KLHK Diminta Percepat Proses Perhutanan Sosial untuk Masyarakat Aceh Tamiang
loading...
A
A
A
ACEH - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diminta mempercepat proses legalitas perhutanan sosial untuk masyarakat Aceh Tamiang. Hal itu penting guna mencegah deforestasi.
"Kami meminta KLHK mempercepat proses agar masyarakat mendapat legalitas untuk mengelola hutan dan yang terpenting bagaimana masyarakat terlibat dalam pemulihan hutan," ujar Senior Adviser Forum Konservaai Leuser (FKL) Rudi Putra, Rabu (28/2/2024).
Rudi menyebut, ada enam perhutanan sosial yang diajukan oleh masyarakat dan sedang diproses di KLHK. Adapun luas lahan yang diajukan mencapai 10.000 hingga 11.000 hektare. "Ini termasuk lahan yang berada di pesisir," katanya.
Sebelumnya, kata Rudi, masyarakat telah mendapatkan perhutanan sosial seluas 716 hektare. Legalitas pengelolaan hutan sosial tersebut telah ditetapkan dalam SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni, SK.7413/MENLHK_PSKL/PKPS/PSL.0/7/2023 mengenai penetapan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diberikan kepada Koperasi Tenggulun Maju Lestari.
"Perhutanan sosial itu tinggal dibagikan saja kepada masyarakat untuk dikelola," ucapnya.
Rudi menambahkan, target FKL adalah bagaimana mengurangi deforestasi di Aceh Tamiang. Sebab Aceh Tamiang ini sangat rentan terhadap bencana ekologis berupa banjir, longsor, dan kekeringan.
"Dengan berkurangnya deforestasi dan pemulihan ekosistem serta restorasi, bencana-bencana tersebut bisa dikurangi sambil menghidupkan ekonomi masyarakat dengan merestorasi hutan melalui penanaman tanaman campuran," ucapnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga memberikan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan pemasaran yang baik. "Kalau ekonomi masyarakat meningkat, itu akan menekan deforestasi di kawasan hutan Leuser," ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun, kata Rudi, sepuluh tahun lalu deforestasi di Aceh Tamiang rata-rata di atas 500 hektare per tahun. Namun sejak ada intervensi FKL sejak 2018 mengalami penurunan cukup drastis.
"Saat pandemi Covid-19 sempat sampai 100 hektare tapi tahun lalu cuma 30 hektare. Turun drastis karena kami melibatkan masyarakat mengelola hutan dan meningkatkan ekonomi mereka," kata Rudi.
Rudi menyebut, total luas hutan yang akan direstorasi mencapai 10.000 hektare. Saat ini program tersebut telah berjalan, sebagian besar hutan telah direstorasi baik melalui agro forest dengan penanaman maupun restorasi alami.
"Di Aceh Tamiang ada 3.000 hektare yang aktif ditanami oleh koperasi-koperasi dan kelompok petani," ucapnya.
Senada, Koordinator Sustainability FKL Hendra Syahrial mengatakan, dari data yang dimiliki, deforestasi di Aceh Tamiang luasnya mencapai 126.996 hektare. "Saat ini ada enam proyek restorasi di Aceh Tamiang. Ini kita fasilitasi," ucapnya.
Sedangkan untuk hutan produksi luasnya mencapai 34.776 hektare. Hutan lindung luasnya 45.348 hektare dan hutan produksi terbatas luasnya hanya 283 hektare.
"Kalau hutan produksi terbatas hanya boleh ambil produksinya saja tetapi tidak boleh di konversi ke peruntukan lain berbeda dengan hutan produksi yang bisa di konversi untuk di tanamai saingon, karet dan sebagainya," ujarnya.
"Kami meminta KLHK mempercepat proses agar masyarakat mendapat legalitas untuk mengelola hutan dan yang terpenting bagaimana masyarakat terlibat dalam pemulihan hutan," ujar Senior Adviser Forum Konservaai Leuser (FKL) Rudi Putra, Rabu (28/2/2024).
Rudi menyebut, ada enam perhutanan sosial yang diajukan oleh masyarakat dan sedang diproses di KLHK. Adapun luas lahan yang diajukan mencapai 10.000 hingga 11.000 hektare. "Ini termasuk lahan yang berada di pesisir," katanya.
Baca Juga
Sebelumnya, kata Rudi, masyarakat telah mendapatkan perhutanan sosial seluas 716 hektare. Legalitas pengelolaan hutan sosial tersebut telah ditetapkan dalam SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakni, SK.7413/MENLHK_PSKL/PKPS/PSL.0/7/2023 mengenai penetapan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diberikan kepada Koperasi Tenggulun Maju Lestari.
"Perhutanan sosial itu tinggal dibagikan saja kepada masyarakat untuk dikelola," ucapnya.
Rudi menambahkan, target FKL adalah bagaimana mengurangi deforestasi di Aceh Tamiang. Sebab Aceh Tamiang ini sangat rentan terhadap bencana ekologis berupa banjir, longsor, dan kekeringan.
"Dengan berkurangnya deforestasi dan pemulihan ekosistem serta restorasi, bencana-bencana tersebut bisa dikurangi sambil menghidupkan ekonomi masyarakat dengan merestorasi hutan melalui penanaman tanaman campuran," ucapnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga memberikan pelatihan bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas dan pemasaran yang baik. "Kalau ekonomi masyarakat meningkat, itu akan menekan deforestasi di kawasan hutan Leuser," ujarnya.
Berdasarkan data yang dihimpun, kata Rudi, sepuluh tahun lalu deforestasi di Aceh Tamiang rata-rata di atas 500 hektare per tahun. Namun sejak ada intervensi FKL sejak 2018 mengalami penurunan cukup drastis.
"Saat pandemi Covid-19 sempat sampai 100 hektare tapi tahun lalu cuma 30 hektare. Turun drastis karena kami melibatkan masyarakat mengelola hutan dan meningkatkan ekonomi mereka," kata Rudi.
Rudi menyebut, total luas hutan yang akan direstorasi mencapai 10.000 hektare. Saat ini program tersebut telah berjalan, sebagian besar hutan telah direstorasi baik melalui agro forest dengan penanaman maupun restorasi alami.
"Di Aceh Tamiang ada 3.000 hektare yang aktif ditanami oleh koperasi-koperasi dan kelompok petani," ucapnya.
Senada, Koordinator Sustainability FKL Hendra Syahrial mengatakan, dari data yang dimiliki, deforestasi di Aceh Tamiang luasnya mencapai 126.996 hektare. "Saat ini ada enam proyek restorasi di Aceh Tamiang. Ini kita fasilitasi," ucapnya.
Sedangkan untuk hutan produksi luasnya mencapai 34.776 hektare. Hutan lindung luasnya 45.348 hektare dan hutan produksi terbatas luasnya hanya 283 hektare.
"Kalau hutan produksi terbatas hanya boleh ambil produksinya saja tetapi tidak boleh di konversi ke peruntukan lain berbeda dengan hutan produksi yang bisa di konversi untuk di tanamai saingon, karet dan sebagainya," ujarnya.
(cip)