Menteri LHK Ungkap Pentingnya Carbon Governance, Ini Penjelasannya
loading...
A
A
A
Terkait ancaman hilangnya kawasan negara, Kementerian LHK sudah menangani kasus yang membahayakan kedaulatan negara sehingga harus diambil tindakan fan sanksi kepada yang bersangkutan dan bisa diambil contohnya di Indonesia.
"Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi hutan untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang ijin konsesi hutan tersebut, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar negeri dan dalam hal contoh ini yaitu di Hong Kong," tutur Menteri Siti.
Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah "menyerahkan" atau "mengalihkan" izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri.
"Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan hutan serta ketidaktaatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, oleh Pemerintah RI telah dijatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan," ungkapnya.
Kondisi seperti contoh ini memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset carbon voluntary.
"Bisa dibayangkan apabila pemegang izin definitif konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215 ribu ha izin definitif (6 perusahaan) dan sedang berproses menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa mencapai di atas 2 juta ha, maka bisa terjadi pengalihan areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary," tegasnya.
Dengan demikian kata Menteri Siti, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.
Dengan kata lain, pemerintah hanya tahu bahwa perusahaan memiliki izin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI).
"Karena wilayahnya sudah dikuasai pihak lain (asing); bukan lagi menjadi sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia. Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary," ungkapnya.
Menerapkan metode sertifikasi karbon secara sembrono tanpa kendali Pemerintah akan dapat berimplikasi pada "melayangnya" juridiksi teritori wilayah dan dalam skala yang massif, menjadi bukan tidak mungkin kita hanya akan memiliki negara tanpa wilayah, atau virtual country. Dagang karbon secara sembrono jelas merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara.
"Ketika pemerintah melakukan pengawasan terhadap perusahaan konsesi hutan untuk langkah perbaikan, ternyata tidak bisa lagi dilakukan langkah atau operasional dilakukan oleh pemegang ijin konsesi hutan tersebut, karena kendali pengelolaannya sudah berpindah ke pihak lain di luar negeri dan dalam hal contoh ini yaitu di Hong Kong," tutur Menteri Siti.
Padahal, pemegang izin tersebut mendapat izin dari pemerintah RI dengan segala kewajibannya, yang tidak dapat dilaksanakan dan bahkan telah "menyerahkan" atau "mengalihkan" izin dari pemerintah RI kepada pihak lain di luar negeri.
"Dengan kondisi pelanggaran atas perizinan kawasan hutan serta ketidaktaatan dalam aturan, maka kepada perusahaan yang demikian, oleh Pemerintah RI telah dijatuhkan sanksi pencabutan dan pembekuan," ungkapnya.
Kondisi seperti contoh ini memberikan gambaran bahwa terjadi pengalihan konsesi ke luar negeri tanpa diketahui oleh pemerintah, tanpa kendali pemerintah, karena tidak mengikuti aturan dengan alasan merupakan kegiatan offset carbon voluntary.
"Bisa dibayangkan apabila pemegang izin definitif konsesi karbon (restorasi ekosistem) yang saat ini luasnya telah mencapai 215 ribu ha izin definitif (6 perusahaan) dan sedang berproses menjadi sekitar 80 unit konsesi karbon dengan luas bisa mencapai di atas 2 juta ha, maka bisa terjadi pengalihan areal hutan negara ke luar negeri tanpa kendali dan tidak diketahui oleh pemerintah atas alasan voluntary," tegasnya.
Dengan demikian kata Menteri Siti, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.
Dengan kata lain, pemerintah hanya tahu bahwa perusahaan memiliki izin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI).
"Karena wilayahnya sudah dikuasai pihak lain (asing); bukan lagi menjadi sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia. Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary," ungkapnya.
Menerapkan metode sertifikasi karbon secara sembrono tanpa kendali Pemerintah akan dapat berimplikasi pada "melayangnya" juridiksi teritori wilayah dan dalam skala yang massif, menjadi bukan tidak mungkin kita hanya akan memiliki negara tanpa wilayah, atau virtual country. Dagang karbon secara sembrono jelas merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara.