Otoritas Agama: Antara Normatif dan Historis

Minggu, 25 Februari 2024 - 19:39 WIB
loading...
Otoritas Agama: Antara...
Foto: Istimewa
A A A
Mahmudi Kafrawi
Dosen Universitas Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep

BANYAK orang beranggapan bahwa otoritas agama itu statis dan ahistoris. Seakan-akan ia adalah bersifat absolut dan paten. Tidak bisa berubah, dan apabila diibaratkan penggaris, maka sejarah zaman harus mengikuti otoritas agama pada tokoh tertentu.

baca juga: Membaca Buku Dunia dan Indonesia

Pemikiran otoritas agama yang seperti ini dikritik oleh Fajrie Alatas sebagaimana tertuang dalam buku ini. Penulis menawarkan cara melihat realitas sosial kemasyarakatan dengan kacamata sosiologis dan antropologis. Pada esensinya, realitas sosial itu selalu dinamis, historis, dan berubah-ubah sesuai kecenderungan zaman yang mengikutinya.

Salah satu contoh adalah hukum Islam yang mengatur prinsip hidup masyarakat. Misalnya hukum potong tangan pencuri, ini dianggap paten apabila orang pada umumnya meyakini bahwa otoritas agama itu absolut dan tidak bisa berubah. Padahal, dalam hasil riset Fajrie, otoritas agama itu bersifat relasional antara tokoh, teks, dan masa lalu yang mengandung unsur fondasional untuk selalu diikuti.

Karena bersifat relasional, maka otoritas agama adalah bergantung pada tokoh yang memiliki perantara antara dunia masa lalu dengan dunia masa kini. Hukum potong tangan itu berlaku di Arab tetapi belum tentu itu cocok di Indonesia. Dengan demikian, maka Fajri dengan buku ini hendak mengatakan bahwa otoritas agama itu tidak absolut dan prinsipnya adalah menjadi (becoming) bukan normatif yang selama ini masih banyak diyakini oleh sebagian orang.

Menurut Fajrie, dalam prinsip otoritas agama, selalu ada perbedaan antara tokoh penyampai di daerah tertentu dengan daerah lain. Misalnya seperti yang ia tulis dalam bagian kedua buku ini, yaitu Pangeran Diponegoro memiliki otoritas agama yang berbeda dengan Sunan Ampel, Ba ‘Alawi, dan tokoh yang lain di mana ia memiliki otoritas dalam agama. Pangeran Diponegoro memiliki versi sunnah yang Fajrie sebut dengan Sufism. (hlm. 19).

baca juga: Buku Teladan dari Tiongkok Diluncurkan

Ini sama sekali berbeda dengan versi sunnah tokoh otoritatif yang lain. Versi sunnah Pangeran Diponegoro itu unik dan banyak follower di tanah Jawa. Melalui kerangka pikir yang disodorkan dalam buku ini, Fajrie hendak menyuarakan dinamisasi otoritas agama. Hal ini dimaklumi sebab, ia merupakan sarjana antropologi dan sosiologi, sementara buku ini juga bagian dari hasil penelitian etnografi terhadap Habib Luthfi di Pekalongan.

Yang paling penting dari buku ini juga tentang artikulasi bahwa tokoh yang menghubungkan dari masa lalu ke masa kini itu memiliki artikulasi yang unik yang berbeda antara tokoh yang satu dengan yang lain. Habib Lutfi di Pekalongan sebagaimana dijelaskan dalam buku ini merupakan tokoh penghubung masa lalu dengan masa kini yang memiliki jamaah tersendiri.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1140 seconds (0.1#10.140)