Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut KPU Kurang Cermat Anggap Permohonan PHPU Salah Kamar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud , Heru Herdian Muzaki, angkat suara ihwal tim kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang meminta majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh posita permohonan tim hukum Ganjar-Mahfud. Alasannya, permohonan itu seharusnya ditujukan ke Bawaslu, bukan ke MK.
Heru berkata, tim hukum KPU kurang cermat. Ia berkata, MK bisa menutup celah kekosongan hukum atas adanya suatu dugaan pelanggaran Pemilu. Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur hukuman terkait adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Menurut pandangan kami, kuasa hukum KPU kurang cermat. Pertama, dalam UU Pemilu hanya 2 pasal yang mengatur pelanggaran TSM, yaitu Pasal 286 (mengenai money politics) dan Pasal 463 Ayat (1) jo. Pasal 460 Ayat (1) (pelanggaran administratif)," tutur Heru saat dihubungi, Jumat (29/3/2024).
Kendati demikian, Heru berkata, dugaan pelanggaran pada Pemilu ini berupa adanya praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia berkata, bentuk kecurangan Pemilu itu tak diatur di dalam UU Pemilu. Untuk itu, Heru menilai adanya kekosongan hukum untuk menyikapi masalah Pemilu ini
"Namun dalam Pemilu ini yg terjadi adalah nepotisme yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi. Hal ini tidak diatur oleh UU Pemilu, sehingga terjadi kekosongan hukum," terang Heru.
"Dalam hal terjadi kekosongan hukum, hanya MK yang tepat untuk melakukan penemuan hukum," tandasnya.
Selain itu, Heru menilai kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kurang proaktif dan gak efektif untuk menangani laporan dugaan kecurangan Pemilu. Hal itu ditandai dengan banyaknya laporan yang tak kunjung selesai.
"Bawaslu juga tidak efektif dalam menyelesaikan perkara pelanggaran Pemilu. Banyak sekali pelanggaran yang dilaporkan tidak selesai, bahkan cenderung menggantung dan sikap Bawaslu agak pasif," kata Heru.
Bahkan kata Heru, Bawaslu juga mengakui kelemahan untuk melakukan penindakan bila ada ditemukan pelanggaran. Untuk itu, ia menilai, keputusan Bawaslu dalam menindak sebuah laporan tak tegas.
Heru berkata, tim hukum KPU kurang cermat. Ia berkata, MK bisa menutup celah kekosongan hukum atas adanya suatu dugaan pelanggaran Pemilu. Menurutnya, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur hukuman terkait adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Menurut pandangan kami, kuasa hukum KPU kurang cermat. Pertama, dalam UU Pemilu hanya 2 pasal yang mengatur pelanggaran TSM, yaitu Pasal 286 (mengenai money politics) dan Pasal 463 Ayat (1) jo. Pasal 460 Ayat (1) (pelanggaran administratif)," tutur Heru saat dihubungi, Jumat (29/3/2024).
Kendati demikian, Heru berkata, dugaan pelanggaran pada Pemilu ini berupa adanya praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia berkata, bentuk kecurangan Pemilu itu tak diatur di dalam UU Pemilu. Untuk itu, Heru menilai adanya kekosongan hukum untuk menyikapi masalah Pemilu ini
"Namun dalam Pemilu ini yg terjadi adalah nepotisme yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi. Hal ini tidak diatur oleh UU Pemilu, sehingga terjadi kekosongan hukum," terang Heru.
"Dalam hal terjadi kekosongan hukum, hanya MK yang tepat untuk melakukan penemuan hukum," tandasnya.
Selain itu, Heru menilai kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kurang proaktif dan gak efektif untuk menangani laporan dugaan kecurangan Pemilu. Hal itu ditandai dengan banyaknya laporan yang tak kunjung selesai.
"Bawaslu juga tidak efektif dalam menyelesaikan perkara pelanggaran Pemilu. Banyak sekali pelanggaran yang dilaporkan tidak selesai, bahkan cenderung menggantung dan sikap Bawaslu agak pasif," kata Heru.
Bahkan kata Heru, Bawaslu juga mengakui kelemahan untuk melakukan penindakan bila ada ditemukan pelanggaran. Untuk itu, ia menilai, keputusan Bawaslu dalam menindak sebuah laporan tak tegas.