Menko Hadi Sebut Sengketa Laut China Selatan Belum Temui Titik Terang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto mengatakan sengketa di Laut China Selatan (LCS) masih terus berlangsung dan belum menemui titik terang.
Hal itu dikarenakan Republik Rakyat China (RRC) terus melakukan penghalauan kapal nelayan yang menangkap ikan di LCS dan langkah tersebut mendapatkan protes dari negara tetangga Indonesia yakni Filipina.
Padahal, klaim atas LCS dari RRC sudah ditolak Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) karena tidak memiliki landasan hukum internasional.
"Namun RRC menolak putusan tersebut, RRC berargumen bahwa putusan tidak sah. Melanggar Unclos 1982 (Konvensi PBB tentang hukum laut) dan hak berdaulat RRC di LCS," ujar Hadi dalam webinar yang bertajuk 'Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan', Selasa (19/3/2024).
"Hal ini mengakibatkan sampai saat ini sengketa belum menemui menemui titik terang," sambung Hadi.
Hadi melanjutkan pihaknya telah mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah LCS, yang mana jika tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka insiden saling tabrak antara kapal-kapal RRC dan Filipina.
"Penggunaan laser dan water canon ataupun blokade akses nelayan mengancam stabilitas dan perdamaian di LCS," tandasnya.
Baru-baru ini, di tahun 2023 lalu RRC kembali secara unilateral mengeluarkan peta baru menambahkan satu garis putus-putus menjadi 10 dash line, yang mengklaim seluruh wilayah LCS.
"Di beberapa bagian, garis putus-putus tersebut bahkan tumpang tindih dengan wilayah ZEE kita di Laut Natuna Utara. Peta RRC ini mengundang protes keras dari berbagai negara termasuk Indonesia," pungkasnya.
Hal itu dikarenakan Republik Rakyat China (RRC) terus melakukan penghalauan kapal nelayan yang menangkap ikan di LCS dan langkah tersebut mendapatkan protes dari negara tetangga Indonesia yakni Filipina.
Padahal, klaim atas LCS dari RRC sudah ditolak Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) karena tidak memiliki landasan hukum internasional.
"Namun RRC menolak putusan tersebut, RRC berargumen bahwa putusan tidak sah. Melanggar Unclos 1982 (Konvensi PBB tentang hukum laut) dan hak berdaulat RRC di LCS," ujar Hadi dalam webinar yang bertajuk 'Menjaga Kedaulatan dan Mencari Kawan di Laut China Selatan', Selasa (19/3/2024).
"Hal ini mengakibatkan sampai saat ini sengketa belum menemui menemui titik terang," sambung Hadi.
Hadi melanjutkan pihaknya telah mencatat seringnya terjadi insiden di wilayah LCS, yang mana jika tidak dikelola dengan baik akan dapat memicu konflik terbuka insiden saling tabrak antara kapal-kapal RRC dan Filipina.
"Penggunaan laser dan water canon ataupun blokade akses nelayan mengancam stabilitas dan perdamaian di LCS," tandasnya.
Baru-baru ini, di tahun 2023 lalu RRC kembali secara unilateral mengeluarkan peta baru menambahkan satu garis putus-putus menjadi 10 dash line, yang mengklaim seluruh wilayah LCS.
"Di beberapa bagian, garis putus-putus tersebut bahkan tumpang tindih dengan wilayah ZEE kita di Laut Natuna Utara. Peta RRC ini mengundang protes keras dari berbagai negara termasuk Indonesia," pungkasnya.
(kri)