Ray Rangkuti Sebut Ada 4 Pelanggaran Berat Pemilu 2024, Bisa Diskualifikasi Paslon Tertentu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Lingkar Mardani, Ray Rangkuti menyebut ada empat pelanggaran berat dari 19 jenis yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pelanggaran tersebut semestinya bisa mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) tertentu.
Pelanggaran pertama, kata Ray, ada lebih dari 2.000 kasus intimidasi menurut laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Ini periswa yang tak bisa dimaafkan. Jangankan ribuan, satu pun ini tidak bisa dimaafkan. Saya kira belum satu kasus pun naik ke pengadilan," kata Ray, Kamis (22/2/2024).
Kemudian pelanggaran kedua adalah lebih dari 2.000 kasus rekapitulasi antara suara sah dengan tidak sah tidak sinkron. Ketiga, adanya dugaan mobilisasi pemilih, dan keempat hampir 1.000 kasus orang yang sama mencoblos lebih dari dua kali.
Ray mengaku miris, di tengah kemajuan teknologi dan dewasanya demokrasi Indonesia, pelanggaran tersebut justru malah dianggap biasa.
"Ini jelas buruk. Kalau terjadi pada tahun 1999 dan 2004 bisa dipahami karena teknologi tidak secanggih sekarang, dan belum ada e-KTP waktu itu. Tapi ini terjadi di era e-KTP. Jangankan ribuan, ratusan saja tidak boleh ditoleransi," kata alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Karena itu, Ray mendorong perlunya evaluasi terhadap terhadap Bawaslu. Ia menilai lembaga pengawas pemilu tersebut mengelola anggaran besar namun kinerjanya minim, sehingga bila hendak menghemat anggaran pemilu, maka yang dihemat adalah anggaran Bawaslu, bukan 1 atau 2 dua putaran penyelenggaraan pemilu presiden.
"Ada yang mengusung satu putaran agar menghemat dana pemilu. Kalau mau hemat dana lebih baik Bawaslu direvisi. Lebih dari Rp40 triliun dana untuk Bawaslu, tetapi kinerjanya tidak lebih hebat dari Dirty Vote," lanjut Ray.
Ray juga menganggap Pemilu 2024 paling tidak berintegritas daripada pemilu-pemilu lainnya. Ia menyebutkan setiap tahapan Pemilu 2024 memiliki problematika tersendiri hingga ternyata diketahui merupakan rancangan yang dipersiapkan guna memuluskan pencalonan orang-orang tertentu.
Ray menjelaskan, kondisi Pemilu 2024 yang berantakan tersebut bahkan terendus oleh lembaga pemantau asing, semisal Asian Network for Free Elections (ANFREL).
"Sepanjang sejarah reformasi, Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk berdasarkan indikator moral dan teknis," ujar Ray pada Diskusi Gerakan untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD) melansir kanal Youtube Para Syndicate, Kamis (22/2/2024).
Untuk diketahui, melansir keterangan tertulis pada 13 Februari 2024, ANFREL mengidentifikasi masalah-masalah politik dan hukum menjelang pencoblosan. Hal paling signifikan adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pengecualian terhadap usia minimum yang sah bagi capres dan cawapres.
Perubahan aturan tersebut memungkinkan pejabat yang lebih muda dengan pengalaman menjabat pada tingkat pemerintahan daerah untuk mencalonkan diri. Hal lain adalah distribusi bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial (Bansos) melalui berbagai program, sehingga menimbulkan spekulasi tentang potensi dukungan strategis bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Pelanggaran pertama, kata Ray, ada lebih dari 2.000 kasus intimidasi menurut laporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Ini periswa yang tak bisa dimaafkan. Jangankan ribuan, satu pun ini tidak bisa dimaafkan. Saya kira belum satu kasus pun naik ke pengadilan," kata Ray, Kamis (22/2/2024).
Kemudian pelanggaran kedua adalah lebih dari 2.000 kasus rekapitulasi antara suara sah dengan tidak sah tidak sinkron. Ketiga, adanya dugaan mobilisasi pemilih, dan keempat hampir 1.000 kasus orang yang sama mencoblos lebih dari dua kali.
Ray mengaku miris, di tengah kemajuan teknologi dan dewasanya demokrasi Indonesia, pelanggaran tersebut justru malah dianggap biasa.
"Ini jelas buruk. Kalau terjadi pada tahun 1999 dan 2004 bisa dipahami karena teknologi tidak secanggih sekarang, dan belum ada e-KTP waktu itu. Tapi ini terjadi di era e-KTP. Jangankan ribuan, ratusan saja tidak boleh ditoleransi," kata alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Karena itu, Ray mendorong perlunya evaluasi terhadap terhadap Bawaslu. Ia menilai lembaga pengawas pemilu tersebut mengelola anggaran besar namun kinerjanya minim, sehingga bila hendak menghemat anggaran pemilu, maka yang dihemat adalah anggaran Bawaslu, bukan 1 atau 2 dua putaran penyelenggaraan pemilu presiden.
"Ada yang mengusung satu putaran agar menghemat dana pemilu. Kalau mau hemat dana lebih baik Bawaslu direvisi. Lebih dari Rp40 triliun dana untuk Bawaslu, tetapi kinerjanya tidak lebih hebat dari Dirty Vote," lanjut Ray.
Ray juga menganggap Pemilu 2024 paling tidak berintegritas daripada pemilu-pemilu lainnya. Ia menyebutkan setiap tahapan Pemilu 2024 memiliki problematika tersendiri hingga ternyata diketahui merupakan rancangan yang dipersiapkan guna memuluskan pencalonan orang-orang tertentu.
Ray menjelaskan, kondisi Pemilu 2024 yang berantakan tersebut bahkan terendus oleh lembaga pemantau asing, semisal Asian Network for Free Elections (ANFREL).
"Sepanjang sejarah reformasi, Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk berdasarkan indikator moral dan teknis," ujar Ray pada Diskusi Gerakan untuk Indonesia yang Adil dan Demokratis (GIAD) melansir kanal Youtube Para Syndicate, Kamis (22/2/2024).
Untuk diketahui, melansir keterangan tertulis pada 13 Februari 2024, ANFREL mengidentifikasi masalah-masalah politik dan hukum menjelang pencoblosan. Hal paling signifikan adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pengecualian terhadap usia minimum yang sah bagi capres dan cawapres.
Perubahan aturan tersebut memungkinkan pejabat yang lebih muda dengan pengalaman menjabat pada tingkat pemerintahan daerah untuk mencalonkan diri. Hal lain adalah distribusi bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan sosial (Bansos) melalui berbagai program, sehingga menimbulkan spekulasi tentang potensi dukungan strategis bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
(abd)