Kronologi Kasus Korupsi Sistem Proteksi TKI yang Seret Eks Dirjen Binapenta Reyna Usman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa mantan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Dirjen Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Reyna Usman telah merugikan keuangan negara sebesar Rp17.682.445.45 (Rp17,6 miliar). Hal ini terkait dengan kasus dugaan korupsi pengkondisian proyek pengadaan proteksi TKI .
Duduk juga sebagai terdakwa, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang) Kemenaker, I Nyoman Darmanta serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM), Karunia.
"Memperkaya Karunia sebesar Rp17.682.445.455 yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp17.682.445.455," ujar JPU dalam membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Dalam surat dakwaan, JPU menjelaskan kasus tersebut bermula pada 2010 yang saat itu Reyna Usman masih menjabat Sekretaris Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Sesbinalattas).
Pada tahun tersebut, Reyna dikenalkan kepada Direktur PT AIM, Karunia oleh Dewa Putu Santika. Setelah perkenalan tersebut, Karunia menyampaikan keinginannya terkait izin perusahaan untuk Jasa TKI dan menyepakati memberikan fee Rp3 miliar kepada Reyna.
"Pada tahun 2010 bertempat di FX Sudirman Jakarta, Reyna Usman menerima uang sebesar Rp3 miliar dari Karunia," jelas JPU. Meski sudah memberikan fee, Karunia hingga awal tahun 2012 belum juga mendapatkan izin perusahaan untuk jasa TKI.
Kemudian, Reyna memberitahu Karunia perihal adanya proyek Pengadaan Sistem Pengawasan dan Pengelolaan Data Proteksi TKI pada Ditjen Binapenta Kemenakertrans tahun anggaran 2012. Karunia pun setuju ikut proyek tersebut.
Untuk mengurus hal tersebut, Reyna meminta Karunia untuk berkoordinasi dengan I Nyoman Darmanta. Selanjutnya, pada rapat Maret 2012, Reyna memerintahkan Terdakwa I Nyoman Darmanta untuk menggunakan dokumen perencanaan pengadaan yang dibuat staf PT AIM Bunamas dalam penyusunan HPS.
Selain itu, Reyna meminta Dewa Putu Santika jadi penghubung dengan Karunia terkait lelang proyek tersebut. "Atas permintaan tersebut, Dewa Putu Santika meminta bagian fee lima persen dari nilai proyek dan disetujui Karunia," ucap JPU.
Merespons hal tersebut, Karunia kemudian membentuk Tim Tender PT AIM yang terdiri dari Bunamas, Geogre Verman Christopher Hilliard, dan Acep Mardiyana yang bertugas menyusun dokumen sistem dan spesifikasi teknis.
Lelang pun dilaksanakan tanpa menggunakan konsultan perencana tapi memakai dokumen perencanaan PT AIM. Pada 25 September 2012, lelang diumumkan dengan pagu paket pekerjaan Rp20 miliar, sedangkan HPS paket itu Rp19,8 miliar.
"Karunia kemudian memerintahkan Tim Tender PT AIM untuk mengikuti lelang tersebut dan menyampaikan kepada Bunamas bahwa PT AIM sudah dikondisikan akan menjadi pemenang," kata JPU.
Karunia menurut JPU, kemudian meminta pada Tim Tender PT AIM agar harga penawaran perusahaan pendamping lelang yakni PT Chateau Waywell Secutech (CWS) dan PT Adyawinsa Telecommunication & Electrical (ATE) dibuat lebih tinggi dibandingkan PT AIM.
PT CWS dan PT ATE pun membuat penawaran Rp19,8 miliar dimana PT AIM lebih rendah dari keduanya, yakni Rp19,7 miliar. "PT AIM dinyatakan lulus dan memenuhi syarat dengan nilai penawaran terkoreksi Rp19,77 miliar," ungkap JPU.
Lanjut pada 7 Desember 2012, Karunia menerima pembayaran 20% nilai proyek yang telah dipotong pajak yakni Rp3,58 miliar. Sesuai kesepakatan di awal, Karunia memberikan Rp500 juta kepada Dewa Putu Santika.
"Bahwa selain itu Karunia juga beberapa kali telah memberikan uang kepada Dewa Putu Santika seluruhnya sebesar Rp80 juta," paparnya.
Pada waktu yang telah disetujui dalam kontrak, proyek tersebut belum selesai dan sama sekali tidak bisa digunakan. Kendati demikian, I Nyoman Darmanta tetap membayar penuh.
"Setelah dilakukan serah terima hasil pekerjaan, ternyata sistem pengawasan dan penghelolaan data proteksi TKI yang dibangun oleh PT AIM tidak dapat digunakan, baik untuk migrasi data maupun integrasi sistem antara sistem proteksi TKI milik Kemenakertrans RI dengan sistem informasi eksisting milik para stakeholder terkait, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleg negara," papar JPU.
Atas hal tersebut, JPU menjerat ketiga terdakwa dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 2 junto Pasal 18 UU Tipikor atau Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor.
Duduk juga sebagai terdakwa, Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang) Kemenaker, I Nyoman Darmanta serta Direktur PT Adi Inti Mandiri (AIM), Karunia.
"Memperkaya Karunia sebesar Rp17.682.445.455 yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara sebesar Rp17.682.445.455," ujar JPU dalam membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/6/2024).
Dalam surat dakwaan, JPU menjelaskan kasus tersebut bermula pada 2010 yang saat itu Reyna Usman masih menjabat Sekretaris Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Sesbinalattas).
Pada tahun tersebut, Reyna dikenalkan kepada Direktur PT AIM, Karunia oleh Dewa Putu Santika. Setelah perkenalan tersebut, Karunia menyampaikan keinginannya terkait izin perusahaan untuk Jasa TKI dan menyepakati memberikan fee Rp3 miliar kepada Reyna.
"Pada tahun 2010 bertempat di FX Sudirman Jakarta, Reyna Usman menerima uang sebesar Rp3 miliar dari Karunia," jelas JPU. Meski sudah memberikan fee, Karunia hingga awal tahun 2012 belum juga mendapatkan izin perusahaan untuk jasa TKI.
Kemudian, Reyna memberitahu Karunia perihal adanya proyek Pengadaan Sistem Pengawasan dan Pengelolaan Data Proteksi TKI pada Ditjen Binapenta Kemenakertrans tahun anggaran 2012. Karunia pun setuju ikut proyek tersebut.
Untuk mengurus hal tersebut, Reyna meminta Karunia untuk berkoordinasi dengan I Nyoman Darmanta. Selanjutnya, pada rapat Maret 2012, Reyna memerintahkan Terdakwa I Nyoman Darmanta untuk menggunakan dokumen perencanaan pengadaan yang dibuat staf PT AIM Bunamas dalam penyusunan HPS.
Selain itu, Reyna meminta Dewa Putu Santika jadi penghubung dengan Karunia terkait lelang proyek tersebut. "Atas permintaan tersebut, Dewa Putu Santika meminta bagian fee lima persen dari nilai proyek dan disetujui Karunia," ucap JPU.
Merespons hal tersebut, Karunia kemudian membentuk Tim Tender PT AIM yang terdiri dari Bunamas, Geogre Verman Christopher Hilliard, dan Acep Mardiyana yang bertugas menyusun dokumen sistem dan spesifikasi teknis.
Lelang pun dilaksanakan tanpa menggunakan konsultan perencana tapi memakai dokumen perencanaan PT AIM. Pada 25 September 2012, lelang diumumkan dengan pagu paket pekerjaan Rp20 miliar, sedangkan HPS paket itu Rp19,8 miliar.
"Karunia kemudian memerintahkan Tim Tender PT AIM untuk mengikuti lelang tersebut dan menyampaikan kepada Bunamas bahwa PT AIM sudah dikondisikan akan menjadi pemenang," kata JPU.
Karunia menurut JPU, kemudian meminta pada Tim Tender PT AIM agar harga penawaran perusahaan pendamping lelang yakni PT Chateau Waywell Secutech (CWS) dan PT Adyawinsa Telecommunication & Electrical (ATE) dibuat lebih tinggi dibandingkan PT AIM.
PT CWS dan PT ATE pun membuat penawaran Rp19,8 miliar dimana PT AIM lebih rendah dari keduanya, yakni Rp19,7 miliar. "PT AIM dinyatakan lulus dan memenuhi syarat dengan nilai penawaran terkoreksi Rp19,77 miliar," ungkap JPU.
Lanjut pada 7 Desember 2012, Karunia menerima pembayaran 20% nilai proyek yang telah dipotong pajak yakni Rp3,58 miliar. Sesuai kesepakatan di awal, Karunia memberikan Rp500 juta kepada Dewa Putu Santika.
"Bahwa selain itu Karunia juga beberapa kali telah memberikan uang kepada Dewa Putu Santika seluruhnya sebesar Rp80 juta," paparnya.
Pada waktu yang telah disetujui dalam kontrak, proyek tersebut belum selesai dan sama sekali tidak bisa digunakan. Kendati demikian, I Nyoman Darmanta tetap membayar penuh.
"Setelah dilakukan serah terima hasil pekerjaan, ternyata sistem pengawasan dan penghelolaan data proteksi TKI yang dibangun oleh PT AIM tidak dapat digunakan, baik untuk migrasi data maupun integrasi sistem antara sistem proteksi TKI milik Kemenakertrans RI dengan sistem informasi eksisting milik para stakeholder terkait, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleg negara," papar JPU.
Atas hal tersebut, JPU menjerat ketiga terdakwa dengan dakwaan alternatif, yakni Pasal 2 junto Pasal 18 UU Tipikor atau Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor.
(kri)