TPDI: Hak Angket DPR Langkah Politik Tepat Jawab Tuntutan Publik terhadap Pilpres Jurdil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara menyatakan fakta-fakta pemilu curang di berbagai tempat menunjukkan terjadi pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu dan penyelenggara pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Maka langkah politik PDIP, Nasdem, PKB, dan PKS mendorong penggunaan hak angket atau interpelasi atau hak menyatakan pendapat oleh DPR menjadi langkah yang sangat tepat, urgent, strategis, dan konstitusional sehingga memerlukan dukungan publik yang meluas.
"Alasannya karena tidak semua bentuk pelanggaran pemilu dan tidak semua pelaku dan korban pelanggaran pemilu/pilpres kasusnya dapat diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK), kecuali peserta pemilu yang secara limitatif ditetapkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," ujar Koordinator TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus dalam keterangannya, Sabtu (24/2024).
Selain itu, kata Petrus, MK sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilu berada dalam posisi tidak merdeka dan mandiri akibat nepotisme dan dinasti politik. Pasalnya, masih ada Anwar Usman, Hakim Konstitusi yang merupakan ipar Presiden Jokowi atau Paman Gibran Rakabuming Raka.
"Oleh karena kewenangan MK yang terbatas dan berada dalam permasalahan nepotisme dan dinasti politik, sehingga tingkat ketidakpercayaan publik terhadap MK semakin luas dan merata. Dengan demikian, penggunaan hak angket atau hak interpelasi bahkan hak menyatakan pendapat oleh DPR menjadi sangat penting, urgent dan strategis," jelasnya.
Karena itu, lanjut dia, pandangan Prof Yusril Ihza Mahendra, Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran sekaligus Pakar Hukum Tata Negara bahwa pihak yang kalah di Pilpres 2024 tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024 dan seharusnya mencari penyelesaian ke MK jelas merupakan pendapat yang membodohi masyarakat, sesat, dan partisan.
Menurutnya, pada saat ini kasus pelanggaran pemilu di mata publik sudah masuk kategori TSM dan itu sangat merugikan hak-hak rakyat pemilih. Rakyat selaku pemegang kedaulatan tetapi tidak mendapat tempat untuk mendapatkan keadilan di MK, sehingga rakyat akan mencari dan menemukan sendiri jalannya untuk mengakhiri pemilu curang yang TSM.
"Caranya, tentu lewat penggunaan hak angket atau hak interpelasi atau hak menyatakan pendapat maupun lewat kekuatan masa mendesak Presiden Jokowi mundur, pilpres batal, dan pilpres diulang," kata dia.
Dia menilai instrumen politik di DPR yaitu penggunaan hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat menjadi kebutuhan dan pilihan langkah yang realistis, urgent, konstitusional, dan sangat strategis. Apalagi, ketika instrumen peradilan berada dalam cengkeraman nepotisme dan politik dinasti di supra struktur politik sehingga tidak mandiri dan bebas dalam pelayanan keadilan.
Petrus menuturkan Pemilu 2024 yang baru saja kita lalui pada 14 Febaruari 2024 lalu muncul berbagai klaim dan protes tentang kecurangan, pelanggaran, dan manipulasi memperlihatkan betapa proses pemilu telah berlangsung secara tidak adil dan tidak jujur. Bahkan melanggar asas-asas pemilu yang digariskan dalam Pasal 22E UUD 1945.
"Jika saja proses dan hasil pemilu pada setiap tahapan terjadi pelanggaran terhadap asas-asas pemilu sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka ketika pelanggaran asas-asas pemilu itu dibiarkan atau ketika lembaga yang berfungsi menyelesaiakan segala permasalahan pemilu tidak lagi dipercaya oleh rakyat, maka konsekuensinya hanya ada dua pilihan," paparnya.
Pertama, pemilu batal dengan segala akibat hukumnya dan pemilu harus digelar ulang. Kedua, Komisioner KPU, Anggota Bawaslu, dan DKPP harus mengundurkan diri atau diberhentikan dan digantikan dengan personalia yang baru.
Karena itu, kata Petrus, ketika Komisioner KPU tidak berani secara independen mengoreksi hasil pemilu dan menyatakan pemilu batal dan harus diulang maka Komisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP harus mengundurkan diri dan mengembalikan segala hal terkait pemilu kepada pemerintah di bawah kontrol DPR dan rakyat.
"Selain daripada itu kondisi riil saat ini, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden Jokowi yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Di samping Presiden Jokowi juga sedang menyiapkan Paslon 02 yang lahir dari nepotisme dan dinasti politik karenanya tidak memenuhi syarat sebagai capres dan cawapres," tandasnya.
"Oleh karena itu jika saja proses dan tahapan pemilu (pilpres) ini dipertahankan, maka Indonesia berada di ambang kehancuran demokrasi dan konstitusi karena daulat rakyat sudah bergeser menjadi daulat nepotisme akibat dinasti politik Jokowi," tutupnya.
Maka langkah politik PDIP, Nasdem, PKB, dan PKS mendorong penggunaan hak angket atau interpelasi atau hak menyatakan pendapat oleh DPR menjadi langkah yang sangat tepat, urgent, strategis, dan konstitusional sehingga memerlukan dukungan publik yang meluas.
Baca Juga
"Alasannya karena tidak semua bentuk pelanggaran pemilu dan tidak semua pelaku dan korban pelanggaran pemilu/pilpres kasusnya dapat diselesaikan lewat Mahkamah Konstitusi (MK), kecuali peserta pemilu yang secara limitatif ditetapkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," ujar Koordinator TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus dalam keterangannya, Sabtu (24/2024).
Selain itu, kata Petrus, MK sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilu berada dalam posisi tidak merdeka dan mandiri akibat nepotisme dan dinasti politik. Pasalnya, masih ada Anwar Usman, Hakim Konstitusi yang merupakan ipar Presiden Jokowi atau Paman Gibran Rakabuming Raka.
"Oleh karena kewenangan MK yang terbatas dan berada dalam permasalahan nepotisme dan dinasti politik, sehingga tingkat ketidakpercayaan publik terhadap MK semakin luas dan merata. Dengan demikian, penggunaan hak angket atau hak interpelasi bahkan hak menyatakan pendapat oleh DPR menjadi sangat penting, urgent dan strategis," jelasnya.
Karena itu, lanjut dia, pandangan Prof Yusril Ihza Mahendra, Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran sekaligus Pakar Hukum Tata Negara bahwa pihak yang kalah di Pilpres 2024 tidak dapat menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024 dan seharusnya mencari penyelesaian ke MK jelas merupakan pendapat yang membodohi masyarakat, sesat, dan partisan.
Menurutnya, pada saat ini kasus pelanggaran pemilu di mata publik sudah masuk kategori TSM dan itu sangat merugikan hak-hak rakyat pemilih. Rakyat selaku pemegang kedaulatan tetapi tidak mendapat tempat untuk mendapatkan keadilan di MK, sehingga rakyat akan mencari dan menemukan sendiri jalannya untuk mengakhiri pemilu curang yang TSM.
"Caranya, tentu lewat penggunaan hak angket atau hak interpelasi atau hak menyatakan pendapat maupun lewat kekuatan masa mendesak Presiden Jokowi mundur, pilpres batal, dan pilpres diulang," kata dia.
Dia menilai instrumen politik di DPR yaitu penggunaan hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat menjadi kebutuhan dan pilihan langkah yang realistis, urgent, konstitusional, dan sangat strategis. Apalagi, ketika instrumen peradilan berada dalam cengkeraman nepotisme dan politik dinasti di supra struktur politik sehingga tidak mandiri dan bebas dalam pelayanan keadilan.
Petrus menuturkan Pemilu 2024 yang baru saja kita lalui pada 14 Febaruari 2024 lalu muncul berbagai klaim dan protes tentang kecurangan, pelanggaran, dan manipulasi memperlihatkan betapa proses pemilu telah berlangsung secara tidak adil dan tidak jujur. Bahkan melanggar asas-asas pemilu yang digariskan dalam Pasal 22E UUD 1945.
"Jika saja proses dan hasil pemilu pada setiap tahapan terjadi pelanggaran terhadap asas-asas pemilu sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka ketika pelanggaran asas-asas pemilu itu dibiarkan atau ketika lembaga yang berfungsi menyelesaiakan segala permasalahan pemilu tidak lagi dipercaya oleh rakyat, maka konsekuensinya hanya ada dua pilihan," paparnya.
Pertama, pemilu batal dengan segala akibat hukumnya dan pemilu harus digelar ulang. Kedua, Komisioner KPU, Anggota Bawaslu, dan DKPP harus mengundurkan diri atau diberhentikan dan digantikan dengan personalia yang baru.
Karena itu, kata Petrus, ketika Komisioner KPU tidak berani secara independen mengoreksi hasil pemilu dan menyatakan pemilu batal dan harus diulang maka Komisioner KPU, Bawaslu, dan DKPP harus mengundurkan diri dan mengembalikan segala hal terkait pemilu kepada pemerintah di bawah kontrol DPR dan rakyat.
"Selain daripada itu kondisi riil saat ini, Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden Jokowi yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Di samping Presiden Jokowi juga sedang menyiapkan Paslon 02 yang lahir dari nepotisme dan dinasti politik karenanya tidak memenuhi syarat sebagai capres dan cawapres," tandasnya.
"Oleh karena itu jika saja proses dan tahapan pemilu (pilpres) ini dipertahankan, maka Indonesia berada di ambang kehancuran demokrasi dan konstitusi karena daulat rakyat sudah bergeser menjadi daulat nepotisme akibat dinasti politik Jokowi," tutupnya.
(kri)