Pakar dan Eks Hakim Konstitusi Yakin MK Buat Landmark Decision dalam Sengketa Pilpres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa hari ke depan akan mengeluarkan putusan atas sengketa Pilpres 2024. Terkait itu, mantan hakim konstitusi dan sejumlah pakar hukum meyakini MK akan mengukir sejarah baru dengan membuat landmark decision yang menjadi terobosan di Indonesia.
Keyakinan itu salah satunya datang dari mantan hakim konstitusi Ahmad Sodiki. Dia mengingatkan, MK sudah pernah mengukir sejarah dengan membuat landmark decision seperti yang sudah diputus dalam sengketa-sengketa pemilu yang terjadi sebelumnya.
Antara lain keharusan calon kepala daerah untuk mengumumkan kepada publik jika mereka pernah menjalani masa hukuman penjara atas satu kasus. Kali ini, ada persyaratan batas usia bagi calon wakil presiden yang sudah jadi polemik selama Pilpres 2024 berlangsung.
"Apakah masih mungkin untuk menguji pasal tentang umur wakil presiden itu dengan pasal lain yang ada di dalam konstitusi, bukan yang telah dipakai. Kalau itu masih mungkin ya mungkin bisa diuji lagi," kata Sodi dalam Diskusi Media yang digelar MMD Initiative, Jumat (19/4/2024).
Sodi berpendapat, jika itu terjadi MK bisa membuat terobosan putusan atau landmark decision dalam sejarah Indonesia. Artinya, Sodiki menekankan, masih terbuka satu kemungkinan untuk dilakukannya perbaikan dari putusan lama yang saat ini digunakan. "Dengan demikian, maka ada kemungkinan perbaikan dari putusan yang lama, putusan yang sekarang berjalan," ujarnya.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2024 akan jadi landmark decision. Putusan itu akan jadi ujian masihkah Indonesia negara hukum. "Kita sedang menguji apakah ini kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini," kata Sulis.
Sulis mengingatkan, kasus ini menguji pilar-pilar negara hukum yang dimiliki Indonesia mulai dari demokrasi, HAM dan mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan. Yang mana, tidak hanya Trias Politica, Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif.
Maka itu, Sulis menilai, sengketa pemilu untuk Pilpres 2024 ini bersifat sangat khusus, tidak bisa direduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Sehingga, ada harapan agar hakim MK bisa memikirkan pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal.
"Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong Undang-Undang saja, dan sebagai penjaga gerbang terdepan dari konstitusi MK harus mempertahankan konstitusi, biarpun langit runtuh konstitusi harus tetap tegak," ujar Sulis.
Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan, hakim itu sudah pasti bukan corong undang-undang atau hukum. Tapi, hakim merupakan corong keadilan yang tidak cuma membaca undang-undang.
"Jadi, hakim tidak menemukan undang-undang, wong semua orang baca undang-undang kok, untuk apa hakim kalau cuma sekadar baca undang-undang. Tapi, yang mau ditemukan hakim adalah keadilan," kata Feri.
Dalam kasus sengketa Pilpres 2024, Feri memberi dorongan agar hakim-hakim MK berani memberhentikan siapa pun calon-calon yang terbukti melanggar. Termasuk, jika calon itu merupakan anak seorang presiden yang melantik mereka sebagai hakim-hakim konstitusi.
"Apakah Mahkamah Konstitusi berani memberhentikan anak presiden yang melantik dia, apakah Mahkamah Konstitusi berani kalau salah satu di antaranya adalah orang yang dititipkan melalui proses seleksi tidak adil dari hakim," ujar Feri.
Direktur Eksekutif MMD Initiative, Asmai Ishak menyampaikan, MMD Initiative menggelar diskusi dalam rangka menyegarkan kembali sekaligus memberi pelajaran ke masyarakat. Terutama, tentang demokrasi Indonesia yang pernah baik dan perlu dikembalikan lagi.
"Itu yang harus kita kembalikan lagi. MK sebagai lembaga terakhir, benteng demokrasi, benteng keadilan, itu pernah menjadi atau memutuskan atau mengambil putusan yang fenomenal dan sangat bermanfaat untuk kepentingan bangsa," kata Asmai.
Keyakinan itu salah satunya datang dari mantan hakim konstitusi Ahmad Sodiki. Dia mengingatkan, MK sudah pernah mengukir sejarah dengan membuat landmark decision seperti yang sudah diputus dalam sengketa-sengketa pemilu yang terjadi sebelumnya.
Antara lain keharusan calon kepala daerah untuk mengumumkan kepada publik jika mereka pernah menjalani masa hukuman penjara atas satu kasus. Kali ini, ada persyaratan batas usia bagi calon wakil presiden yang sudah jadi polemik selama Pilpres 2024 berlangsung.
"Apakah masih mungkin untuk menguji pasal tentang umur wakil presiden itu dengan pasal lain yang ada di dalam konstitusi, bukan yang telah dipakai. Kalau itu masih mungkin ya mungkin bisa diuji lagi," kata Sodi dalam Diskusi Media yang digelar MMD Initiative, Jumat (19/4/2024).
Sodi berpendapat, jika itu terjadi MK bisa membuat terobosan putusan atau landmark decision dalam sejarah Indonesia. Artinya, Sodiki menekankan, masih terbuka satu kemungkinan untuk dilakukannya perbaikan dari putusan lama yang saat ini digunakan. "Dengan demikian, maka ada kemungkinan perbaikan dari putusan yang lama, putusan yang sekarang berjalan," ujarnya.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2024 akan jadi landmark decision. Putusan itu akan jadi ujian masihkah Indonesia negara hukum. "Kita sedang menguji apakah ini kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini," kata Sulis.
Sulis mengingatkan, kasus ini menguji pilar-pilar negara hukum yang dimiliki Indonesia mulai dari demokrasi, HAM dan mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan. Yang mana, tidak hanya Trias Politica, Yudikatif, Eksekutif dan Legislatif.
Maka itu, Sulis menilai, sengketa pemilu untuk Pilpres 2024 ini bersifat sangat khusus, tidak bisa direduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Sehingga, ada harapan agar hakim MK bisa memikirkan pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal.
"Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong Undang-Undang saja, dan sebagai penjaga gerbang terdepan dari konstitusi MK harus mempertahankan konstitusi, biarpun langit runtuh konstitusi harus tetap tegak," ujar Sulis.
Peneliti Pusat Studi Politik Hukum Kepemiluan dan Demokrasi Universitas Andalas Feri Amsari menegaskan, hakim itu sudah pasti bukan corong undang-undang atau hukum. Tapi, hakim merupakan corong keadilan yang tidak cuma membaca undang-undang.
"Jadi, hakim tidak menemukan undang-undang, wong semua orang baca undang-undang kok, untuk apa hakim kalau cuma sekadar baca undang-undang. Tapi, yang mau ditemukan hakim adalah keadilan," kata Feri.
Dalam kasus sengketa Pilpres 2024, Feri memberi dorongan agar hakim-hakim MK berani memberhentikan siapa pun calon-calon yang terbukti melanggar. Termasuk, jika calon itu merupakan anak seorang presiden yang melantik mereka sebagai hakim-hakim konstitusi.
"Apakah Mahkamah Konstitusi berani memberhentikan anak presiden yang melantik dia, apakah Mahkamah Konstitusi berani kalau salah satu di antaranya adalah orang yang dititipkan melalui proses seleksi tidak adil dari hakim," ujar Feri.
Direktur Eksekutif MMD Initiative, Asmai Ishak menyampaikan, MMD Initiative menggelar diskusi dalam rangka menyegarkan kembali sekaligus memberi pelajaran ke masyarakat. Terutama, tentang demokrasi Indonesia yang pernah baik dan perlu dikembalikan lagi.
"Itu yang harus kita kembalikan lagi. MK sebagai lembaga terakhir, benteng demokrasi, benteng keadilan, itu pernah menjadi atau memutuskan atau mengambil putusan yang fenomenal dan sangat bermanfaat untuk kepentingan bangsa," kata Asmai.
(cip)