PATBM Libatkan Masyarakat Cegah Kekerasan Anak di Masa Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aktivis gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) , aktif menjalankan tugas layanan respons cepat dalam mencegah dan menanggapi kekerasan terhadap anak. Tak terkecuali di masa pandemi Covid-19.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar mengatakan, hingga saat ini terdapat 548 aktivis PATBM yang tersebar di 1.776 desa di 342 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sebagian besar dari mereka menjadi relawan Covid-19. “Sebagai inisiator, Kementerian PPPA selalu memastikan gerakan yang melibatkan masyarakat ini dapat terus berjalan agar anak-anak dapat terlindungi,” ujar Nahar dalam diskusi daring, Rabu (12/8/2020). (Baca juga: Pemda Didorong Miliki Ruang Bermain Ramah Anak)
Dia memaparkan, ada tujuh risiko utama pada anak saat masa pandemi. Kehilangan orang tua karena terpapar Covid-19, orang tua yang kehilangan mata pencaharian, sulit mengakses layanan pendidikan berkualitas, rentan mendapat kekerasan dan eksploitasi, sulit mengakses layanan kesehatan dasar, tinggal di kawasan rawan bencana, serta terbatasnya dukungan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
“Kita harus tetap memastikan bahwa berbagai upaya pencegahan hingga penanganannya dapat kita lakukan agar mencegah anak menjadi korban. Beberapa contoh penanganan kekerasan terhadap anak dari Dinas PPPA membuktikan bahwa selama masa pandemi pun, unit layanan dan aktivis PATBM di daerah tetap aktif,” tegas dia. (Baca juga: Lindung Korban Kekerasan, Institut Perempuan Desak RUU PKS Dibahas Tahun Depan)
Nahar meyakini setiap daerah memiliki kebutuhan berbeda dalam memberikan perlindungan kepada anak. Karena itu, menurut dia, pentingnya saling bertukar praktik dari tiap-tiap daerah dalam pengembangan PATBM.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) Provinsi Jambi, Luthpiah mengatakan ada empat komponen PATBM di masa pandemi, yakni data kekerasan anak, pola pengasuhan bagi anak selama situasi pandemi, perlakuan terhadap anak yang terdampak Covid-19 dan penanganan anak korban kekerasan. Selain itu, para aktivis PATBM juga didorong untuk berjejaring dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selain didukung oleh DP3AP2, PATBM juga didukung dengan unsur-unsur lainnya, seperti lembaga masyarakat, orang tua, anak, puskesmas, serta Babinsa. “Hal ini penting agar mereka selain paham hukum positif, mereka juga paham hukum adat. Ingat, dalam memberikan perlindungan terhadap anak PATBM tidaklah sendiri,” jelas Luthpiah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, Tuty Kusumawati mengatakan selama masa pandemi, para aktivis PATBM di DKI Jakarta juga tetap aktif melakukan kegiatan seperti memberikan paket pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak serta mengedukasi masyarakat terkait pencegahan Covid-19.
“Selama masa pandemi, PATBM di DKI Jakarta melakukan sosialisasi terkait pencegahan kekerasan secara virtual, menyerahkan paket pemenuhan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak terdampak Covid-19, melakukan pendampingan bagi anak-anak dari keluarga yang terpapar Covid-19, dan melakukan edukasi mengenai pencegahan Covid-19, edukasi terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), serta edukasi belajar di rumah,” tutur Tuty.
Meski demikian, Tuty tidak memungkiri masih terdapat hambatan yang dialami oleh PATBM yang harus diatasi bersama. Misalnya, terkait regulasi dan legalitas dasar hukum PATBM di tiap daerah.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar mengatakan, hingga saat ini terdapat 548 aktivis PATBM yang tersebar di 1.776 desa di 342 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sebagian besar dari mereka menjadi relawan Covid-19. “Sebagai inisiator, Kementerian PPPA selalu memastikan gerakan yang melibatkan masyarakat ini dapat terus berjalan agar anak-anak dapat terlindungi,” ujar Nahar dalam diskusi daring, Rabu (12/8/2020). (Baca juga: Pemda Didorong Miliki Ruang Bermain Ramah Anak)
Dia memaparkan, ada tujuh risiko utama pada anak saat masa pandemi. Kehilangan orang tua karena terpapar Covid-19, orang tua yang kehilangan mata pencaharian, sulit mengakses layanan pendidikan berkualitas, rentan mendapat kekerasan dan eksploitasi, sulit mengakses layanan kesehatan dasar, tinggal di kawasan rawan bencana, serta terbatasnya dukungan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK).
“Kita harus tetap memastikan bahwa berbagai upaya pencegahan hingga penanganannya dapat kita lakukan agar mencegah anak menjadi korban. Beberapa contoh penanganan kekerasan terhadap anak dari Dinas PPPA membuktikan bahwa selama masa pandemi pun, unit layanan dan aktivis PATBM di daerah tetap aktif,” tegas dia. (Baca juga: Lindung Korban Kekerasan, Institut Perempuan Desak RUU PKS Dibahas Tahun Depan)
Nahar meyakini setiap daerah memiliki kebutuhan berbeda dalam memberikan perlindungan kepada anak. Karena itu, menurut dia, pentingnya saling bertukar praktik dari tiap-tiap daerah dalam pengembangan PATBM.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (P3AP2) Provinsi Jambi, Luthpiah mengatakan ada empat komponen PATBM di masa pandemi, yakni data kekerasan anak, pola pengasuhan bagi anak selama situasi pandemi, perlakuan terhadap anak yang terdampak Covid-19 dan penanganan anak korban kekerasan. Selain itu, para aktivis PATBM juga didorong untuk berjejaring dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selain didukung oleh DP3AP2, PATBM juga didukung dengan unsur-unsur lainnya, seperti lembaga masyarakat, orang tua, anak, puskesmas, serta Babinsa. “Hal ini penting agar mereka selain paham hukum positif, mereka juga paham hukum adat. Ingat, dalam memberikan perlindungan terhadap anak PATBM tidaklah sendiri,” jelas Luthpiah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, Tuty Kusumawati mengatakan selama masa pandemi, para aktivis PATBM di DKI Jakarta juga tetap aktif melakukan kegiatan seperti memberikan paket pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan dan anak serta mengedukasi masyarakat terkait pencegahan Covid-19.
“Selama masa pandemi, PATBM di DKI Jakarta melakukan sosialisasi terkait pencegahan kekerasan secara virtual, menyerahkan paket pemenuhan kebutuhan spesifik bagi perempuan dan anak terdampak Covid-19, melakukan pendampingan bagi anak-anak dari keluarga yang terpapar Covid-19, dan melakukan edukasi mengenai pencegahan Covid-19, edukasi terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), serta edukasi belajar di rumah,” tutur Tuty.
Meski demikian, Tuty tidak memungkiri masih terdapat hambatan yang dialami oleh PATBM yang harus diatasi bersama. Misalnya, terkait regulasi dan legalitas dasar hukum PATBM di tiap daerah.
(cip)