Bintang Tanda Jasa untuk Duo F, Upaya Jokowi Jinakkan Kekuatan Kritis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dua politikus yang selama ini getol bersuara lantang terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) , Fadli Zon dan Fahri Hamzah , mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Nararya . Nama keduanya masuk dalam daftar penerima tanda jasa dan tanda kehormatan yang diberikan Presiden Jokowi kepada 53 orang tokoh dalam rangka memperingati HUT ke-75 RI di Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/8/2020).
Pemberian anugerah tanda jasa ini didasari Keputusan Presiden Nomor 51, 52, dan 53/TK/TH 2020 tanggal 22 Juni 2020 dan Nomor 79, 80, dan 81/TK/TH 2020 tanggal 12 Agustus 2020.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam mengatakan, penghargaan Bintang Mahaputera Nararya untuk Fadli Zon dan Fahri Hamzah sebenarnya seremoni rutin yang diberikan kepada para mantan pimpinan lembaga negara. Diketahui, keduanya sempat ikut memimpin lembaga DPR sebagai wakil ketua. "Tapi ini menjadi menarik karena pihak pemerintah hanya meng-higlihght dua nama politisi tersebut, bukan yang lain," ujar Umam, Kamis (13/8/2020).( )
Langkah ini, menurut Umam, tentu memiliki makna politik tersendiri, mengingat pemberian ini diberikan pemerintah dan dari keduanya tidak ada penolakan. Menurutnya, langkah pemberian penghargaan ini bisa dipengaruhi oleh dua kemungkinan. Pertama, terjadi rekonsiliasi politik antara kubu pemerintah dengan dua figur politisi yang selama ini menjadi pengkritik terdepan.
"Meskipun kritikannya sering bernada nyinyir dan asal hantam, namun efek destruktif terhadap pemerintah tentu terasa," katanya.
Sementara rekonsiliasi itu bisa terjadi karena Fahri perlu mengamankan kepentingan partai barunya yakni Partai Gelora di hadapan pemerintah. Sedangkan Fadli Zon sendiri dipaksa untuk bungkam oleh realitas politik dimana Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah berada di internal kolisi pemerintah.
Kedua, tutur Umam, pemberian penghargaan tokoh-tokoh kritis ini bisa dimaknai sebagai upaya menjinakkan kekuatan kritis yang dinilai tidak produktif bagi soliditas kepentingan mereka yang berada di rezim pemerintahan.( )
"Logika itu bisa valid karena hal itu pula yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi kepada seteru lamanya Prabowo. Daripada merepotkan kerja pemerintahan di parlemen maka diberilah Gerindra dua jatah kursi menteri, meskipun hal itu tentu melukai logika demokrasi yang kompetitif," katanya.
Hal ini, kata Umam, merepresentasikan cara-cara kepemimpinan politik Jawa (Javanese leadership style). "Seperti ditulis oleh Benedict Anderson (1970) bahwa dalam filosofi Jawa, untuk membungkam mereka yang bersuara maka cukup dengan "dipangku" agar suara itu 'mati'," tutur Doktor Ilmu Politik dari School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia ini.
Pemberian anugerah tanda jasa ini didasari Keputusan Presiden Nomor 51, 52, dan 53/TK/TH 2020 tanggal 22 Juni 2020 dan Nomor 79, 80, dan 81/TK/TH 2020 tanggal 12 Agustus 2020.
Managing Director Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam mengatakan, penghargaan Bintang Mahaputera Nararya untuk Fadli Zon dan Fahri Hamzah sebenarnya seremoni rutin yang diberikan kepada para mantan pimpinan lembaga negara. Diketahui, keduanya sempat ikut memimpin lembaga DPR sebagai wakil ketua. "Tapi ini menjadi menarik karena pihak pemerintah hanya meng-higlihght dua nama politisi tersebut, bukan yang lain," ujar Umam, Kamis (13/8/2020).( )
Langkah ini, menurut Umam, tentu memiliki makna politik tersendiri, mengingat pemberian ini diberikan pemerintah dan dari keduanya tidak ada penolakan. Menurutnya, langkah pemberian penghargaan ini bisa dipengaruhi oleh dua kemungkinan. Pertama, terjadi rekonsiliasi politik antara kubu pemerintah dengan dua figur politisi yang selama ini menjadi pengkritik terdepan.
"Meskipun kritikannya sering bernada nyinyir dan asal hantam, namun efek destruktif terhadap pemerintah tentu terasa," katanya.
Sementara rekonsiliasi itu bisa terjadi karena Fahri perlu mengamankan kepentingan partai barunya yakni Partai Gelora di hadapan pemerintah. Sedangkan Fadli Zon sendiri dipaksa untuk bungkam oleh realitas politik dimana Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah berada di internal kolisi pemerintah.
Kedua, tutur Umam, pemberian penghargaan tokoh-tokoh kritis ini bisa dimaknai sebagai upaya menjinakkan kekuatan kritis yang dinilai tidak produktif bagi soliditas kepentingan mereka yang berada di rezim pemerintahan.( )
"Logika itu bisa valid karena hal itu pula yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi kepada seteru lamanya Prabowo. Daripada merepotkan kerja pemerintahan di parlemen maka diberilah Gerindra dua jatah kursi menteri, meskipun hal itu tentu melukai logika demokrasi yang kompetitif," katanya.
Hal ini, kata Umam, merepresentasikan cara-cara kepemimpinan politik Jawa (Javanese leadership style). "Seperti ditulis oleh Benedict Anderson (1970) bahwa dalam filosofi Jawa, untuk membungkam mereka yang bersuara maka cukup dengan "dipangku" agar suara itu 'mati'," tutur Doktor Ilmu Politik dari School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia ini.
(abd)