Paradoks Bali dan Seniman Agus Saputra
loading...
A
A
A
“Saya terinspirasi oleh Sabung Ayam atau Tajen di Bali (Yadnya), yang dulunya adalah sebuah ritual sakral Tabuh Rah, meneguhkan sikap keyakinan Tri Hita Karana tentang keberanian beritikad kesucian untuk semesta, namun seperti kita lihat dimana-mana sabung ayam dipentaskan sepertinya sebuah gelaran wisata saja bahkan untuk judi?,” dalih Agus.
Sabung ayam atau Tajen, bagi Agus, dengan gaya bertutur komikalnya memberi parodi bahwa ada dua hal yang terselubung dalam pesan-pesan seni lukisnya yakni, ia separuh berseloroh dengan kegelisahan personalnya tentang kaburnya jejak-jejak tradisi sakral dan saat sama upaya menampilkan “perlawanan”, atau lebih tepatnya pertarungan tunggal simbolik sebagai seniman lokal melawan kebijakan turisme Pemda setempat yang berlebihan.
”Sebagai millenial, dan pecandu games online, saya terpikat menggunakan idiom permainan judi di Las Vegas dengan pemenangnya disebut Winner Winner Chicken Dinner. Sekaligus pengalaman personal permainan games tanpa uang atau judi, yang akhirnya yang memberi juluk pameran tunggal saya itu,” jelas Agus.
Sosok Sumo dan Gemoy
Selain ayam jantan berotot sebagai jagoan di ring Tinju dan pertarungan satu lawan satu, lukisan-lukisan Agus dipenuhi juga sosok Sumo, bintang olah raga tradisi Jepang.
“Saya sering berdialog dengan kurator Khrisnaya Santoso, sejak sebelum Covid-19 melanda, yang kebetulan ia sempat tinggal di Jepang. Santoso membuka wawasan saya bahwa kolonialisasi budaya tak datang hanya dari Belanda dan dominan Amerika Serikat di jaman Orba atau Orde lama, tapi sejak pra kemerdekaan, yakni bangsa Jepang secara global menyumbang juga konstruksi budaya kita,” ujar Agus.
Bagi Agus, sejarah teramat penting untuk menelusuri identitas sebuah bangsa, tak terkecuali pengaruh kultur Jepang di Indonesia. Keimin Bunka Shidoso, Lembaga Kebudayaan buatan Jepang awal tahun 1940-an sejak dini mempengaruhi.
Yang tak heran beragam seniman, pelukis dan komposer dari Jepang, seperti Iida Nobuo, Kōno Takashi, Kurata Bunjin, Hinatsu Eitar sampai seniman Indonesia dengan Sudjojono, Emiria Sunassa, Basuki Abdullah, Barli Sasmitanata dll terjadi persentuhan-persentuhan eksresi seni lokal-global yang intens. Di kemudian hari, kita tak heran dengan sosok Sumo, desain baju Harajuku sampai toko buku besar memajang komik Manga yang menjadi intim di Indonesia.
“Saya yakin ada semacam penjajahan secara halus hari ini dengan simbol Gemoy, saat Pilpres usai dan kita menerima pemenangnya yang kelak menjadi Presiden NKRI. Bahwa generasi muda dikenalkan figur besar nan lucu, yang menari namun bisa jadi menakutkan dengan simbol Sumo di lukisan saya, sebab dalam kegembiraan sesaat ada kekhawatiran yang mengancam,”
Sabung ayam atau Tajen, bagi Agus, dengan gaya bertutur komikalnya memberi parodi bahwa ada dua hal yang terselubung dalam pesan-pesan seni lukisnya yakni, ia separuh berseloroh dengan kegelisahan personalnya tentang kaburnya jejak-jejak tradisi sakral dan saat sama upaya menampilkan “perlawanan”, atau lebih tepatnya pertarungan tunggal simbolik sebagai seniman lokal melawan kebijakan turisme Pemda setempat yang berlebihan.
”Sebagai millenial, dan pecandu games online, saya terpikat menggunakan idiom permainan judi di Las Vegas dengan pemenangnya disebut Winner Winner Chicken Dinner. Sekaligus pengalaman personal permainan games tanpa uang atau judi, yang akhirnya yang memberi juluk pameran tunggal saya itu,” jelas Agus.
Sosok Sumo dan Gemoy
Selain ayam jantan berotot sebagai jagoan di ring Tinju dan pertarungan satu lawan satu, lukisan-lukisan Agus dipenuhi juga sosok Sumo, bintang olah raga tradisi Jepang.
“Saya sering berdialog dengan kurator Khrisnaya Santoso, sejak sebelum Covid-19 melanda, yang kebetulan ia sempat tinggal di Jepang. Santoso membuka wawasan saya bahwa kolonialisasi budaya tak datang hanya dari Belanda dan dominan Amerika Serikat di jaman Orba atau Orde lama, tapi sejak pra kemerdekaan, yakni bangsa Jepang secara global menyumbang juga konstruksi budaya kita,” ujar Agus.
Bagi Agus, sejarah teramat penting untuk menelusuri identitas sebuah bangsa, tak terkecuali pengaruh kultur Jepang di Indonesia. Keimin Bunka Shidoso, Lembaga Kebudayaan buatan Jepang awal tahun 1940-an sejak dini mempengaruhi.
Yang tak heran beragam seniman, pelukis dan komposer dari Jepang, seperti Iida Nobuo, Kōno Takashi, Kurata Bunjin, Hinatsu Eitar sampai seniman Indonesia dengan Sudjojono, Emiria Sunassa, Basuki Abdullah, Barli Sasmitanata dll terjadi persentuhan-persentuhan eksresi seni lokal-global yang intens. Di kemudian hari, kita tak heran dengan sosok Sumo, desain baju Harajuku sampai toko buku besar memajang komik Manga yang menjadi intim di Indonesia.
“Saya yakin ada semacam penjajahan secara halus hari ini dengan simbol Gemoy, saat Pilpres usai dan kita menerima pemenangnya yang kelak menjadi Presiden NKRI. Bahwa generasi muda dikenalkan figur besar nan lucu, yang menari namun bisa jadi menakutkan dengan simbol Sumo di lukisan saya, sebab dalam kegembiraan sesaat ada kekhawatiran yang mengancam,”