Revisi UU Polri Bikin Polisi Superbody, Begini Reaksi Praktisi Hukum

Minggu, 23 Juni 2024 - 18:57 WIB
loading...
Revisi UU Polri Bikin...
Revisi UU Polri banyak menuai kontroversi dari para aktivis dan praktisi hukum, salah satunya Praktisi Hukum Mayor Chk (Purn) Marwan Iswandi. Foto: Ist
A A A
JAKARTA - Revisi UU Polri banyak menuai kontroversi dari para aktivis dan praktisi hukum. Sementara, pihak Istana mengaku sedang melakukan telaah atas draf UU tersebut sebelum diajukan ke DPR.

Revisi UU Polri dan UU TNI telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 28 Mei 2024. “RUU terkait sudah diterima Setneg hari Jumat siang minggu lalu. Saat ini masih dalam proses penelaahan untuk proses selanjutnya,” kata Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono, Kamis, 13 Juni 2024.



Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD pernah mengatakan di negara demokratis seperti Indonesia tidak boleh ada lembaga pemerintah yang memiliki kekuatan berlebih atau superbody serta tanpa pengawasan dari rakyat. Superbody adalah memiliki kewenangan ekstra dibanding lembaga negara lain.

Menanggapi itu, Praktisi Hukum Mayor Chk (Purn) Marwan Iswandi prihatin usai membaca Revisi Undang-Undang (RUU) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, terutama pada Pasal 16 B Ayat (2) yaitu menjadikan salah satu tugas pokok Polri turut serta mengatasi pemberantasan separatisme.

“Menurut hemat saya tugas tersebut bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 30 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum,” ujar Marwan, Minggu (23/6/2024).

Menurut Marwan yang juga Pengacara Pegi dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon, turunan dari UUD 1945 adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang mana dalam Pasal 13 dinyatakan bahwa Polri hanya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Sementara untuk mengatasi terorisme dan separatisme, bukan menjadi kewenangan Polri melainkan sudah menjadi tugas pokok TNI sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dalam Pasal 7 Ayat (2) dinyatakan tugas pokok TNI dilakukan dengan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yakni mengatasi gerakan separatis bersenjata, mengatasi pemberontakan bersenjata dan mengatasi aksi terorisme.

“UU TNI itu cantolannya adalah UUD 1945 Pasal 30 Ayat (3) tentang pertahanan dan keamanan negara, di mana TNI terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, tidak ada menyebut Polri dalam UU itu. TNI bertugas mempertahankan dan melindungi serta memelihara keutuhan dan kedaulatan negara,” tegasnya.

Dia juga mengkritisi pemberantasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua yang sebenarnya juga bukan tugas Polri melainkan sudah menjadi tugas TNI sesuai bunyi undang-undang yang berlaku.

“Saya sampaikan ciri-ciri separatis adalah adanya bendera, ada kelompok bersenjata dan ada pernyataan ingin memisahkan diri dari NKRI dan unsur -unsur itu sudah terpenuhi semua dan itu adalah tugas TNI mengatasinya,“ ujar Marwan.

Kewenangan superbody lebih yang melebihi tugas pokoknya dalam RUU Polri telah memperluas sejumlah tugas pokok Polri seperti bisa melakukan pemblokiran, memutus, memperlambat ruang siber, penggalangan intelijen, penyadapan dan pengawasan, di mana lembaga lain juga memiliki kewenangan itu.

Menurut Marwan, Revisi UU Polri juga telah memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat, termasuk hak memperoleh informasi dan hak warga negara atas privasi terutama di media sosial dan ruang digital.

Hal itu termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) RUU Polri yang memberi kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan di ruang siber. Sekaligus kewenangan melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.

Apa yang dilakukan Polri seperti memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, bisa diartikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat dalam kebebasan berekspresi di muka umum.

"Karena itu, saya meminta kepada DPR dan Presiden untuk mengkaji ulang pasal-pasal dalam Revisi UU Polri tersebut yang bukan menjadi ranah kewenangan kepolisian dalam memberantas separatis dan ada kekhawatiran kelak akan menimbulkan gesekan antara kedua institusi negara itu dalam menjalankan tugasnya,” ungkapnya.

Bila Revisi UU Polri tetap dilanjutkan DPR, maka pihaknya akan melakukan gugatan uji materi ke MK. Karena itu, hendaknya DPR sebelum ketuk palu, melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terlebih dahulu atas Revisi UU Polri dengan undang-undang lainnya.

"Masih banyak lagi kewenangan Polri yang melebihi batas. Karena itu Revisi RUU Polri harus ditolak atau minimal ada sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang yang lainnya, sehingga tidak semua yang ada di Republik Indonesia ini menjadi kewenangan Polri yang menjadikan Polri superbody," ujar Marwan.
(jon)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0978 seconds (0.1#10.140)