Ketum PRSSNI Ingatkan Pentingnya Penuntasan Revisi UU Penyiaran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Muhammad Rafiq mengingatkan pentingnya menuntaskan revisi UU Penyiaran setelah ditekennya publisher rights oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2024.
Pentingnya dituntaskan revisi UU Penyiaran agar terciptanya kompetisi yang sehat antara lembaga penyiaran dengan konten layanan OTT (Over the Top) sekaligus platform digital.
"Selepas publisher rights, selanjutnya apa? Menurut saya adalah tuntaskan revisi UU Penyiaran agar tercipta ring tinju yang fair antara lembaga penyiaran dengan OTT (Over the Top) dan platform digital," ujar Rafiq saat menghadiri diskusi editor's talk Forum Pemred di Gedung Antara, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2024).
Dia mengungkapkan media penyedia layanan OTT dan platform digital tidak memiliki lembaga atau badan yang berwenang untuk mengatur layanan konten ditampilkan.
"Lembaga penyiaran itu yang ngawasin ada 11 badan, saya hitung. Jadi ada 11 kementerian dan lembaga negara yang mengawasi lembaga penyiaran, 11 badan. Sementara OTT dan platform itu lawless ya, nggak ada yang ngawasin," ungkap Rafiq.
Dia mencontohkan permasalahan yang dialami lembaga penyiaran publik dalam menaati aturan yang diterapkan lembaga pengawas penyiaran. Kasusnya terkait larangan 42 lagu yang dilarang diputar di radio-radio resmi Indonesia.
"Contoh yang paling sederhana, Komisi Penyiaran Indonesia pernah mengeluarkan daftar 42 lagu. Jadi ada 42 lagu yang dilarang diputar oleh radio di seluruh Indonesia," katanya.
"Biasanya lagu-lagu itu dilarang karena liriknya kasar, pornografi, dan lain-lain gitu ya," lanjutnya.
Ketika lembaga penyiaran menaati peraturan yang melarang pemutaran lagu tersebut, penyedia layanan OTT dan platform digital malah mempublikasikan lagu-lagu yang dilarang tersebut.
"Jadi ketika semua radio pagi hari terima list 42 lagu yang tidak boleh diputar, 2 jam kemudian Spotify dan Joox bikin template, ini loh 42 lagu yang nggak akan Anda dengerin di radio, silakan dengerin di tempat kita," ujarnya.
Maka itu, perlunya dituntaskan revisi UU Penyiaran agar tidak hanya mengatur lembaga penyiaran publik semata. Namun, juga perlu turut melibatkan penyedia layanan OTT dan platform digital sebagai subjek yang menaati regulasi.
"Jadi buat saya UU Penyiaran penting dan akan lebih lengkap rasanya kalau kita sudah punya publisher rights, kemudian revisi UU Penyiaran juga bisa kita laksanakan," kata Rafiq.
Diketahui, publisher rights merupakan regulasi yang mengatur platform digital global seperti Meta/Facebook, Google, Instagram, TikTok, Twitter/X, dan lainnya guna memberikan timbal balik yang seimbang dalam penayangan konten berita yang diambil dari media lokal maupun nasional.
Pentingnya dituntaskan revisi UU Penyiaran agar terciptanya kompetisi yang sehat antara lembaga penyiaran dengan konten layanan OTT (Over the Top) sekaligus platform digital.
"Selepas publisher rights, selanjutnya apa? Menurut saya adalah tuntaskan revisi UU Penyiaran agar tercipta ring tinju yang fair antara lembaga penyiaran dengan OTT (Over the Top) dan platform digital," ujar Rafiq saat menghadiri diskusi editor's talk Forum Pemred di Gedung Antara, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2024).
Dia mengungkapkan media penyedia layanan OTT dan platform digital tidak memiliki lembaga atau badan yang berwenang untuk mengatur layanan konten ditampilkan.
"Lembaga penyiaran itu yang ngawasin ada 11 badan, saya hitung. Jadi ada 11 kementerian dan lembaga negara yang mengawasi lembaga penyiaran, 11 badan. Sementara OTT dan platform itu lawless ya, nggak ada yang ngawasin," ungkap Rafiq.
Dia mencontohkan permasalahan yang dialami lembaga penyiaran publik dalam menaati aturan yang diterapkan lembaga pengawas penyiaran. Kasusnya terkait larangan 42 lagu yang dilarang diputar di radio-radio resmi Indonesia.
"Contoh yang paling sederhana, Komisi Penyiaran Indonesia pernah mengeluarkan daftar 42 lagu. Jadi ada 42 lagu yang dilarang diputar oleh radio di seluruh Indonesia," katanya.
"Biasanya lagu-lagu itu dilarang karena liriknya kasar, pornografi, dan lain-lain gitu ya," lanjutnya.
Ketika lembaga penyiaran menaati peraturan yang melarang pemutaran lagu tersebut, penyedia layanan OTT dan platform digital malah mempublikasikan lagu-lagu yang dilarang tersebut.
"Jadi ketika semua radio pagi hari terima list 42 lagu yang tidak boleh diputar, 2 jam kemudian Spotify dan Joox bikin template, ini loh 42 lagu yang nggak akan Anda dengerin di radio, silakan dengerin di tempat kita," ujarnya.
Maka itu, perlunya dituntaskan revisi UU Penyiaran agar tidak hanya mengatur lembaga penyiaran publik semata. Namun, juga perlu turut melibatkan penyedia layanan OTT dan platform digital sebagai subjek yang menaati regulasi.
"Jadi buat saya UU Penyiaran penting dan akan lebih lengkap rasanya kalau kita sudah punya publisher rights, kemudian revisi UU Penyiaran juga bisa kita laksanakan," kata Rafiq.
Diketahui, publisher rights merupakan regulasi yang mengatur platform digital global seperti Meta/Facebook, Google, Instagram, TikTok, Twitter/X, dan lainnya guna memberikan timbal balik yang seimbang dalam penayangan konten berita yang diambil dari media lokal maupun nasional.
(jon)