Mencegah Konflik Pilkada Serentak
loading...
A
A
A
Anang Puji Utama
Dosen Tetap Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan
SEPANJANG tahun 2024 akan diwarnai dengan dinamika politik baik di level nasioal maupun lokal. Setelah selesai pergelaran pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, dinamika politik saat ini belanjut dengan pembahasan peta politik ke depan antara lain soal koalisi dan opsisi, formasi kabinet, dan konfigurasi kekuatan politik di parlemen. Keriuhan politik tersebut ditambah dengan persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan diadakan pada 27 November 2024.
Pilkada serentak akan diadakan di 548 daerah yang terdiri 415 kabupaten. 98 kota dan 37 provinsi. Hampir seluruh wilayah di Indonesia akan melaksanakan pilkada kecuali pada daerah Istimewa yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kota/kabupaten admistratif di Provinisi Jakarta. Pilkada serentak ini akan membawa dampak positif dalam integrasi perencanaan dan pelaksanaan pembagunan pusat dan daerah di Indonesia.
Penyelenggaraan pilkada serentak 2024 akan menjadi pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia dalam menentukan kepemimpinan lokal pada waktu bersamaan. Apabila tidak ada perubahan kebijakan, penyelenggaraan pemilihan presiden, pemilihan legislative, dan pilkada ini akan menjadi ajang demokrasi besar dan rutin setiap lima tahun sekali di Indonesia.
Pilkada serentak 2024 memiliki arti penting bagi pembelajaran demokrasi dan pelaksanaan pilkada serentak pada periode-periode berikutnya sehingga penyelenggara pilkada, penegak hukum dan pemerintah harus berupaya maksimal untuk melaksanakan pilkada yang aman, damai dan berkualitas. Salah satu situasi yang perlu diantisipasi adalah persoalan keamanan nasional berhubungan dengan pilkada serentak ini. Terutama adanya potensi konflik sosial di masyarakat.
Pendewasaan Masyarakat dari Pemilu 2024
Pelaksanaan pemilu 2024 yang baru saja usai memberikan catatan penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Catatan penting tersebut terkait dengan minimnya atau bahkan tidak ada penggunaan politik yang bernuansa SARA. Padahal pemilu 2024 berada di bawah bayang-bayang masifnya penggunaan politik SARA pada pemiu sebelumnya dan polarisasi yang masih tajam di masyarakat. Kondisi ini menjadi salah satu potensi yang dapat menimbulkan gangguan keamanan di masyarakat.
Melihat pada pemilu dan beberapa pilkada sebelumnya penggunaan politik yang bernuansa SARA sangat masif, termasuk penyebaran hoaks. Kondisi ini menyebabkan ketegangan dan polarisasi di tengah masyarakat sangat kuat. Akan tetapi pada pemilu 2024, hal tersebut tidak tampak atau tidak terjadi kasus yang serius hingga menimbulkan konflik di masyarakat. Bahkan ketegangan dan tensi politik yang tinggi hanya terasa di antara para elit politik dan tidak menyebar pada masa akar rumput.
Situasi tersebut mengindikasikan adanya kedewasaan politik di masyarakat saat ini. Adanya kerugian sosial berkepanjangan yang terjadi akibat residu konflik politik pada ajang pemilu dan pilkada sebelumnya menjadi pelajaran penting masyarakat untuk menjaga dari politik SARA pada pemilu tahun ini. Stabilitas keamanan dan sosial pun menjadi lebih terkendali sejak tahapan awal pemilu sampai dengan penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Kerawanan Keamanan pada Pilkada Serentak
Stabilitas keamanan dan sosial yang terkendali pada pemilu diharapkan dapat juga terwujud dalam pilkada serentak. Namun perlu disadari bahwa dari aspek penjagaan keamanan dan potensi konflik pemilu berbeda dengan pilkada serentak. Potensi kerawanan keamanan dan konflik pilkada tersebar. Bahkan bisa dikatakan seluruh penyelenggaraan pilkada memilki potensi konflik dengan intensitas yang beragam.
Dalam pemilu, episentrum konflik atau kerawanan keamanan lebih terpusat. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kejadian mobilisasi massa yang terlokalisir pada beberapa titik terutama di Jakarta yaitu kantor Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun muncul gangguan di lokasi-lokasi lain di beberapa wilayah, namun dengan eskalasi gangguan yang rendah.
Selain itu, interaksi antarpendukung semakin dekat dan sempit secara wilayah. Kedekatan antarpendukung dengan kandidat yang didukung juga bisa sangat kuat baik dari aspek personal maupun aspek sosial sehingga dapat menimbulkan dukungan yang fanatik. Kondisi tersebut dapat memunculkan potensi terjadinya gesekan secara langsung semakin besar.
Pilkada diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia, hal ini mengindikasikan bahwa seluruh wilayah juga menghadapi risiko munculnya gangguan keamanan dan sosial. Meskipun setiap wilayah memiliki tingkat kerawanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan konsentrasi penjagaan di seluruh wilayah Indonesia dengan penebalan kekuatan pengamanan pada wilayah-wilayah yang lebih rawan konflik.
Upaya Preventif dan Edukasi Politik
Penyelenggaraan pilkada serentak telah dibekali dengan kedewasaan politik masyarakat dengan proses pemilu yang berlangsung kondusif. Kedewasaan politik ini perlu dipertahankan dan ditumbuhkan terus menerus. Terlebih saat pelaksanaan pilkada serentak nanti. Kondusivitas yang terwujud dalam pilkada akan mengonfrmasi masyarakat yang sudah memiliki kematangan dalam berpolitik melalui pelaksanaan pesta demokrasi.
Untuk mewujudkan pelaksanaan pilkada yang aman, kondusif dan berkualitas tentu tetap memerlukan serangkaian upaya untuk mencegah dan menyelesaikan berbagai macam ancaman gangguan dalam penyelenggaraan pilkada. Upaya ini perlu ditempuh oleh seluruh elemen bangsa terutama pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pilkada serentak.
Upaya-upaya pencegahan konflik dalam pilkada serentak perlu dilakukan sejak dini melalui peningkatan kegiatan-kegiatan edukasi atau sosialisasi politik damai dan berkualitas bagi masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan modal besar kedewasaan politik dalam proses pemilu sebelumnya yang telah mampu meredam beragam konflik.
Masyarakat telah mempunyai pengalaman berharga dan merasakan kedamaian dalam pemilu sehingga hal ini akan menjadi faktor pendukung untuk pelaksanaan kelacaran dan pencapaian tujuan edukasi politik. Aparatur pemerintah yang dituntut netralitasnya harus dapat mengambil peran dalam upaya edukasi ini. Selain itu tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemimpin lokal yang nonpartisan juga perlu menyuarakan terus menerus mengenai pentingnya kedewasaan politik dalam pilkada.
Aparatur keamanan baik TNI maupun Polri selain berperan dalam melakukan penindakan atas konflik yang mungkin terjadi, juga perlu mengambil peran penting dalam edukasi politik bagi masyarakat. TNI yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dari masyarakat selama bertahun-tahun perlu mengkampanyekan pilkada serentak damai.
Subyek paling penting adalah peserta pilkada baik kandidat, tim sukses dan partai politik juga harus dapat memberikan edukasi melalui kegiatan-kegiatan kampanye yang sehat dan cerdas sehingga menambah pendewasaan politik bagi masyarakat. Kampanye harus didorong pada pertarungan program kandidat. Politik yang bernuansa SARA yang sangat rentan memunculkan konflik wajib dihindari.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga sebagai subyek penting dalam berperan mewujudkan kelancaran, kedamaian dan ketertiban pilkada serentak. Peyelenggaran termasuk pengawas baik di pusat maupun daerah harus mampu bekerja profesional, netral dan obyektif.
Pilkada serentak merupakan ujian pendewasaan politik kedua setelah pemilu. Apabila ujian ini sukses, minim konflik dan konflik yang muncul dapat dikendalikan, nihil penggunaan politik dengan nuansa SARA maka akan semakin mematangkan demokrasi Indonesia. Namun, apabila gagal maka akan menyebabkan kemunduran dan harus memulai kembali pekerjaan untuk mendewasakan berpolitik. Hal ini memerlukan kerja keras dan terus menerus dari berbagai pihak. Demi keberlanjutan kemajuan demokrasi Indonesia.
Dosen Tetap Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan
SEPANJANG tahun 2024 akan diwarnai dengan dinamika politik baik di level nasioal maupun lokal. Setelah selesai pergelaran pemilihan presiden dan pemilihan legislatif, dinamika politik saat ini belanjut dengan pembahasan peta politik ke depan antara lain soal koalisi dan opsisi, formasi kabinet, dan konfigurasi kekuatan politik di parlemen. Keriuhan politik tersebut ditambah dengan persiapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang akan diadakan pada 27 November 2024.
Pilkada serentak akan diadakan di 548 daerah yang terdiri 415 kabupaten. 98 kota dan 37 provinsi. Hampir seluruh wilayah di Indonesia akan melaksanakan pilkada kecuali pada daerah Istimewa yaitu Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kota/kabupaten admistratif di Provinisi Jakarta. Pilkada serentak ini akan membawa dampak positif dalam integrasi perencanaan dan pelaksanaan pembagunan pusat dan daerah di Indonesia.
Penyelenggaraan pilkada serentak 2024 akan menjadi pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia dalam menentukan kepemimpinan lokal pada waktu bersamaan. Apabila tidak ada perubahan kebijakan, penyelenggaraan pemilihan presiden, pemilihan legislative, dan pilkada ini akan menjadi ajang demokrasi besar dan rutin setiap lima tahun sekali di Indonesia.
Pilkada serentak 2024 memiliki arti penting bagi pembelajaran demokrasi dan pelaksanaan pilkada serentak pada periode-periode berikutnya sehingga penyelenggara pilkada, penegak hukum dan pemerintah harus berupaya maksimal untuk melaksanakan pilkada yang aman, damai dan berkualitas. Salah satu situasi yang perlu diantisipasi adalah persoalan keamanan nasional berhubungan dengan pilkada serentak ini. Terutama adanya potensi konflik sosial di masyarakat.
Pendewasaan Masyarakat dari Pemilu 2024
Pelaksanaan pemilu 2024 yang baru saja usai memberikan catatan penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Catatan penting tersebut terkait dengan minimnya atau bahkan tidak ada penggunaan politik yang bernuansa SARA. Padahal pemilu 2024 berada di bawah bayang-bayang masifnya penggunaan politik SARA pada pemiu sebelumnya dan polarisasi yang masih tajam di masyarakat. Kondisi ini menjadi salah satu potensi yang dapat menimbulkan gangguan keamanan di masyarakat.
Melihat pada pemilu dan beberapa pilkada sebelumnya penggunaan politik yang bernuansa SARA sangat masif, termasuk penyebaran hoaks. Kondisi ini menyebabkan ketegangan dan polarisasi di tengah masyarakat sangat kuat. Akan tetapi pada pemilu 2024, hal tersebut tidak tampak atau tidak terjadi kasus yang serius hingga menimbulkan konflik di masyarakat. Bahkan ketegangan dan tensi politik yang tinggi hanya terasa di antara para elit politik dan tidak menyebar pada masa akar rumput.
Situasi tersebut mengindikasikan adanya kedewasaan politik di masyarakat saat ini. Adanya kerugian sosial berkepanjangan yang terjadi akibat residu konflik politik pada ajang pemilu dan pilkada sebelumnya menjadi pelajaran penting masyarakat untuk menjaga dari politik SARA pada pemilu tahun ini. Stabilitas keamanan dan sosial pun menjadi lebih terkendali sejak tahapan awal pemilu sampai dengan penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Kerawanan Keamanan pada Pilkada Serentak
Stabilitas keamanan dan sosial yang terkendali pada pemilu diharapkan dapat juga terwujud dalam pilkada serentak. Namun perlu disadari bahwa dari aspek penjagaan keamanan dan potensi konflik pemilu berbeda dengan pilkada serentak. Potensi kerawanan keamanan dan konflik pilkada tersebar. Bahkan bisa dikatakan seluruh penyelenggaraan pilkada memilki potensi konflik dengan intensitas yang beragam.
Dalam pemilu, episentrum konflik atau kerawanan keamanan lebih terpusat. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kejadian mobilisasi massa yang terlokalisir pada beberapa titik terutama di Jakarta yaitu kantor Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun muncul gangguan di lokasi-lokasi lain di beberapa wilayah, namun dengan eskalasi gangguan yang rendah.
Selain itu, interaksi antarpendukung semakin dekat dan sempit secara wilayah. Kedekatan antarpendukung dengan kandidat yang didukung juga bisa sangat kuat baik dari aspek personal maupun aspek sosial sehingga dapat menimbulkan dukungan yang fanatik. Kondisi tersebut dapat memunculkan potensi terjadinya gesekan secara langsung semakin besar.
Pilkada diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia, hal ini mengindikasikan bahwa seluruh wilayah juga menghadapi risiko munculnya gangguan keamanan dan sosial. Meskipun setiap wilayah memiliki tingkat kerawanan yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan konsentrasi penjagaan di seluruh wilayah Indonesia dengan penebalan kekuatan pengamanan pada wilayah-wilayah yang lebih rawan konflik.
Upaya Preventif dan Edukasi Politik
Penyelenggaraan pilkada serentak telah dibekali dengan kedewasaan politik masyarakat dengan proses pemilu yang berlangsung kondusif. Kedewasaan politik ini perlu dipertahankan dan ditumbuhkan terus menerus. Terlebih saat pelaksanaan pilkada serentak nanti. Kondusivitas yang terwujud dalam pilkada akan mengonfrmasi masyarakat yang sudah memiliki kematangan dalam berpolitik melalui pelaksanaan pesta demokrasi.
Untuk mewujudkan pelaksanaan pilkada yang aman, kondusif dan berkualitas tentu tetap memerlukan serangkaian upaya untuk mencegah dan menyelesaikan berbagai macam ancaman gangguan dalam penyelenggaraan pilkada. Upaya ini perlu ditempuh oleh seluruh elemen bangsa terutama pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pilkada serentak.
Upaya-upaya pencegahan konflik dalam pilkada serentak perlu dilakukan sejak dini melalui peningkatan kegiatan-kegiatan edukasi atau sosialisasi politik damai dan berkualitas bagi masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan modal besar kedewasaan politik dalam proses pemilu sebelumnya yang telah mampu meredam beragam konflik.
Masyarakat telah mempunyai pengalaman berharga dan merasakan kedamaian dalam pemilu sehingga hal ini akan menjadi faktor pendukung untuk pelaksanaan kelacaran dan pencapaian tujuan edukasi politik. Aparatur pemerintah yang dituntut netralitasnya harus dapat mengambil peran dalam upaya edukasi ini. Selain itu tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemimpin lokal yang nonpartisan juga perlu menyuarakan terus menerus mengenai pentingnya kedewasaan politik dalam pilkada.
Aparatur keamanan baik TNI maupun Polri selain berperan dalam melakukan penindakan atas konflik yang mungkin terjadi, juga perlu mengambil peran penting dalam edukasi politik bagi masyarakat. TNI yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi dari masyarakat selama bertahun-tahun perlu mengkampanyekan pilkada serentak damai.
Subyek paling penting adalah peserta pilkada baik kandidat, tim sukses dan partai politik juga harus dapat memberikan edukasi melalui kegiatan-kegiatan kampanye yang sehat dan cerdas sehingga menambah pendewasaan politik bagi masyarakat. Kampanye harus didorong pada pertarungan program kandidat. Politik yang bernuansa SARA yang sangat rentan memunculkan konflik wajib dihindari.
Selain itu, penyelenggara pemilu juga sebagai subyek penting dalam berperan mewujudkan kelancaran, kedamaian dan ketertiban pilkada serentak. Peyelenggaran termasuk pengawas baik di pusat maupun daerah harus mampu bekerja profesional, netral dan obyektif.
Pilkada serentak merupakan ujian pendewasaan politik kedua setelah pemilu. Apabila ujian ini sukses, minim konflik dan konflik yang muncul dapat dikendalikan, nihil penggunaan politik dengan nuansa SARA maka akan semakin mematangkan demokrasi Indonesia. Namun, apabila gagal maka akan menyebabkan kemunduran dan harus memulai kembali pekerjaan untuk mendewasakan berpolitik. Hal ini memerlukan kerja keras dan terus menerus dari berbagai pihak. Demi keberlanjutan kemajuan demokrasi Indonesia.
(cip)