Masalah Penanganan Dugaan Korupsi di LPEI
loading...
A
A
A
Tampaknya upaya Inspektrorat Jenderal tersebut tidak berhasil sehingga terpaksa harus digunakan pendekatan quasi-represif yaitu bekerja sama dengan pihak Jamdatun Kejaksaan Agung dengan rekomendasi tampaknya dengan pendekatan pengembalian kerugian keuangan negara lebih menguntungkan daripada penuntutan dan penghukuman.
Namun demikian, pola pendekatan hukum yang relatif baru tersebut belum cukup memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku usaha di bidang ekspor sehingga tetap memerlukan pola pendekatan hukum represif yang dapat dilaksanakan paralel dengan upaya pengembalian kerugian negara dengan gugatan keperdataan oleh pihak Jamdatun Kejaksaan Agung dan pola pendekatan hukum tersebut memerlukan waktu tempuh relatif lebih lama daripada pola pendeketan hukum represif.
Kedua pola pendekatan hukum preventif dan represif masih terbuka kemungkinan untuk dibicarakan bersama antara pihak Kejaksaan Agung, KPK, dan Kemenkeu. Yang pasti, pola pendekatan hukum apa pun yang dipilih, harus tetap menguntungkan bagi negara dan tidak merugikannya.
Peristiwa dugaan kerugian negara dari perkara korupsi di LPEI ini merupakan hal baru untuk dikaji pakar-pakar hukum pidana dan hukum bisnis beserta Kementerian Hukum dan HAM atau merujuk pada politik hukum Deferred Proscution Agreement (DPA) yang telah dilaksanakan di Amerika Serikar, Inggris, dan Prancis saat ini seperti dalam perkara dugaan suap oleh perusahaan pesawat Boeing terhadap mantan Dirut PT Garuda yang telah diselesaikan tuntas baik di AS maupun di Indonesia sekalipun pihak Indonesia yang masih menderita kerugian hanya memperoleh pemasukan dari pidana denda sebanyak Rp1 M, sedangkan pemerintah AS memperoleh pemasukan sepuluh kali lipat dari pidana denda di Indonesia.
Beranjak dari peristiwa dugaan korupsi di LPEI, seyogianya Kejaksaan Agung bersama Kemenkeu menetapkan kebijakan hukum baru dalam bidang pengelolaan penegakan hukum di bidang/sektor perekonomian dan KPK selaku peninjau dalam diskusi bersama tersebut.
Namun demikian, pola pendekatan hukum yang relatif baru tersebut belum cukup memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku usaha di bidang ekspor sehingga tetap memerlukan pola pendekatan hukum represif yang dapat dilaksanakan paralel dengan upaya pengembalian kerugian negara dengan gugatan keperdataan oleh pihak Jamdatun Kejaksaan Agung dan pola pendekatan hukum tersebut memerlukan waktu tempuh relatif lebih lama daripada pola pendeketan hukum represif.
Kedua pola pendekatan hukum preventif dan represif masih terbuka kemungkinan untuk dibicarakan bersama antara pihak Kejaksaan Agung, KPK, dan Kemenkeu. Yang pasti, pola pendekatan hukum apa pun yang dipilih, harus tetap menguntungkan bagi negara dan tidak merugikannya.
Peristiwa dugaan kerugian negara dari perkara korupsi di LPEI ini merupakan hal baru untuk dikaji pakar-pakar hukum pidana dan hukum bisnis beserta Kementerian Hukum dan HAM atau merujuk pada politik hukum Deferred Proscution Agreement (DPA) yang telah dilaksanakan di Amerika Serikar, Inggris, dan Prancis saat ini seperti dalam perkara dugaan suap oleh perusahaan pesawat Boeing terhadap mantan Dirut PT Garuda yang telah diselesaikan tuntas baik di AS maupun di Indonesia sekalipun pihak Indonesia yang masih menderita kerugian hanya memperoleh pemasukan dari pidana denda sebanyak Rp1 M, sedangkan pemerintah AS memperoleh pemasukan sepuluh kali lipat dari pidana denda di Indonesia.
Beranjak dari peristiwa dugaan korupsi di LPEI, seyogianya Kejaksaan Agung bersama Kemenkeu menetapkan kebijakan hukum baru dalam bidang pengelolaan penegakan hukum di bidang/sektor perekonomian dan KPK selaku peninjau dalam diskusi bersama tersebut.
(zik)