Salam Lintas Agama sebagai Upaya Merawat Kemajemukan Indonesia

Sabtu, 08 Juni 2024 - 17:11 WIB
loading...
Salam Lintas Agama sebagai Upaya Merawat Kemajemukan Indonesia
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Abdul Jamil Wahab. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Fatwa haram salam lintas agama yang dihasilkan dalam Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) menunai pro dan kontra. Menurut Ijtima Ulama MUI, salam lintas agama tidak dibenarkan bagi umat Islam karena salam bagian dari ubudiyah.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Abdul Jamil Wahab menilai, pihak yang melarang penggunaan salam lintas agama berangkat dari pemikiran bahwa salam adalah bentuk ubudiyah atau urusan ibadah, sehingga tidak boleh digabungkan dengan salam dari agama yang lain.

"Tetapi bahwa berbagai ucapan salam, kalau kita memahaminya sebagai kata sapaan pada orang lain atau tahniah, saya kira tidak ada masalah. Selanjutnya, kalau kita maknai bahwa salam lintas agama itu hanya dari sisi pengucapannya saja yang menggunakan bahasa yang berbeda atau beragam, sesuai dengan audiens yang ada di hadapan kita, saya kira tidak masalah," kata Jamil di Jakarta, Sabtu (7/6/2024).

Menurutnya, salam lintas agama hanya salah satu bentuk upaya dan kesadaran untuk secara berkesinambungan merawat kemajemukan yang dimiliki Indonesia. Andaikata Tuhan berkehendak, tentu bisa menciptakan Indonesia hanya diisi oleh salah satu agama atau suku tertentu saja, namun faktanya tidak demikian.

"Kemajemukan adalah titah Tuhan. Jangan kita justru punya keinginan untuk menghapus majemuknya Indonesia, sehingga kita seolah-olah bertindak melebihi Tuhan itu sendiri. Diperlukan kejujuran, khususnya dari tokoh agama dan masyarakat, untuk menyampaikan bahwa perbedaan agama jangan sampai menjadi penyebab diskriminasi sosial hanya karena memiliki keimanan yang tidak sama dengan mayoritas Indonesia," katanya.

Jamil berharap agar Pemerintah bisa memberikan perhatian yang lebih masif lagi pada isu kerukunan umat beragama. Pembangunan infrastruktur dinilai memang penting, tapi jangan sampai mengalahkan pentingnya pemberian ruang dialog lintas keimanan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Apalagi, lanjutnya, bangsa Indonesia baru saja memperlngati Hari Lahir Pancasila. Harusnya masyarakat Indonesia kembali diingatkan bahwa teramat besar karunia Tuhan yang dianugerahkan pada bangsa ini. Tidak hanya keragaman sosial dan budaya yang diberikan tempat secara khusus, perbedaan keyakinan pun diwadahi oleh Pancasila sebagai falsafah bangsa.

"Para pendiri bangsa ini telah merancang Pancasila sedemikian rupa, sehingga Indonesia menjadi negara yang mampu menjembatani konsep ketuhanan dengan aspek kemasyarakatan," katanya.

Membahas esensi Pancasila sebagai tolak ukur dalam hidup bernegara dan bermasyarakat, kata Jamil, sila pertama dalam Pancasila dapat dianggap sebagai unsur yang mempersatukan perbedaan keyakinan di Indonesia.

"Bahwa pada sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa,’ mampu mengakomodasi keinginan dari berbagai macam kelompok masyarakat, terutama dari kalangan yang mewakili agama-agama yang berbeda. Sebelumnya, terdapat kata 'menjalankan syariat Islam' dan seterusnya, yang kemudian dihapus dalam penetapan final pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada akhirnya, Pancasila hanya memuat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai sila pertama," katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1108 seconds (0.1#10.140)
pixels