Indeks Keselamatan Jurnalis 2023: 45 Persen Wartawan Pernah Alami Tindak Kekerasan
loading...
A
A
A
Pilar negara dan regulasi didapat dengan menggali pengalaman dan persepsi jurnalis terhadap peran negara dan penegak hukum serta regulasi.
Manajer Riset Populix Nazmi Haddyat Tamara menuturkan di antara tiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36), dan pilar stakeholder media (74,36).
“Pilar individu mendapat skor rendah didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” kata Nazmi.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.
“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” ungkap Ade.
Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.
“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ujar Citra.
Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE, dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.
“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” ujar Uli.
Manajer Riset Populix Nazmi Haddyat Tamara menuturkan di antara tiga pilar ini, pilar individu mendapat skor terendah (36,08) diikuti pilar negara dan regulasi (64,36), dan pilar stakeholder media (74,36).
“Pilar individu mendapat skor rendah didorong kasus kekerasan yang masih tinggi, termasuk mengenai adanya penyensoran. Di sisi lain, umumnya jurnalis mengakui bila pekerjaannya berisiko,” kata Nazmi.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengungkapkan, ada tiga tantangan besar yang dihadapi jurnalis ketika mengalami tindakan kekerasan. Salah satunya adalah keengganan melaporkan tindakan kekerasan itu kepada pihak berwajib.
“Alasan keengganan melaporkan tindak kekerasan ini karena melihat kasus sebelumnya yang sudah dilaporkan dan tidak ada kemajuan di kepolisian. Tantangan kedua adalah aparat penegak hukum yang lambat dalam menuntaskan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Tantangan ketiga adalah perusahaan medianya yang kadang di tengah jalan menarik laporan tersebut dari pihak berwajib dengan berbagai alasan,” ungkap Ade.
Direktur KBR Media Citra Prastuti mengakui tidak semua perusahaan media punya sumber daya untuk melakukan pelatihan keselamatan jurnalis. Karena itu, biasanya pelatihan keselamatan terhadap jurnalis dilakukan oleh pihak eksternal.
“Kami biasanya menerapkan sistem ToT terkait pelatihan keselamatan jurnalis. Ini karena memang perusahaan belum mampu melakukan sendiri tapi memang betul keselamatan jurnalis merupakan sesuatu yang penting,” ujar Citra.
Selain potensi ancaman dari negara lewat aparaturnya, skor pilar negara dan regulasi dibentuk oleh penilaian atas potensi ancaman atas sejumlah regulasi oleh jurnalis. Umumnya jurnalis menilai UU seperti UU PDP, UU ITE, dan UU KUHP dapat mengancam keselamatan mereka saat bekerja.
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini yang membuat banyak kasus kekerasan dan pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.
“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus. Komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM dan ini sudah disampaikan kepada stakeholder,” ujar Uli.