Selebritas di Pentas Pilkada
loading...
A
A
A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik
DEMOKRASI menjadi berkah bagi semua orang. Tanpa mengenal kasta dan pranata sosial. Siapapun berhak menjadi bagian penting dari setiap suksesi politik. Tak terkecuali kalangan selebritas yang kini ramai menjamah kerasnya kompetisi politik lokal. Pilkada serentak 2020 menjadi bukti sahih banyaknya artis yang mengadu peruntungan baru di dunia politik.
Syahrul Gunawan misalnya potensial maju di Kabupaten Bandung, Aldi Taher bakal calon Gubernur Sulawesi Tengah, Lian Firman calon perseorangan di Kota Cilegon, Adly Fairus bakal calon di Kabupaten Karawang, David Chalik di Kota Bukittinggi, Ramzi bakal maju di Kota Tangsel, dan lain sebagainya.
Persaingan politik memang cukup terbuka. Siapapun yang punya bekal popularitas relatif mudah ikut bertanding. Apalagi artis dengan paras rupawan pasti punya magnet politik yang tak biasa. Mereka mencoba mengadu nasib dengan menyihir pemilih yang masih melihat fisik sebagai ukuran utama. Padahal politik tak ada kaitannya dengan bentuk fisik.
Selama identitas partai lemah (party ID) selama itu pula artis akan mudah menjadi calon kepala daerah. Cukup bermodalkan tampang dan terkenal. Bagi parpol, mengusung artis bagian cara pintas memenangkan pertarungan elektoral. Sementara artis memanfaatkan lemahnya rekrutmen dan kaderisasi internal parpol. Termasuk privilege yang diterima sang artis.
Selama ini rekrutmen parpol untuk calon pejabat publik masih longgar. Tak perlu rekam jejak dan kompetensi mentereng. Cukup mencari kandidat yang kemungkinan besar mudah memenangkan pertarungan. Harus diakui artis yang kemungkinan besar ikut bertanding di pilkada tak pernah terdengar sepak terjang politiknya. Mereka lebih dominan menghiasi layar kaca dan linimasa pemberitaan gosip ketimbang urusan politik. Selebihnya tak ada.
Artis terlihat gampang mendapat ‘altar merah’ parpol. Mereka dipersonifikasi sebagai figur yang dengan mudah bisa mendulang dukungan. Mereka idola dengan sejuta pesona yang menghipnotis pemilih. Sekalipun kapasitas dan kompetensinya jauh dari harapan. Faktor ini dinilai tak penting yang utama tetaplah usaha menang mudah.
Tak ada yang salah artis ikut pilkada. Tak satupun regulasi yang dilanggar. Mereka juga berhak ikutan bertanding. Problemnya adalah dunia politik tak seindah dunia layar yang penuh drama rekayasa palsu. Politik menyuguhkan dunia lain yang tak mudah. Butuh dedikasi dan kecakapan menghadapi dinamika birokrasi dan manuver parpol. Bahkan jika tak berhati-hati mudah terjerambab dalam pusaran arus besar korupsi. Politik penuh intrik dan jebakan. Bukan dunia dandan dan adu dendi.
Sebab Pencalonan
Ada sejumlah sebab kenapa artis tergoda ikut pilkada. Pertama, mutualisme simbiosis. Parpol dan artis sama-sama terjebak dalam relasi kuasa yang saling membutuhkan. Satu sisi parpol pengusung artis otomaticly akan mendapat berkah popularitas. Sisi lainnya, sang artis menikmati indahnya karpet merah yang disediakan parpol. Keduanya saling berkelindang, saling tergantung, dan saling menguntungkan.
Kedua, mengadu nasib di dunia politik. Jika dilihat acak, motif artis terjun ke pilkada sebatas mengadu nasib di politik. Rata-rata sudah tak lagi laku di dunia hiburan. Sepi job dan order. Wajar jika mereka memutuskan banting haluan mencari pijakan lainnya. Agak sulit menjumpai artis yang lagi di puncak popularitas rela putar arah ke politik. Kecuali Ramzi di Tangsel. Sebab, popularitas artis sangat identik dengan gelimang kemewahan.
Direktur Eksekutif Parameter Politik
DEMOKRASI menjadi berkah bagi semua orang. Tanpa mengenal kasta dan pranata sosial. Siapapun berhak menjadi bagian penting dari setiap suksesi politik. Tak terkecuali kalangan selebritas yang kini ramai menjamah kerasnya kompetisi politik lokal. Pilkada serentak 2020 menjadi bukti sahih banyaknya artis yang mengadu peruntungan baru di dunia politik.
Syahrul Gunawan misalnya potensial maju di Kabupaten Bandung, Aldi Taher bakal calon Gubernur Sulawesi Tengah, Lian Firman calon perseorangan di Kota Cilegon, Adly Fairus bakal calon di Kabupaten Karawang, David Chalik di Kota Bukittinggi, Ramzi bakal maju di Kota Tangsel, dan lain sebagainya.
Persaingan politik memang cukup terbuka. Siapapun yang punya bekal popularitas relatif mudah ikut bertanding. Apalagi artis dengan paras rupawan pasti punya magnet politik yang tak biasa. Mereka mencoba mengadu nasib dengan menyihir pemilih yang masih melihat fisik sebagai ukuran utama. Padahal politik tak ada kaitannya dengan bentuk fisik.
Selama identitas partai lemah (party ID) selama itu pula artis akan mudah menjadi calon kepala daerah. Cukup bermodalkan tampang dan terkenal. Bagi parpol, mengusung artis bagian cara pintas memenangkan pertarungan elektoral. Sementara artis memanfaatkan lemahnya rekrutmen dan kaderisasi internal parpol. Termasuk privilege yang diterima sang artis.
Selama ini rekrutmen parpol untuk calon pejabat publik masih longgar. Tak perlu rekam jejak dan kompetensi mentereng. Cukup mencari kandidat yang kemungkinan besar mudah memenangkan pertarungan. Harus diakui artis yang kemungkinan besar ikut bertanding di pilkada tak pernah terdengar sepak terjang politiknya. Mereka lebih dominan menghiasi layar kaca dan linimasa pemberitaan gosip ketimbang urusan politik. Selebihnya tak ada.
Artis terlihat gampang mendapat ‘altar merah’ parpol. Mereka dipersonifikasi sebagai figur yang dengan mudah bisa mendulang dukungan. Mereka idola dengan sejuta pesona yang menghipnotis pemilih. Sekalipun kapasitas dan kompetensinya jauh dari harapan. Faktor ini dinilai tak penting yang utama tetaplah usaha menang mudah.
Tak ada yang salah artis ikut pilkada. Tak satupun regulasi yang dilanggar. Mereka juga berhak ikutan bertanding. Problemnya adalah dunia politik tak seindah dunia layar yang penuh drama rekayasa palsu. Politik menyuguhkan dunia lain yang tak mudah. Butuh dedikasi dan kecakapan menghadapi dinamika birokrasi dan manuver parpol. Bahkan jika tak berhati-hati mudah terjerambab dalam pusaran arus besar korupsi. Politik penuh intrik dan jebakan. Bukan dunia dandan dan adu dendi.
Sebab Pencalonan
Ada sejumlah sebab kenapa artis tergoda ikut pilkada. Pertama, mutualisme simbiosis. Parpol dan artis sama-sama terjebak dalam relasi kuasa yang saling membutuhkan. Satu sisi parpol pengusung artis otomaticly akan mendapat berkah popularitas. Sisi lainnya, sang artis menikmati indahnya karpet merah yang disediakan parpol. Keduanya saling berkelindang, saling tergantung, dan saling menguntungkan.
Kedua, mengadu nasib di dunia politik. Jika dilihat acak, motif artis terjun ke pilkada sebatas mengadu nasib di politik. Rata-rata sudah tak lagi laku di dunia hiburan. Sepi job dan order. Wajar jika mereka memutuskan banting haluan mencari pijakan lainnya. Agak sulit menjumpai artis yang lagi di puncak popularitas rela putar arah ke politik. Kecuali Ramzi di Tangsel. Sebab, popularitas artis sangat identik dengan gelimang kemewahan.