Mengupas Buku Pemerintahan Konfusian dan Autokrasi Sosialis di China Kontemporer

Selasa, 11 Juni 2024 - 13:49 WIB
loading...
Mengupas Buku Pemerintahan Konfusian dan Autokrasi Sosialis di China Kontemporer
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Dosen Hubungan Internasional, President University. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen Hubungan Internasional President University

PADA 31 Mei 2024, Departemen Ilmu Politik Universitas Nasional Taiwan mengadakan acara diskusi buku baru yang ditulis oleh dosen pembimbing saya dari S1, S2, dan S3, Profesor Emeritus Shih Chih-Yu. Dalam acara bedah buku tersebut, Profesor Shih Chih-Yu sekaligus mengumumkan bahwa beliau mengajukan pensiun ke Universitas Nasional Taiwan.

Bidang penelitian Profesor Shih Chih-Yu mencakup hubungan internasional, studi tentang China, psikologi politik, studi budaya, dan antropologi pengetahuan. Selain memiliki banyak karya akademis, dia juga terkenal dengan kritik tajam terhadap pemikiran akademis arus utama Barat dan sering menulis opini di media di Taiwan, China, dan Hong Kong.

Buku barunya yang berjudul Confucian Governmentality and Socialist Autocracy in Contemporary China (Pemerintahan Konfusian dan Autokrasi Sosialis di China Kontemporer) membahas bagaimana prinsip-prinsip Konfusianisme dan sosialisme membentuk interaksi antara warga negara dan pemimpin di bawah sistem politik China saat ini. Juga berupaya melampaui dikotomi antara demokrasi dan kediktatoran.

Shih Chih-Yu pertama-tama menyatakan bahwa dirinya jarang menangani isu-isu terkait demokratisasi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir saat melakukan penelitian teori hubungan internasional, dia semakin merasakan adanya kebuntuan. Shih mengamati bahwa para akademisi umumnya tidak dapat membalikkan atau mengkaji ulang asumsi dasar dalam hubungan internasional, termasuk keadaan anarki, hukum alam, dan hak asasi manusia.

Asumsi-asumsi ini mempengaruhi banyak diskusi tentang hubungan internasional, politik China, dan diplomasi China terutama di negara-negara yang berbahasa Inggris. Misalnya, ketika Partai Komunis Tiongkok pada tahun 2018 menghapus aturan tentang masa jabatan maksimal dua periode untuk presiden dan wakil presiden, banyak akademisi Barat menganggapnya sebagai kejutan besar, meskipun ada juga yang merasa senang.

Mereka berpikir bahwa langkah ini akhirnya menyelesaikan semua masalah posisi penelitian, dan China telah membuktikan dirinya bukan salah satu bagian dari demokrasi Barat Demokrasi Barat bisa memperlakukan China sebagai entitas jahat. Shih Chih-Yu lebih lanjut menunjukkan bahwa penelitian hubungan internasional pada akhirnya tampaknya mencari jawaban yang paling sederhana dan kemudian membangun narasi hitam-putih, seperti pertarungan antara badut dan Batman, yang sangat tidak bertanggung jawab. Selama bertahun-tahun, meskipun ada banyak refleksi dan peninjauan di kalangan teoritisi hubungan internasional, mereka tetap menghadapi kebuntuan yang sama dan tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan baik.

Oleh karena itu, Shih berharap dapat mengembangkan suatu bahasa yang memungkinkan kajian ulang terhadap asumsi-asumsi dasar ilmu politik untuk menanyakan satu pertanyaan mendasar: mengapa orang merasa bahwa hak asasi manusia adalah sesuatu yang paling mendasar?

Dari pertanyaan ini dapat diturunkan banyak pertanyaan lanjutan: mengapa melihat pelanggaran hak asasi manusia di negara lain memunculkan naluri untuk campur tangan? Bagaimana naluri ini terbentuk? Budaya dan pemikiran apa yang membentuk naluri ini, sehingga membuat orang merasa bahwa campur tangan mereka adalah sesuatu yang wajar, dan bahwa campur tangan mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut, padahal sebenarnya semua campur tangan justru menimbulkan lebih banyak masalah?

Shih Chih-Yu menyatakan bahwa sebelum menanyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebenarnya perlu mempertimbangkan mengapa orang-orang melihat oposisi antara demokrasi dan otoritarianisme sebagai sesuatu yang begitu alami. Dalam praktik dan teori yang dibangun oleh manusia, tidak mungkin untuk mengubah demokrasi dan otoritarianisme menjadi dua hal yang sepenuhnya berlawanan, tetapi orang tetap memiliki kebutuhan internal untuk memposisikan demokrasi dan otoritarianisme sebagai dua kutub yang bertentangan.

Oleh karena itu, Pemerintahan Konfusian dan Autokrasi Sosialis di China Kontemporer ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pekerjaan dasar dalam hal ini. Shih Chih-Yu kemudian mengenang bahwa ketika dirinya mulai mengkritik teori akademis arus utama, beliau sebenarnya mencari sumber daya dari Barat, seperti teori kritik postmodernisme dan feminisme.

Meskipun rekan-rekannya yang berasal dari teori atau akademisi yang berbahasa Inggris mungkin tidak selalu menerima teori-teori kritik ini, mereka setidaknya dapat memahaminya, sehingga bisa menjadi sekutu dalam perlawanan. Namun, semua pemikiran ini akhirnya menghadapi kesulitan dalam penyampaian, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke sumber pemikiran non-Eropa, non-Inggris-Amerika, yaitu kembali ke teks Konfusianisme. Oleh karena itu, lahirlah buku Pemerintahan Konfusian dan Autokrasi Sosialis di China Kontemporer.

Shih Chih-Yu menjelaskan bahwa tujuan utama dari bukunya adalah untuk mengkritik asumsi politik tentang oposisi antara demokrasi liberal dan otoritarianisme. Menurutnya, sebuah masyarakat bisa terorganisir dan mencapai pemerintahan bukan karena sistem politiknya otoriter atau demokratis, melainkan karena anggotanya bersedia menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Untuk melaksanakan pemerintahan, seorang pemimpin harus menciptakan keteraturan, yang melibatkan dua elemen utama: identitas kepemilikan (belonging) dan dominasi kekuasaan (dominance). Identitas kepemilikan mengacu pada bagaimana sebuah kelompok membangun rasa memiliki, sedangkan dominasi kekuasaan mengacu pada bagaimana keteraturan sebuah kelompok dibentuk melalui pemikiran dan asumsi yang dianggap wajar, yang mengorganisir anggota dan menciptakan rasa kepemilikan bersama.

Shih Chih-Yu mengungkapkan bahwa pertanyaan yang ingin ia ajukan adalah pertanyaan mendasar tentang bagaimana sebuah masyarakat politik bisa terbentuk: bagaimana orang merasa memiliki? Bagaimana pemimpin mendominasi? Dominasi seperti apa yang bisa diterima oleh orang-orang? Dalam situasi apa orang merasa terhubung?

Dalam situasi apa pemimpin akan menggunakan identitas politik untuk mengecualikan orang lain demi mencapai dominasi? Shih menekankan bahwa fokusnya adalah pada dua pertanyaan mendasar tentang kepemilikan dan dominasi, bukan tentang bagaimana pemerintah terbentuk atau apakah melalui pemilihan rakyat.

Setelah menanyakan tentang kepemilikan dan dominasi, akan terlihat bahwa meskipun demokrasi dan otoritarianisme adalah dua cara pembentukan pemerintah, keduanya tidak bisa beroperasi tanpa prinsip kepemilikan dan dominasi. Masalah yang diyakini dapat dipecahkan oleh demokrasi atau oleh seorang pemimpin besar, jika berkaitan dengan kepemilikan dan dominasi, tidak selalu bisa diatasi melalui sistem.

Ketika sistem yang ada melanggar kebutuhan kepemilikan dan dominasi, masyarakat akan mencari cara lain untuk menyelesaikannya. Misalnya, ketika demokrasi tidak berfungsi, mereka akan mencari metode otoriter, dan sebaliknya.

Shih memberikan contoh tentang seorang pemimpin yang tampak serba tahu dan berkuasa menghadapi situasi di mana rakyat tidak mau mengungkapkan hubungan mereka, pikiran mereka, atau sumber daya dan kemampuan yang mereka miliki. Pemimpin tersebut tidak akan bisa melanjutkan pemerintahannya. Contoh lain adalah ketika sebuah sistem kontrol yang dianggap sempurna bisa runtuh seketika karena kejadian tak terduga, seperti kebakaran di Xinjiang yang mengubah seluruh sistem kontrol dan membuat para pendukungnya tiba-tiba berbalik menjadi pemberontak.

Demokrasi dan otoritarianisme bukanlah dua kutub yang bertentangan. Masalah yang sebenarnya harus diatasi adalah kepemilikan dan dominasi. Ketika masalah ini tidak dapat dipecahkan, masyarakat demokratis akan mencari solusi otoriter, dan sebaliknya. Oleh karena itu, dari sudut pandang pemikiran, demokrasi dan otoritarianisme bukanlah dua hal yang berlawanan.

Pembagian ini adalah ilusi yang dibuat untuk membuat orang percaya bahwa sistem mereka lebih unggul. Shih juga menyatakan harapannya untuk menghubungkan keprihatinan dalam bukunya dengan pemikiran dari Global South dan non-liberal democracy.

Bab terakhir dalam bukunya mencoba berdialog dengan konsep Ubuntu dari Afrika, yang menekankan semangat ”Saya ada karena kita ada”. Di masa depan, ia juga berharap bisa terhubung dengan sufisme, karena terdapat kesamaan antara sufisme dan pemikiran tradisional China.

Shih kemudian berbagi bahwa ia sering menghadapi pertanyaan dari audiens Barat, seperti ”Bagaimana dengan Tibet?” ”Bagaimana dengan Hong Kong?” atau ” Bagaimana dengan Uyghur?”. Mereka juga sering mengatakan ”Eropa telah belajar!”, yang berarti mereka telah belajar dari sejarah dan tidak akan melakukan pembantaian besar lagi. Shih menegaskan bahwa ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui bukunya.

Pemerintahan dan Jalur Massa
Shih Chih-Yu membahas konsep pemerintahan (governmentality) dan jalur massa (mass line).Dia menjelaskan bahwa konsep pemerintahan yang ia bahas berasal dari Michel Foucault, yang berbicara tentang bagaimana individu dalam sistem dibentuk untuk melanjutkan pekerjaan yang diharapkan oleh sistem tersebut.

Namun, Shih menegaskan bahwa jika peneliti menggunakan Foucault untuk mempelajari sistem otoriter dan menekankan bagaimana diktator menggunakan pemerintahan untuk memanipulasi masyarakat, itu sebenarnya kehilangan makna asli dari konsep pemerintahan. Jika seseorang bisa melampaui pemerintahan, maka itu bukan lagi pemerintahan, melainkan mekanisme kontrol.

Shih menjelaskan bahwa yang ingin ia pelajari adalah ”pemerintahan tandingan” (counter-governmentality), yaitu bagaimana pemimpin dibentuk untuk merespons dan peduli terhadap masyarakat agar tetap dapat memimpin. Pemimpin juga dibentuk, bukan hanya individu yang dikontrol. Dari perspektif ini, konsep involution bisa dipahami, di mana individu tidak lagi bertindak sesuai dengan sistem yang membentuk mereka.

Dalam sistem otoriter, ketika pemimpin atau diktator tidak lagi bertindak sesuai dengan ”karakteristik” yang seharusnya dimiliki ”diktator”, maka involusi terjadi. Hal ini biasanya terkait dengan konsep jalur massa dalam sosialisme.

Shih menambahkan bahwa dengan mengamati jalur massa, kita bisa lebih memahami bagaimana masyarakat demokratis dan otoriter merespons involusi, baik melalui pemungutan suara, survei, atau pertunjukan untuk menciptakan kembali hubungan emosional antara pemimpin dan rakyat.

Dia mencontohkan tradisi ”Konfusianisme” dalam kebudayaan China, yang bertujuan untuk membantu pemimpin menghindari kutukan ”tirani pasti tumbang”. Terakhir, Shih Chih-Yu menyimpulkan bahwa dia tetap seorang ilmuwan politik, tetapi ilmu politik yang dia teliti adalah tentang bagaimana manusia membentuk diri mereka sendiri sesuai dengan aturan.

Dia menekankan bahwa dia meneliti bagaimana tindakan menghasilkan efek, bukan menganggap Konfusianisme sebagai norma. Misalnya, bagaimana Partai Komunis China mengevaluasi efektivitas jalur massa mereka dan bagaimana mereka harus menyesuaikan diri jika itu tidak efektif. Sesungguhnya ilmu pengetahuan di balik konsep pemerintahan adalah prinsip di mana tidak ada masyarakat yang dapat bertahan tanpa pemerintahan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1014 seconds (0.1#10.140)
pixels