bahwa di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki lebih banyak sumber daya alam tambang, terdapat fenomena resource curse yang lebih tinggi dibandingkan di provinsi dengan sedikir sumber daya ekstraktif.
Di saat yang sama, barang-barang impor datang bersama bendera perdagangan bebas. Maka, industri manufaktur local semakin terkapar. Deindustrialisasi terjadi. Jalilian dan Weiss (2000) menjelaskan, deindustrialisasi tampak dari penurunan pangsa nilai tambah sektor manufaktur terhadap PDB. Di Indonesia, 20 tahun lalu, sektor manufaktur masih bisa menyumbang 26% PDB. Sekarang tinggal 18%. Alderson (1997) menyatakan, memang ada pengaruh siginifikan dari perdagangan internasional terhadap deindustrialisasi.
Kini, ketika ekonomi dunia megap-megap, makin banyak industri manufaktur lokal berjatuhan. Putus Hubungan Kerja (PHK) merajalela. Mereka yang bergiat di industri tekstil, alas kaki, serta makanan-minuman banyak kehilangan pekerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) dalam rilisnya pada awal Juni 2024 menyatakan, sudah ada 100.000 pekerja industri padat karya mengalami PHK hingga medio 2024 ini.
PHK juga terjadi di industri teknologi informasi, media, dan e-commerce. Bahkan, sentimen negatif dari kisruh timur tengah ternyata juga bisa menyebabkan banyaknya PHK di industri restoran cepat saji. Alhasil, gelombang PHK yang sudah ada sejak pandemi masih berlanjut hingga sekarang.
Pada 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah pekerja formal yang terkena PHK ada 386.877 orang. Pada 2021, angkanya menurun jadi 127.085 orang. Pada 2022, pekerja ter-PHK ada 25.114 orang. Pada 2023 naik lagi menjadi 60.000 orang, dan sepertinya akan terus meningkat di tahun ini.
baca juga: Menguji Ketangguhan Ekonomi Indonesia
Pemerintahan sekarang, dan pemerintahan baru yang akan bekerja mulai Oktober mendatang harus sigap mengatasi masalah ini. Gelombang besar PHK dapat memicu ketidakstabilan politik. Kesejahteraan sudah pasti terpangkas. PHK yang tak teratasi dapat menyebabkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi yang serius, seperti meningkatnya kemiskinan, ketidakamanan pangan, konflik sosial, kejiwaan, atau kriminalitas.
Kalau sudah begini, perlindungan sosial bagi mereka mutlak harus disiapkan. Bank Dunia (2012) menyebutkan bahwa perlindungan sosial mencakup jaring pengaman sosial, investasi pada sumber daya manusia, serta upaya-upaya penanggulangan pemisahan sosial.
Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sekitar Rp496,9 triliun- Rp513 triliun untuk tahun 2025. Namun, perlindungan sosial itu umunnya diberikan bagi masyarakat miskin. Basri, Hanna, dan Olken (2022) menyatakan, perlindungan sosial perlu diperluas kepada masyarakat menengah bawah, terutama pekerja korban PHK.
Bahkan, perlindungan sosial mesti dianggarkan tidak hanya bagi mereka yang sudah terkena PHK, tapi bagi ratusan ribu pekerja lain yang terancam pemecatan. Apalagi, skema pesangon saat ini, berdasarkan UU Cipta Kerja, menjadi sangat kecil dibandingkan skema berdasarkan regulasi sebelumnya.
Program Kartu Prakerja layak dilanjutkan. Presiden (terpilih) Prabowo Subianto perlu membaca laporan Mugijayani dkk (2022) bersama Rumah Riset Presisi Indonesia yang menyatakan bahwa program Kartu Prakerja terbukti bisa meningkatkan kompetensi, produktivitas, daya saing, dan keterampilan kewirausahaan penerima manfaat. Mereka juga bisa meningkatkan pendapatan, meningkatkan peluang mendapatkan pekerjaan, atau mendirikan bisnis baru sehingga dapat menciptakan multiplier effect pada penciptaan lapangan kerja.
Laporan Vivi Alatas dkk (2022) bersama Tim J-Pal SEA juga menyatakan, rata-rata pendapatan bulanan peserta Prakerja lebih tinggi 10% ketimbang mereka yang tidak ikut program Peserta program juga terbukti punya peluang lebih baik untuk memiliki pekerjaan baru atau memiliki usaha baru.
Sudah belasan juta orang di seluruh kabupaten/kota di Indonesia menjadi peserta program Kartu Prakerja. Sayang, program itu diperkecil skala anggarannya. Pada 2020, anggaran Kartu Prakerja mencapai Rp20 triliun, lalu menjadi 21,2 Triliun pada 2021. Di tahun 2022, realisasi anggaran turun menjadi Rp17,84. Tahun 2023, anggaran Kartu Prakerja anjlok menjadi Rp4,2 triliun dan Rp4,8 triliun untuk 2024.
Mengingat situasi ekonomi dan ketenagakerjaan yang suram saat ini, sudah semestinya presiden terpilih Prabowo Subianto nanti menegaskan keberlanjutan program perlindungan sosial Kartu Prakerja . Tingkatkan anggarannya agar lebih memadai.
baca juga: Dari Desa Membangun Ekonomi Indonesia
Bagi korban PHK, menjadi peserta program juga merupakan jaring pengaman karena bisa mendapat Rp3,5 juta beasiswa pelatihan, Rp600.000 insentif biaya transportasi/internet, serta insentif survei Rp100.000. Jadi, setiap peserta mendapat alokasi Rp4,2 juta.
Di saat yang sama, pemerintahan baru dapat menjalankan program pengembangan dan perluasan kesempatan kerja melalui program padat karya dan kewirausahaan bagi pekerja terdampak PHK dan UMKM. Berikan pula insentif pajak, restrukturisasi kredit, serta pembiayaan bagi UMKM. Pastikan juga keberlanjutan dalam perluasan peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan. Bikin urusan pendaftaran pekerja informal tidak lagi rumit.
Buatkan regulasi agar mitra platform teknologi (umumnya ojek online/ojol) dapat memiliki jaminan sosial. Pertimbangkan program penerima bantuan iuran (PBI) jaminan sosial ketenagakerjaan, sebagaimana untuk BPJS Kesehatan. Dengan begitu, korban PHK bisa merasa terlindungi oleh negara dan pemerintahnya.
(hdr)