Paradoks Bali dan Seniman Agus Saputra
loading...
A
A
A
Agus mengasosiasikan tokoh Sumo, tradisi perkelahian di Jepang yang menitikberatkan pada postur “raksasa” sekaligus wahana hiburan; tetapi sangat ironi tatkala kita semua tak bersandar pada membangun masa depan dengan keahlian dan kepakaran teknokrasi alih-alih hanya dibuai oleh hiburan sesaat.
Bagi seniman seperti Agus, yang dilatih dengan keras menjadi pekerja artisan—menjadi asisten seorang seniman yang sudah berpengalaman bertahun-tahun dan selain juga belajar di perguruan tinggi seni (ISI Denpasar)- ia menyebut bahwa ada kelemahan-kelemahan yang kemudian dimanfaatkan oleh rezim penguasa, yakni cara generasi milenial dan terutama zilenial menyikapi realitas.
“Tentu saja, selain selain kemampuannya sebagai native digital di wilayah teknologi komunikasi, mereka sebenarnya kurang mampu bertahan untuk survival dan menjadi petarung yang gigih, cenderung mencapai kesuksesan dengan cara instan serta mudah menyerah,” pungkas Agus.
Bagi seniman seperti Agus, yang dilatih dengan keras menjadi pekerja artisan—menjadi asisten seorang seniman yang sudah berpengalaman bertahun-tahun dan selain juga belajar di perguruan tinggi seni (ISI Denpasar)- ia menyebut bahwa ada kelemahan-kelemahan yang kemudian dimanfaatkan oleh rezim penguasa, yakni cara generasi milenial dan terutama zilenial menyikapi realitas.
“Tentu saja, selain selain kemampuannya sebagai native digital di wilayah teknologi komunikasi, mereka sebenarnya kurang mampu bertahan untuk survival dan menjadi petarung yang gigih, cenderung mencapai kesuksesan dengan cara instan serta mudah menyerah,” pungkas Agus.
(hdr)