Masalah Ketentuan Sanksi dalam UU Pemilu 2017

Kamis, 22 Februari 2024 - 11:35 WIB
loading...
Masalah Ketentuan Sanksi dalam UU Pemilu 2017
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

BANYAK pertanyaan sinis masyarakat terhadap sanksi yang dijatuhkan, baik oleh MKMK dan DKKPU terhadap pelaku yang dinyatakan telah bersalah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan UU Pemilu 2017. Di dalam UU Pemilu 2017, juga dalam Pemilu sebelumnya, telah dibedakan antara sanksi etik dan sanksi administratif serta sanksi pidana.

Pengalaman menunjukkan bahwa 99% perkara pelanggaran ketentuan dalam UU Pemilu 2017 hanya dijatuhkan sanksi etik dan atau sanksi administratif. Sanksi pidana bahkan dapat dikatakan nihil khususnya dalam Pemilu 2024 ini.

Pertanyaan yang selalu mengusik adalah mengapa untuk mencegah dan membersihkan penyelenggaraan Pemilu hanya dijatuhi sanksi ringan-etik dan administrasi? Mengapa pemerintah dan DPR tampak ragu-ragu untuk memperkuat sanksi pidana seberat-beratnya terhadap perusak pesat rakyat berdemokrasi lima tahunan ini?

Dalam UU Pemilu 2017 disebutkan, sanksi pidana paling lama 6 tahun, berarti dapat dijatuhi hukuman 1 tahun dan pidana denda paling banyak antara Rp6 juta dan Rp12 juta. Sanksi-sanksi tersebut tercantum dalam ketentuan pidana sebanyak 67 pasal. Akan tetapi satu pasal pun hampir jarang dijatuhkan kepada pelanggar, kecuali sanksi etik dan administatif.

Adanya ketentuan sanksi etik dan administratif yang jauh lebih banyak dari ketentuan pidana mencerminkan bahwa pembentuk UU (DPR dan Pemerintah) tampak enggan memberikan efek jera terhadap pelaku perusak pesta demokrasi rakyat. Bahkan lebih berani menentukan hukuman berat terhadap tindak pidana biasa dan permisif terhadap pelanggar larangan penyelenggaraan pemilu.

Fakta ini sungguh sangat mengherankan sehingga dari pengalaman tujuh kali Pemilu, baik sanksi atas pelanggaran etik, administratif maupun pidana tidak ada efek jera sama sekali. Layaknya berlalu seperti air mengalir di sungai hanya sedikit batu-batu ganjalan saja.

Jika ketentuan sanksi Pemilu dibiarkan tetap dalam keadaan status quo maka diperkirakan Pemilu lima dan 10 tahun yang mendatang akan terjadi serta dianggap riak-riak kecil semata, berasal dari kelompok pemilih yang tidak puas atas kekalahannya. Jika demikian halnya pertanyaan yang perlu diajukan dan bersifat mendasar adalah, apakah kita bersama dan pemimpin bangsa ini serius melaksanakan pesta demokrasi lima tahun sekali atau sekadar menghabiskan dana yang telah disiapkan negara (APBN) dan disetujui di meja parlemen di Senayan saja yang mencapai Rp72 triliun lebih pada Pemilu tahun ini (2024)?

Jika demikian halnya, maka sepatutnya dapat dikatakan bahwa Pemilu sama dengan pesta pura-pura berdemokrasi yang dibalut dengan peraturan perundang-undangan untuk menampakkan bahwa NKRI adalah negara yang menjunjung tinggi. Memuliakan hukum serta melindungi hak-hak 270 juta jiwa rakyat untuk melaksanakan pesta demokrasi.

Keberadaan Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan perangkat pelaksana KPPS dan Majelis Kode Etik Pemilu dan Mahkamah Sidang Pemilu memang diakui. Termasuk Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi sekaligus tempat menyelesaikan sengketa Pemilu. Namun semua lembaga tersebut di atas tampak lumpuh menegakkan demokrasi dan konstitusi serta peraturan perundang-undangan terkait penyelenggaraan Pemilu 2024.

Dapat dikatakan lembaga-lembaga negara yang diberikan mandat oleh 270 juta rakyat Indonesia tidak berdaya dan tidak mampu melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan amanah/mandat UUD 45 dan peraturan perundang-undangan. Dalam sejarah penyelenggaraan tujuh kali pemilu maka penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sangat parah dan buruk serta kecurangan-kecurangan terburuk ini bersumber pada penggunaan sistem elektronik canggih yang keliru atau disalahgunakan untuk kepentingan salah satu paslon.

Berita terakhir mengemukakan, sebanyak 780 TPS harus dilakukan Pemilu ulang dan 584 TPS harus dilakukan penghitungan susulan (Koran Jakarta, 22 Februari 2024). Berarti sebanyak 1.364 TPS bermasalah dalam Pemilu 2024 atau alias telah terjadi kecurangan.

Pengertian istilah kecurangan itu sendiri tidak ditemukan di dalam UU Pemilu 2017 tetapi hanya dicantumkan pengertian, pelanggaran atas larangan Pemilu, sengketa Pemilu, dan perselisihan dalam Pemilu. Merujuk data pelanggaran sebagaimana direkomendasikan Bawaslu tersebut semakin jelas bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 telah gagal.

Ini jika diukur dari total dana Pemilu yang berasal dari APBN yang telah dikeluarkan untuk keperluan pemilu tersebut. Dana Pemilu 204 meliputi tahapan pertama untuk realisasi 2022 sebesar Rp3,17 triliun. Realisasi 2023 sebesar Rp29,9 triliun, dan untuk realisasi 2024 sebesar Rp38,2 triliun.

Sedangkan untuk KPU dan Bawaslu sebesar Rp26,1 triliun dan melalui K/L sebesar Rp3,8 triliun. Sehingga total dana APBN yang telah dikucurkan untuk Pemilu 2024 sebesar Rp71,27 triliun.

Bertolak dari keadaan dan masalah penyelenggaraan Pemilu 2024 tersebut dapat diterima secara akal sehat dan patut munculnya rencana Paslon 01 dan 03 mengajukan usulan hak angket melalui DPR. Berarti jika hak angket menyatakan mosi tidak percaya karena telah terjadi pelanggaran UUD dan UU dalam proses Pemilu 20124 akan memakan biaya tambahan Pemilu yang tidak sedikit menguras APBN dan devisa.

Solusi ke depan yang dipandang penting dan mendesak adalah perubahan ketentuan pidana, penyelesaian sengketa, dan ketentuan mengenai perselisihan Hasil Pemilu yang lebih tegas, akurat dan berkepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat serta dapat menimbulkan efek jera terhadap baik pemilih maupun anggota parpol atau masyarakat yang berhak dipilih.

Terlebih penting dan utama adalah memperketat syarat-syarat untuk menjadi calon anggota legislatif serta syarat calon presiden dan wakil presiden, baik batas usia bawah maupun batas usia atas. Perubahan-perubahan yang diusulkan agar dapat memberikan edukasi yang baik dan positif kepada seluruh rakyat Indonesia. Termasuk yang menghendaki ikut berpartisipasi dalam membangun bangsa dan negara secara amanah, jujur dan memiliki semangat dan loyalitas yang kuat kepada bangsa dan NKRI.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1801 seconds (0.1#10.140)