Polemik Bansos
loading...
A
A
A
Alya Maharani
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan saat ini sedang mengikuti program magang di Pusat SKK Amerop, BSKLN, Kementerian Luar Negeri RI
POLEMIK terkait program bantuan sosial ( bansos ) menjadi salah satu isu paling hangat yang sedang dibahas menjelang Pemilihan Presiden 2024. Isu ini memunculkan kontroversi dan perdebatan sengit di kalangan masyarakat serta para politisi. Sejak awal tahun 2024, perdebatan tentang bansos telah menjadi sorotan utama dalam agenda politik dan sosial di Indonesia.
Program bansos, yang dirancang untuk membantu warga yang kurang mampu, kini menjadi pemandangan yang kompleks karena adanya dugaan penyalahgunaan dan politisasi oleh pihak-pihak tertentu. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, anggaran yang dialokasikan untuk bansos pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp476 triliun. Namun, anggaran bansos tersebut kemudian dinaikan sebesar Rp20 triliun sehingga total menjadi Rp496 triliun pada 2024.
Alokasi anggaran ini hampir menyamai anggaran perlindungan sosial pada 2020 saat krisis pandemi Covid-19, yaitu sebesar Rp498 triliun. Presiden Joko Widodo pada periode Januari hingga Maret 2024 juga akan menyalurkan bansos berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bertujuan untuk mitigasi risiko pangan bagi 18,8 juta penerima. Setiap penerima dilaporkan akan mendapatkan BLT dengan total Rp600 ribu. Tidak hanya itu, beberapa program bansos lainnya juga akan dilakukan oleh Pemerintah pada Februari 2024 di antaranya bansos Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bansos beras 10 kg, dan BLT Rp200.000.
Sumber: Kementerian Keuangan
Politisasi Bansos?
Secara prosedural, menurut Sri Mulyani, mekanisme penyaluran bansos semestinya dilakukan melalui Kementerian Sosial berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) serta data tambahan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan ekstrem. Namun, baru-baru ini aksi Presiden Joko Widodo yang membagi-bagikan langsung bansos ke masyarakat bahkan di pinggir jalan menuai sorotan banyak pihak. Aksi bagi-bagi bansos tersebut juga tidak mengajak atau mengikutsertakan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang secara tupoksi berkewenangan atas penyelenggaraan dan penyaluran bansos.
Tindakan Presiden Joko Widodo tersebut dianggap menabrak norma-norma yang berlaku terkait penyaluran bansos. Bahkan, tindakan tersebut dinilai sangat kental dengan muatan politis karena berlangsung di tengah suasana pertarungan politik menjelang pemilu 2024. Sebagai implikasinya, penyaluran bansos di lapangan diberitakan tidak tepat sasaran dan didistribusikan secara tidak adil.
Kegelisahan Sosial
Karut-marut pembagian bansos yang melibatkan lembaga Kepresidenan memicu keprihatinan tersendiri di kalangan masyarakat. Bahkan, banyak kalangan aktivis dan organisasi masyarakat madani menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bansos. Mereka mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan investigasi menyeluruh dan mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan bansos.
Pemerintah dan sejumlah kalangan yang pro kegiatan Presiden Jokowi bagi-bagi bansos secara tegas menampik tuduhan tersebut. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan bahwa bansos didistribusikan berdasarkan kriteria yang jelas dan tidak ada unsur politisasi di dalamnya. Pemerintah juga mengaku siap untuk bekerja sama dengan lembaga independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bansos.
Masyarakat pun berharap agar pemerintah dan lembaga terkait dapat segera menyelesaikan masalah ini dengan memberikan kejelasan dan kepastian kepada publik. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam penyaluran bansos, sehingga program ini benar-benar dapat membantu mereka yang membutuhkan tanpa ada ruang bagi manipulasi politik.
Bansos ideal
Bansos dalam bentuk bantuan langsung baik berupa sembako maupun cash (BLT) secara nilai nominal bantuan akumulatif berjumlah sangat besar. Namun, saat bansos didistribusikan ke masyarakat, maka nilai nominal bantuan per jiwa menjadi sangat kecil dan bahkan manfaat bantuannya bersifat sesaat. Penyaluran bansos model ini seperti halnya dengan membantu masyarakat dengan memberikan ikan bukan kail, sehingga sifat bantuannya tidak berkelanjutan (sustainable). Bansos yang sifatnya ‘sekali dapat langsung habis’ secara ekonomi jangka panjang tidak berdampak signifikan bagi kemaslahatan keluarga penerima. Hal demikian tentunya berbeda dengan bansos berupa program dana bergulir seperti yang pernah diselenggarakan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2018 tentang Penentuan Nilai Bersih Investasi Jangka Panjang Nonpermanen Dalam Bentuk Tagihan, Dana Bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh Badan Layanan Umum yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Mekanismenya adalah dengan memberikan suku bunga yang lebih murah dibandingkan lembaga keuangan komersial atau memberikan pinjaman tanpa disertai agunan (untuk pembiayaan kelompok).
Belajar dari Grameen Bank
Berbicara mengenai dana bergulir yang efektif, seorang ekonom terkemuka dan penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, Muhammad Yunus, diakui mempunyai metode yang jenius untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui program Grameen Bank. Program Grameen Bank ini memiliki fungsi utama sebagai microfinance bank untuk memberikan layanan microcredit kepada masyarakat miskin. Bukan seperti praktik perbankan pada umumnya, Grameen Bank justru beroperasi di desa, menyasar nasabah yang miskin, khususnya kalangan perempuan.
Muhammad Yunus merancang agar setiap nasabah terlebih dulu membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Anggota-anggota kelompok tidak dapat meminjam secara bersamaan, tetapi harus secara bergiliran. Anggota lain hanya bisa meminjam jika anggota yang meminjam lebih dulu telah dapat membuktikan kedisiplinan dan kejujurannya dalam membayar cicilan. Setiap pinjaman pertama tersebut hanya boleh dipergunakan untuk tujuan produktif yang mendukung usaha. Syarat tersebut diberlakukan agar masyarakat dapat memutar usahanya menjadi lebih baik lagi.
Berkat mekanisme seperti ini, tingkat pengembalian kredit mikro yang disalurkan pun terbukti konsisten sangat tinggi, yaitu sekitar 95%. Program ini berhasil mensejahteraan masyarakat untuk mampu mandiri secara ekonomi, khususnya perempuan dalam mengelola keuangan keluarganya.
Bantuan Kail
Belajar dari program dana bergulir pada masa kepemimpinan Presiden SBY dan juga metode bantuan sosial ala Grameen Bank, pemerintah saat ini setidaknya dapat mempertimbangkan penyelenggaraan program bansos dalam bentuk bantuan dana bergulir.
Belajar dari kesuksesan Grameen Bank, program bantuan model ini dirancang secara khusus melibatkan peranan kaum ibu dalam pengelolaan dana bantuan untuk pemberdayaan ekonomi keluarga melalui kegiatan wirausaha. Pelibatan kaum ibu sebagai pengelola dana bantuan sangat penting mengingat kaum ibu diakui keberadaan dan kepiawaiannya sebagai manajer yang baik (good manager) dalam rumah tangga.
Berbeda dengan bantuan yang bersifat langsung, bantuan yang sifatnya bergulir tentunya memberikan rasa tanggung jawab tersendiri di pihak masyarakat penerima untuk dapat mengelola dana bantuan secara bijak dan mandiri. Karena sifatnya bergulir, dana pemerintah yang dikucurkan untuk program dana bergulir akan bersifat sustainable (berkelanjutan) dan lebih luas daya jangkaunya, serta tidak menguras APBN. Namun, program bantuan dana bergulir ini tetap memerlukan dukungan Pemerintah dalam bentuk pengadaan program pelatihan kewirausahaan dan pendampingan secara intens bagi masyarakat penerima bantuan.
Pendekatan Solutif
Mekanisme pengelolaan dana ini harus diatur dengan ketat, termasuk pelaporan penggunaan dana secara berkala dan pemantauan dari pihak berwenang. Audit independen juga harus dilibatkan dan dilakukan secara rutin untuk memastikan penggunaan dana sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Pemerintah dapat membentuk kelompok-kelompok masyarakat atau forum yang terdiri dari perwakilan ibu-ibu di setiap tingkat wilayah yang berperan untuk memantau penyaluran bansos, memberikan masukan, dan melaporkan dugaan penyalahgunaan.
Pendekatan solutif terkait program bansos tentunya akan membutuhkan kerja sama dan sinergitas antar pemangku kepentingan terkait (relevant stakeholders) khususnya Pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait yang dilibatkan dalam program bantuan sosial ini. Melalui pendekatan yang berbasis transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat khususnya pelibatan kaum ibu sebagai manajer pengelolaan dana, polemik bansos diharapkan dapat dihindari. Di samping itu, program bantuan sosial dimaksud dapat berjalan sesuai amanah dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat penerimanya. Salam "Rakyat Sehat, Negara Kuat".
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan saat ini sedang mengikuti program magang di Pusat SKK Amerop, BSKLN, Kementerian Luar Negeri RI
POLEMIK terkait program bantuan sosial ( bansos ) menjadi salah satu isu paling hangat yang sedang dibahas menjelang Pemilihan Presiden 2024. Isu ini memunculkan kontroversi dan perdebatan sengit di kalangan masyarakat serta para politisi. Sejak awal tahun 2024, perdebatan tentang bansos telah menjadi sorotan utama dalam agenda politik dan sosial di Indonesia.
Program bansos, yang dirancang untuk membantu warga yang kurang mampu, kini menjadi pemandangan yang kompleks karena adanya dugaan penyalahgunaan dan politisasi oleh pihak-pihak tertentu. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, anggaran yang dialokasikan untuk bansos pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023 sebesar Rp476 triliun. Namun, anggaran bansos tersebut kemudian dinaikan sebesar Rp20 triliun sehingga total menjadi Rp496 triliun pada 2024.
Alokasi anggaran ini hampir menyamai anggaran perlindungan sosial pada 2020 saat krisis pandemi Covid-19, yaitu sebesar Rp498 triliun. Presiden Joko Widodo pada periode Januari hingga Maret 2024 juga akan menyalurkan bansos berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bertujuan untuk mitigasi risiko pangan bagi 18,8 juta penerima. Setiap penerima dilaporkan akan mendapatkan BLT dengan total Rp600 ribu. Tidak hanya itu, beberapa program bansos lainnya juga akan dilakukan oleh Pemerintah pada Februari 2024 di antaranya bansos Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bansos beras 10 kg, dan BLT Rp200.000.
Sumber: Kementerian Keuangan
Politisasi Bansos?
Secara prosedural, menurut Sri Mulyani, mekanisme penyaluran bansos semestinya dilakukan melalui Kementerian Sosial berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) serta data tambahan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan ekstrem. Namun, baru-baru ini aksi Presiden Joko Widodo yang membagi-bagikan langsung bansos ke masyarakat bahkan di pinggir jalan menuai sorotan banyak pihak. Aksi bagi-bagi bansos tersebut juga tidak mengajak atau mengikutsertakan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang secara tupoksi berkewenangan atas penyelenggaraan dan penyaluran bansos.
Tindakan Presiden Joko Widodo tersebut dianggap menabrak norma-norma yang berlaku terkait penyaluran bansos. Bahkan, tindakan tersebut dinilai sangat kental dengan muatan politis karena berlangsung di tengah suasana pertarungan politik menjelang pemilu 2024. Sebagai implikasinya, penyaluran bansos di lapangan diberitakan tidak tepat sasaran dan didistribusikan secara tidak adil.
Kegelisahan Sosial
Karut-marut pembagian bansos yang melibatkan lembaga Kepresidenan memicu keprihatinan tersendiri di kalangan masyarakat. Bahkan, banyak kalangan aktivis dan organisasi masyarakat madani menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bansos. Mereka mendesak pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan investigasi menyeluruh dan mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan bansos.
Pemerintah dan sejumlah kalangan yang pro kegiatan Presiden Jokowi bagi-bagi bansos secara tegas menampik tuduhan tersebut. Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan bahwa bansos didistribusikan berdasarkan kriteria yang jelas dan tidak ada unsur politisasi di dalamnya. Pemerintah juga mengaku siap untuk bekerja sama dengan lembaga independen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran bansos.
Masyarakat pun berharap agar pemerintah dan lembaga terkait dapat segera menyelesaikan masalah ini dengan memberikan kejelasan dan kepastian kepada publik. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam penyaluran bansos, sehingga program ini benar-benar dapat membantu mereka yang membutuhkan tanpa ada ruang bagi manipulasi politik.
Bansos ideal
Bansos dalam bentuk bantuan langsung baik berupa sembako maupun cash (BLT) secara nilai nominal bantuan akumulatif berjumlah sangat besar. Namun, saat bansos didistribusikan ke masyarakat, maka nilai nominal bantuan per jiwa menjadi sangat kecil dan bahkan manfaat bantuannya bersifat sesaat. Penyaluran bansos model ini seperti halnya dengan membantu masyarakat dengan memberikan ikan bukan kail, sehingga sifat bantuannya tidak berkelanjutan (sustainable). Bansos yang sifatnya ‘sekali dapat langsung habis’ secara ekonomi jangka panjang tidak berdampak signifikan bagi kemaslahatan keluarga penerima. Hal demikian tentunya berbeda dengan bansos berupa program dana bergulir seperti yang pernah diselenggarakan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.06/2018 tentang Penentuan Nilai Bersih Investasi Jangka Panjang Nonpermanen Dalam Bentuk Tagihan, Dana Bergulir adalah dana yang dipinjamkan untuk dikelola dan digulirkan kepada masyarakat oleh Badan Layanan Umum yang bertujuan meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya. Mekanismenya adalah dengan memberikan suku bunga yang lebih murah dibandingkan lembaga keuangan komersial atau memberikan pinjaman tanpa disertai agunan (untuk pembiayaan kelompok).
Belajar dari Grameen Bank
Berbicara mengenai dana bergulir yang efektif, seorang ekonom terkemuka dan penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006 asal Bangladesh, Muhammad Yunus, diakui mempunyai metode yang jenius untuk memberdayakan masyarakat miskin melalui program Grameen Bank. Program Grameen Bank ini memiliki fungsi utama sebagai microfinance bank untuk memberikan layanan microcredit kepada masyarakat miskin. Bukan seperti praktik perbankan pada umumnya, Grameen Bank justru beroperasi di desa, menyasar nasabah yang miskin, khususnya kalangan perempuan.
Muhammad Yunus merancang agar setiap nasabah terlebih dulu membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang. Anggota-anggota kelompok tidak dapat meminjam secara bersamaan, tetapi harus secara bergiliran. Anggota lain hanya bisa meminjam jika anggota yang meminjam lebih dulu telah dapat membuktikan kedisiplinan dan kejujurannya dalam membayar cicilan. Setiap pinjaman pertama tersebut hanya boleh dipergunakan untuk tujuan produktif yang mendukung usaha. Syarat tersebut diberlakukan agar masyarakat dapat memutar usahanya menjadi lebih baik lagi.
Berkat mekanisme seperti ini, tingkat pengembalian kredit mikro yang disalurkan pun terbukti konsisten sangat tinggi, yaitu sekitar 95%. Program ini berhasil mensejahteraan masyarakat untuk mampu mandiri secara ekonomi, khususnya perempuan dalam mengelola keuangan keluarganya.
Bantuan Kail
Belajar dari program dana bergulir pada masa kepemimpinan Presiden SBY dan juga metode bantuan sosial ala Grameen Bank, pemerintah saat ini setidaknya dapat mempertimbangkan penyelenggaraan program bansos dalam bentuk bantuan dana bergulir.
Belajar dari kesuksesan Grameen Bank, program bantuan model ini dirancang secara khusus melibatkan peranan kaum ibu dalam pengelolaan dana bantuan untuk pemberdayaan ekonomi keluarga melalui kegiatan wirausaha. Pelibatan kaum ibu sebagai pengelola dana bantuan sangat penting mengingat kaum ibu diakui keberadaan dan kepiawaiannya sebagai manajer yang baik (good manager) dalam rumah tangga.
Berbeda dengan bantuan yang bersifat langsung, bantuan yang sifatnya bergulir tentunya memberikan rasa tanggung jawab tersendiri di pihak masyarakat penerima untuk dapat mengelola dana bantuan secara bijak dan mandiri. Karena sifatnya bergulir, dana pemerintah yang dikucurkan untuk program dana bergulir akan bersifat sustainable (berkelanjutan) dan lebih luas daya jangkaunya, serta tidak menguras APBN. Namun, program bantuan dana bergulir ini tetap memerlukan dukungan Pemerintah dalam bentuk pengadaan program pelatihan kewirausahaan dan pendampingan secara intens bagi masyarakat penerima bantuan.
Pendekatan Solutif
Mekanisme pengelolaan dana ini harus diatur dengan ketat, termasuk pelaporan penggunaan dana secara berkala dan pemantauan dari pihak berwenang. Audit independen juga harus dilibatkan dan dilakukan secara rutin untuk memastikan penggunaan dana sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Pemerintah dapat membentuk kelompok-kelompok masyarakat atau forum yang terdiri dari perwakilan ibu-ibu di setiap tingkat wilayah yang berperan untuk memantau penyaluran bansos, memberikan masukan, dan melaporkan dugaan penyalahgunaan.
Pendekatan solutif terkait program bansos tentunya akan membutuhkan kerja sama dan sinergitas antar pemangku kepentingan terkait (relevant stakeholders) khususnya Pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait yang dilibatkan dalam program bantuan sosial ini. Melalui pendekatan yang berbasis transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat khususnya pelibatan kaum ibu sebagai manajer pengelolaan dana, polemik bansos diharapkan dapat dihindari. Di samping itu, program bantuan sosial dimaksud dapat berjalan sesuai amanah dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat penerimanya. Salam "Rakyat Sehat, Negara Kuat".
(zik)