Dari Ayat-Ayat Cinta ke Dawson’s Creek: Jalan Ninja Kecakapan Seorang Pengarang
loading...
A
A
A
Sementara itu, ketika kita menulis apa yang ingin kita ketahui, jelas akan membuka pikiran lebih luas lagi. Semesta ini tidak terbatas―anggaplah begitu. Jadi, mengapa kita tidak mencoba menjelajah lebih jauh? Saya belum lupa rasanya ketika menemukan hal-hal baru yang menarik minat saya saat melakukan sebuah riset.
baca juga: 6 Penulis Manga Populer yang Sosoknya Misterius
Yang menarik lagi jika kita membahas gairah seorang pengarang. Rata-rata pengarang menciptakan karakter dari sosok yang ada di dekat mereka. Bisa dari teman, orang tua, anak, rekan kerja di kantor, atau yang paling sering diambil adalah diri sendiri.
Kevin Williamson, pengarang serial Dawson’s Creek, mengaku membagi-bagi kepribadiannya untuk tokoh-tokoh ciptaannya. Osamu Dazai kerap menulis tentang keinginan bunuh diri. Ya, karena memang itulah yang dialaminya, di samping budaya itu memang menjadi semacam trademark di Jepang. Siapa lagi yang bisa dijadikan contoh? Pram? Tentu saja ia menulis apa yang ada di sekelilingnya, termasuk memakai kisah dirinya sendiri (serta keluarganya) sebagai bahan.
Nah, jika tidak hati-hati, bahkan identitas terdalam pun bisa muncul ke permukaan. Soal fetish misalnya, tentang bentuk keminatan seksual. Saya ambil contoh diri saya sendiri. Tanpa sadar, saya banyak menciptakan karakter pria dewasa yang piawai bermain gitar. Tidak peduli level ketampanannya, keahlian bermain gitar itu semacam meningkatkan nilai diri si tokoh. Mengapa? Ya, karena di mata saya, pria yang piawai bermain gitar itu sangat seksi dan menawan.
Dan, jika itu perempuan, seringnya saya akan membuat ia menggemari buku, kopi, dan/atau musik. Mengapa? Ya, karena saya bisa menjelaskan panjang lebar soal sensasi fisik dan non fisik ketika si tokoh berkelindan dengan tiga hal tersebut. Toh memang saya mengalaminya.
Jiwa Atmaja, dalam bukunya Kritik Sastra Kiri, membeberkan perihal kaitan sebuah karya dan identitas penulisnya. Dijelaskan di sana bahwa sebuah karya mampu menyingkap identitas penulisnya, bahkan jenis komunitas tempat si penulis tinggal. Identitas di sini cakupannya luas. Bisa tentang ideologinya, prinsip ekonomi yang dipegang, kepercayaan terhadap agama atau spiritualisme, dan termasuk soal fetish tadi.
Lantas, mengapa seorang pengarang tidak total mengarang saja tentang semuanya? Membuat karakter-karakter yang benar-benar fiktif, yang sama sekali tidak terhubung dengan dirinya, yang sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya, dan bahkan dengan lingkungan tempat ia tinggal. Tentu saja bisa. Namun, pembaca yang jeli akan mampu menangkap kepura-puraan dan kekosongan rasa dalam karyanya. Ini seperti menikmati karya Vincent van Gogh dalam bentuk fotokopian. Tidak hanya hambar, tetapi juga absurd.
Akan tetapi, absurditas juga bisa lahir dari pola yang terulang tanpa sadar. Memang, tidak ada kebaruan di semesta ini. Semuanya sudah ada sejak awal. Hanya saja, semesta juga memiliki probabilitas yang tak terbatas. Mengapa kita tidak mencoba-coba bermain-main dengan komposisi baru? Takut ditinggal penggemar?
Well, tiap individu punya momennya masing-masing. Ada masanya mereka menggilai fiksi campur aduk, bahkan yang absurd sekali pun. Berikutnya akan beralih ke fiksi yang agak teratur dengan bobot pesan moral yang lebih berat. Berikutnya lagi akan beralih ke non fiksi seperti esai-esai yang ditulis orang lain dengan berbagai tema. Lagi pula, bukankah bahan bakar paling baik untuk seorang pengarang adalah karya tulis non fiksi?
baca juga: 6 Penulis Manga Populer yang Sosoknya Misterius
Yang menarik lagi jika kita membahas gairah seorang pengarang. Rata-rata pengarang menciptakan karakter dari sosok yang ada di dekat mereka. Bisa dari teman, orang tua, anak, rekan kerja di kantor, atau yang paling sering diambil adalah diri sendiri.
Kevin Williamson, pengarang serial Dawson’s Creek, mengaku membagi-bagi kepribadiannya untuk tokoh-tokoh ciptaannya. Osamu Dazai kerap menulis tentang keinginan bunuh diri. Ya, karena memang itulah yang dialaminya, di samping budaya itu memang menjadi semacam trademark di Jepang. Siapa lagi yang bisa dijadikan contoh? Pram? Tentu saja ia menulis apa yang ada di sekelilingnya, termasuk memakai kisah dirinya sendiri (serta keluarganya) sebagai bahan.
Nah, jika tidak hati-hati, bahkan identitas terdalam pun bisa muncul ke permukaan. Soal fetish misalnya, tentang bentuk keminatan seksual. Saya ambil contoh diri saya sendiri. Tanpa sadar, saya banyak menciptakan karakter pria dewasa yang piawai bermain gitar. Tidak peduli level ketampanannya, keahlian bermain gitar itu semacam meningkatkan nilai diri si tokoh. Mengapa? Ya, karena di mata saya, pria yang piawai bermain gitar itu sangat seksi dan menawan.
Dan, jika itu perempuan, seringnya saya akan membuat ia menggemari buku, kopi, dan/atau musik. Mengapa? Ya, karena saya bisa menjelaskan panjang lebar soal sensasi fisik dan non fisik ketika si tokoh berkelindan dengan tiga hal tersebut. Toh memang saya mengalaminya.
Jiwa Atmaja, dalam bukunya Kritik Sastra Kiri, membeberkan perihal kaitan sebuah karya dan identitas penulisnya. Dijelaskan di sana bahwa sebuah karya mampu menyingkap identitas penulisnya, bahkan jenis komunitas tempat si penulis tinggal. Identitas di sini cakupannya luas. Bisa tentang ideologinya, prinsip ekonomi yang dipegang, kepercayaan terhadap agama atau spiritualisme, dan termasuk soal fetish tadi.
Lantas, mengapa seorang pengarang tidak total mengarang saja tentang semuanya? Membuat karakter-karakter yang benar-benar fiktif, yang sama sekali tidak terhubung dengan dirinya, yang sama sekali bertolak belakang dengan kepribadiannya, dan bahkan dengan lingkungan tempat ia tinggal. Tentu saja bisa. Namun, pembaca yang jeli akan mampu menangkap kepura-puraan dan kekosongan rasa dalam karyanya. Ini seperti menikmati karya Vincent van Gogh dalam bentuk fotokopian. Tidak hanya hambar, tetapi juga absurd.
Akan tetapi, absurditas juga bisa lahir dari pola yang terulang tanpa sadar. Memang, tidak ada kebaruan di semesta ini. Semuanya sudah ada sejak awal. Hanya saja, semesta juga memiliki probabilitas yang tak terbatas. Mengapa kita tidak mencoba-coba bermain-main dengan komposisi baru? Takut ditinggal penggemar?
Well, tiap individu punya momennya masing-masing. Ada masanya mereka menggilai fiksi campur aduk, bahkan yang absurd sekali pun. Berikutnya akan beralih ke fiksi yang agak teratur dengan bobot pesan moral yang lebih berat. Berikutnya lagi akan beralih ke non fiksi seperti esai-esai yang ditulis orang lain dengan berbagai tema. Lagi pula, bukankah bahan bakar paling baik untuk seorang pengarang adalah karya tulis non fiksi?