Ibukota Baru RI Disarankan Cukup Kota Administratif

Jum'at, 10 Mei 2019 - 08:18 WIB
Ibukota Baru RI Disarankan Cukup Kota Administratif
Ibukota Baru RI Disarankan Cukup Kota Administratif
A A A
JAKARTA - Berbagai masukan mulai muncul setelah bergulisnya rencana pemindahan ibukota negara ke luar Pulau Jawa. Salah satunya adalah terkait status ibukota negara baru nantinya. Sejumlah kalangan menilai, status ibukota baru nantinya sebaiknya hanya sebatas kota administratif saja. Konsep kota administratif ini tentu akan jauh berbeda dengan status DKI Jakarta saat ini yang merupakan daerah otonom.

“Saya pikir cukup kota administratif saja. Tidak perlu membentuk provinsi yang gede. Cukup untuk satu atau maksimal dua juta penduduk yang terdiri dari pegawai pemerintah,” ungkap pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Dukungan Regulasi Otonomi Daerah dalam Rangka Rencana Pemindahan Ibukota Negara” di Hotel Aryaduta, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, dengan konsep sebagai kota administratif, maka dipastikan tidak akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada). Seperti diketahui saat ini daerah-daerah yang berstatus sebagai wilayah administratif antara lain Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.

Sehingga, pemimpin daerah-daerah tersebut tidak dipilih langsung, melainkan dipilih oleh gubernur DKI Jakarta. “Seperti di Putra Jaya Malaysia itu tidak ada politik-politikan. Jadi format ibukota yang ada di Jakarta kita perbaiki untuk yang baru. Nanti wali kota ibukota negara dipilih langsung presiden. Kan ibukota negara kantornya presiden. Kalau dibuat otonom nanti ribet lagi,” ungkapnya.

Menurut dia, ibukota negara yang baru harus dikonsep sebagai tempat yang aman dan nyaman. Di mana kota itu nantinya hanya diisi oleh pegawai negeri sipil (PNS) dan para politisi di parlemen. “Nanti baru daerah di sekitar ibukota negara baru sebagai kota penyangga. Di mana daerah penyangga yang memberikan dukungan-dukungan ke ibukota negara seperti hasil pertanian,” paparnya.

Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ini pun mengatakan bahwa Kemendagri memiliki tanggung jawab yang cukup berat karena harus mempersiapkan regulasi. Dalam hal ini regulasi untuk ibukota negara yang baru dan status DKI Jakarta ke depan.

Menurut dia, pembentukan regulasi tidak akan mudah karena harus berhadapan dengan DPR untuk menggolkan rencana ini. “Ini pasti kontroversi. Memang tidak menggolkan. Apalagi pascapilpres ada pendapat yang lain. Kan pasti oposisi inginnya beda saja. Oleh karena lobi politik itu perlu. Pemindahan itu kan selalu kontroversi. Politisi juga akan tarik menarik kepentingan,” katanya.

Mantan Dirjen Otda Kemendagri lainnya, Sumarsono mengatakan bahwa memang ada banyak regulasi yang harus dipersiapkan. Di antaranya regulasi pokok dan regulasi terkait. “Regulasi pokok ini terkait undang-undang terkait ibukota negara baru. Lalu revisi UU 29/2007 terkait DKI Jakarta. Sisanya sifatnya undang-undang terkait seperti UU pemda, UU Otsus,” ungkapnya.

Pria yang akrab disapa Soni mengatakan, dalam proses pemindahan nantinya harus ada aturan peralihan. Hal ini sebagai acuan sampai proses pemindahan karena membutuhkan waktu yang cukup panjang. “Nanti di dalam UU ada aturan peralihan ada transisi selama pemerintahan. Selama proses pemindahan akan merujuk di sini,” katanya.

Pelaksanaan Tugas (Plt) Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik mengungkapkan, ada sejumlah alasan kuat pemindahan ibukota. Di antaranya, disparitas dan jumlah penduduk di Jakarta. “Melihat realitas yang ada di Jakarta, hampir 57% penduduk berada di Pulau Jawa, Sumatera 21%, Kalimantan 6%. Disparitas cukup tinggi, bahkan studi tahun 2015 menyebutkan sebanyak 3 juta lebih pendatang menjadi penduduk tetap di Jakarta, belum lagi berdampak pada jumlah kendaraan yang bertumbuh,” tandasnya.

Menurut dia, berbagai keuntungan akan didapatkan jika pemindahan ibukota berhasil dilakukan. Di antaranya persebaran jumlah penduduk, pemerataan pembangunan, dan lain sebagainya. “Salah satu keuntungannya dapat mendorong persebaran penduduk, karena selama ini pemerataannya tidak optimal. Anggaran yang selama ini relatif besar atas pembakaran bahan bakar karena kemacetan juga akan dapat dipangkas,” paparnya.

Meski demikian, menurut Akmal, setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dengan pemindahan ibukota. Yakni aspek regulasi. Dia menyebut setidaknya ada sembilan regulasi yang disiapkan ataupun direvisi.

Di antaranya revisi UU 29/2007, pembuatan UU Ibu Kota Negara baru, revisi UU tentang Penanganan Bencana, revisi atau pembuatan UU tentang Penataan Ruang di Ibukota Negara, revisi atau membuat UU yang mengatur tentang Penataan Pertanahan di Ibukota Negara.

Lalu revisi UU tentang Pertahanan Keamanan, UU tentang Kota, revisi UU tentang Pemda, dan revisi UU tentang Pilkada. “Dalam Pasal 3 undang-undang dimaksud disebutkan Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, inilah yang harus dipersiapkan regulasinya,” kata Akmal.

Kemudian, aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang harus dipastikan tetap berjalan dengan efektif, sehingga diharapkan dengan biaya yang besar untuk pemindahan ibukota tidak memengaruhi dana perimbangan yang diterima daerah. Lebih lanjut Akmal menyatakan, saat ini Kemendagri masih menunggu arahan presiden untuk langkah selanjutnya.

Menurut dia, sudah ada beberapa masukan termasuk status kota administratif bagi ibukota negara yang juga akan dikaji. “Kalau keputusan politik nanti wilayah administratif saja tentu kita akan akomodir di dalam regulasi saja. Ini sangat tergantung dari arahan presiden,” ujarnya
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6577 seconds (0.1#10.140)