Pelajaran dari Reuni Akbar 212
A
A
A
JUTAAN orang tumpah ruah mengikuti aksi damai bertajuk Reuni Akbar 212 yang digelar di Kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, kemarin. Aksi massa yang diawali dengan salat tahajud dan salat subuh berjamaah ini berlangsung tertib, aman, dan lancar. Peristiwa monumental tepat di jantung ibu kota ini kembali mengirimkan pesan kepada semua bahwa umat Islam Indonesia sejatinya cinta kedamaian, mampu menghadirkan kesejukan, toleransi, dan semangat persatuan. Pesan ini tidak hanya untuk masyarakat Tanah Air, melainkan juga kepada seluruh warga dunia. Kendati dihadiri jutaan peserta, aksi damai ini berakhir tanpa diwarnai insiden.
Tanda-tanda aksi damai akan menghadirkan jutaan orang peserta sudah tampak sejak sehari sebelumnya. Sejak Sabtu (1/12) malam umat muslim yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air sudah berbondong-bondong menuju lokasi tempat digelarnya acara. Saat matahari terbit, peserta aksi terus mengalir, datang dari berbagai arah sehingga kawasan Monas tak lagi mampu menampung lautan manusia. Sejumlah tokoh menghadiri reuni akbar ini di antaranya Gubernur DKI Jakarta , tokoh reformasi Amien Rais, politikus PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto.
Reuni Akbar 212 ini sejatinya bertujuan menapaktilasi peristiwa monumental dua tahun lalu. Saat itu jutaan umat Islam juga menggelar kegiatan serupa di lokasi yang sama. Tuntutan saat itu adalah mendesak aparat kepolisian segera memproses hokum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dinilai telah menista agama Islam. Unjuk rasa damai pada 2 Desember 2016 tersebut bertajuk Aksi Bela Islam III yang kemudian lebih dikenal dengan aksi 212.
Sejak awal banyak pihak yang tidak setuju Reuni Akbar 212 diadakan. Penolakan terutama didasarkan pada alasan bahwa kegiatan tersebut beraroma pemilihan presiden (pilpres). Kubu yang menolak umumnya mereka yang terafiliasi ke Istana, terutama elite partai politik pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya isu pilpres, ada pula yang menyebut reuni ini gerakan makar, gerakan yang anti-Pancasila, gerakan yang ingin mengganti sistem pemerintahan, sebagaimana tudingan yang disematkan kepada eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, beragam isu tersebut tampak tidak cukup efektif untuk mencegah jutaan umat Islam untuk datang ke Monas.
Menjawab tudingan negatif, sejumlah peserta aksi menyebut bahwa kegiatan tersebut bertujuan silaturahmi untuk memperkuat persaudaraan muslim, bahkan juga dengan umat agama lain. Kemarin sejumlah perwakilan tokoh agama lain juga hadir mengikuti acara ini. Meski demikian, unsur politik tetap saja mewarnai kegiatan ini. Pidato melalui rekaman ceramah oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Riziek Syihab yang meminta agar umat Islam pada 2019 mengganti presiden dinilai memuat unsur kampanye.
Rekaman yang diputar di tengah massa juga meminta tidak memilih capres dan caleg yang diusung oleh partai pendukung penista agama. Jika ada yang melaporkan hal tersebut sebaga pelanggaran, seluruh pihak sebaiknya menghormati mekanisme yang tersedia yakni penyelesaian melalui proses di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dan, Bawaslu pun harus menindaklanjutinya sesegera mungkin.
Terlepas dari masalah politik dan stigma negatif yang dibangun terkait kegiatan ini, ada hal yang esensial dan penting untuk ditarik sebagai pelajaran, apalagi bangsa ini sedang menyongsong peristiwa politik besar yakni Pemilu Serentak 2019 yang tersisa sekitar lima bulan. Paling tidak, melalui kegiatan reuni ini umat Islam Indonesia sukses membuktikan mampu menyuarakan aspirasi tanpa harus diwarnai kekerasan, intimidasi, dan provokasi. Hal ini sangat penting karena perseteruan dua kubu capres, terutama di media sosial, tak jarang diwarnai saling menggunakan isu-isu agama.
Selain itu, tudingan bahwa kalangan Islam yang mengonsolidasikan diri melalui Reuni Akbar 212 adalah ancaman untuk keberagaman, kebinekaan, dan anti-Pancasila sementara ini juga tidak terbukti. Umat islam justru menunjukkan persaudaraan dan persatuan dalam upaya menjaga keutuhan NKRI. Justru, aksi kemarin itu seyogianya menjadi inspirasi untuk menghadirkan pemilu yang aman dan damai.
Menarik pernyataan yang disampaikan Zulkifli Hasan bahwa ketertiban peserta aksi Reuni 212 kemarin bisa memelopori ketertiban pada pilpres mendatang. Ketertiban dan keamanan pemilu mendatang memang menjadi dambaan bersama di tengah ketatnya persaingan dua kubu capres dalam meraih dukungan pemilih.
Tanda-tanda aksi damai akan menghadirkan jutaan orang peserta sudah tampak sejak sehari sebelumnya. Sejak Sabtu (1/12) malam umat muslim yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air sudah berbondong-bondong menuju lokasi tempat digelarnya acara. Saat matahari terbit, peserta aksi terus mengalir, datang dari berbagai arah sehingga kawasan Monas tak lagi mampu menampung lautan manusia. Sejumlah tokoh menghadiri reuni akbar ini di antaranya Gubernur DKI Jakarta , tokoh reformasi Amien Rais, politikus PKS Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR Zulkifli Hasan, dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto.
Reuni Akbar 212 ini sejatinya bertujuan menapaktilasi peristiwa monumental dua tahun lalu. Saat itu jutaan umat Islam juga menggelar kegiatan serupa di lokasi yang sama. Tuntutan saat itu adalah mendesak aparat kepolisian segera memproses hokum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dinilai telah menista agama Islam. Unjuk rasa damai pada 2 Desember 2016 tersebut bertajuk Aksi Bela Islam III yang kemudian lebih dikenal dengan aksi 212.
Sejak awal banyak pihak yang tidak setuju Reuni Akbar 212 diadakan. Penolakan terutama didasarkan pada alasan bahwa kegiatan tersebut beraroma pemilihan presiden (pilpres). Kubu yang menolak umumnya mereka yang terafiliasi ke Istana, terutama elite partai politik pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya isu pilpres, ada pula yang menyebut reuni ini gerakan makar, gerakan yang anti-Pancasila, gerakan yang ingin mengganti sistem pemerintahan, sebagaimana tudingan yang disematkan kepada eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, beragam isu tersebut tampak tidak cukup efektif untuk mencegah jutaan umat Islam untuk datang ke Monas.
Menjawab tudingan negatif, sejumlah peserta aksi menyebut bahwa kegiatan tersebut bertujuan silaturahmi untuk memperkuat persaudaraan muslim, bahkan juga dengan umat agama lain. Kemarin sejumlah perwakilan tokoh agama lain juga hadir mengikuti acara ini. Meski demikian, unsur politik tetap saja mewarnai kegiatan ini. Pidato melalui rekaman ceramah oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Riziek Syihab yang meminta agar umat Islam pada 2019 mengganti presiden dinilai memuat unsur kampanye.
Rekaman yang diputar di tengah massa juga meminta tidak memilih capres dan caleg yang diusung oleh partai pendukung penista agama. Jika ada yang melaporkan hal tersebut sebaga pelanggaran, seluruh pihak sebaiknya menghormati mekanisme yang tersedia yakni penyelesaian melalui proses di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dan, Bawaslu pun harus menindaklanjutinya sesegera mungkin.
Terlepas dari masalah politik dan stigma negatif yang dibangun terkait kegiatan ini, ada hal yang esensial dan penting untuk ditarik sebagai pelajaran, apalagi bangsa ini sedang menyongsong peristiwa politik besar yakni Pemilu Serentak 2019 yang tersisa sekitar lima bulan. Paling tidak, melalui kegiatan reuni ini umat Islam Indonesia sukses membuktikan mampu menyuarakan aspirasi tanpa harus diwarnai kekerasan, intimidasi, dan provokasi. Hal ini sangat penting karena perseteruan dua kubu capres, terutama di media sosial, tak jarang diwarnai saling menggunakan isu-isu agama.
Selain itu, tudingan bahwa kalangan Islam yang mengonsolidasikan diri melalui Reuni Akbar 212 adalah ancaman untuk keberagaman, kebinekaan, dan anti-Pancasila sementara ini juga tidak terbukti. Umat islam justru menunjukkan persaudaraan dan persatuan dalam upaya menjaga keutuhan NKRI. Justru, aksi kemarin itu seyogianya menjadi inspirasi untuk menghadirkan pemilu yang aman dan damai.
Menarik pernyataan yang disampaikan Zulkifli Hasan bahwa ketertiban peserta aksi Reuni 212 kemarin bisa memelopori ketertiban pada pilpres mendatang. Ketertiban dan keamanan pemilu mendatang memang menjadi dambaan bersama di tengah ketatnya persaingan dua kubu capres dalam meraih dukungan pemilih.
(wib)