Dua Warga Sultra Uji UU Ketenagakerjaan tentang Tenaga Kerja Asing

Rabu, 12 Agustus 2020 - 20:18 WIB
loading...
Dua Warga Sultra Uji UU Ketenagakerjaan tentang Tenaga Kerja Asing
Ketua Panel Hakim Perkara nomor: 66/PUU-XVIII/2020, hakim konstitusi Saldi Isra. Foto/YouTube/Mahkamah Konstitusi
A A A
JAKARTA - Dua orang warga Sulawesi Tenggara (Sultra) Slamet Iswanto dan Maul Gani menggugat UU Ketenagakerjaan lebih khusus tentang penempatan atau dipekerjakannya tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia.

Slamet Iswanto sebagai pemohon I dan Maul Gani sebagai pemohon II mengajukan gugatan uji materiil terhadap Pasal 42 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 42 ayat (4) UU tersebut berbunyi, "Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu."

Secara spesifik, frasa yang diujikan adalah "jabatan tertentu" dan "waktu tertentu". Uji materiil yang dimohonkan Slamet dan Maul teregister dengan perkara nomor: 66/PUU-XVIII/2020. Perkara ini ditangani oleh hakim panel Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Saldi Isra dengan anggota Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dan Suhartoyo.( )

Persidangan pemeriksaan pertama berlangsung di Gedung MK, Rabu (12/8/2020). Slamet Iswanto dan Maul Gani dengan didampingi kuasa hukumnya, Erdin Tahir dkk mengikuti langsung persidangan kali ini.

Dalam permohonan, Slamet Iswanto dan Maul Gani menyatakan hak konstitusionalnya telah dirugikan atas berlakunya Pasal UU a quo. Bagi Slamet dan Maul, pasal a quo multitafsir sehingga menghadirkan ketidakpastian hukum dan rentan dengan ketidakadilan bagi pemohon yang berakibat langsung terhadap terancamnya hak untuk bekerja (right to work). Apalagi saat setiap tahun jumlah tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke Indonesia semakin bertambah.

"Berlakunya ketentuan dalam Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yakni frasa 'jabatan tertentu' dan frasa 'waktu tertentu' karena multitafsir dan erat dengan diskriminatif terhadap pemohon selaku tenaga kerja lokal," kata Erdin Tahir, kuasa hukum pemohon, di hadapan hakim panel, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (12/8/2020).

Dia memaparkan, dengan berlakunya ketentuan pasal a quo mengakibatkan tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan secara spesifik kategori jabatan tertentu atau jenis-jenis jabatan apa saja yang dapat diduduki oleh TKA. Dengan begitu ketentuan pasal a quo memberikan ruang kepada pemerintah dalam hal ini menteri untuk memaknainya secara bebas sesuai dengan tafsiran sendiri atau menentukan sendiri jabatan-jabatan tertentu apa saja yang dapat diduduki oleh TKA, serta juga tidak menentukan batasan waktu bagi TKA bekerja di Indonesia.

"Bahwa ketentuan terkait kategorisasi apa-apa saja atau jenis-jenis jabatan tertentu bagaimana yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, serta ketentuan waktu tertentu diberikan kewenangan kepada menteri untuk mengaturnya," katanya. ( )

Frasa "jabatan tertentu" dalam pasal tersebut tidak terdapat pemaknaan yang jelas dan pasti, baik pada bagian penjelasan Pasal 42 ayat (4) tersebut maupun pada bagian batang tubuh pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan. Menurut pemohon, jabatan-jabatan tertentu yang diperuntukkan bagi TKA sebagaimana dimuat dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor: 228 Tahun 2019 sebenarnya diisi oleh para pemohon.

Erdin membeberkan, untuk frasa "waktu tertentu" tidak ada kejelasan sampai kapan batas waktu bagi TKA bekerja di Indonesia jika merujuk UU Ketenagakerjaan. Karenanya, tutur dia, jika tidak diatur jangka waktunya maka jelas merugikan kepentingan para pemohon untuk memiliki kesempatan mendapatkan pekerjaan.

"Sehingga frasa 'jabatan tertentu' dan frasa 'waktu tertentu' bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945," kata Erdin.

Dia melanjutkan, ada 12 alasan permohonan diajukan yang dibagi pada dua item. Pertama, frasa "jabatan tertentu" pada a quo bersifat multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar hak untuk bekerja sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, dengan enam alasan. Kedua, frasa "waktu tertentu" pada pasal a quo bersifat multitafsir tidak memberikan kejelasan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, dengan enam alasan.

Pada bagian petitum, Erdin menyatakan, ada empat hal yang dimohonkan ke MK untuk diputuskan. Satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan frasa "jabatan tertentu" dalam Pasal 42 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang "untuk kategori jabatan yang diperuntukan bagi tenaga kerja asing yang memiliki keahlian dan keterampilan yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia, dan tidak diperuntukan kepada tenaga kerja asing sebagai pekerja kasar".( )

Tiga, menyatakan frasa "waktu tertentu" dalam Pasal 42 ayat (4) UU Keterbukaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang dimaknai "untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun". Empat, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

"Atau apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ucap Erdin.

Atas permohonan uji materiil ini, hakim panel memberikan beberapa masukan. Hakim konstitusi Saldi Isra menyoroti petitum. Saldi mengatakan, para pemohon meminta sesuatu yang berbeda dengan yang dijelaskan sebelumnya pada bagian alasan permohonan. Saldi lantas menyoroti kedudukan hukum para pemohon. Saldi menyarankan agar para pemohon untuk menjelaskan lebih detail tentang jumlah TKA yang dipersoalkan.

"Mestinya hakim diberikan perspektif masuknya sekian ribu tenaga kerja asing dan sebagainya. Jadi orang bisa menghubungkan, lalu diperiksa bukti-buktinya. Agar para Pemohon memiliki kedudukan hukum, perlu ada penjelasan yang akurat soal tenaga kerja asing. Kalau Anda tidak bisa menjelaskan kerugian hak konstitusional, Anda dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan," kata Saldi.

Hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menyoroti teknis penulisan permohonan para pemohon. Daniel mengungkapkan, karena pemohon lebih dari satu, maka mestinya dituliskan para pemohon. Dari sisi petitum, mestinya para pemohon lebih mencermati bahwa penulisan UU harus disertai lembaran negara dan tambahan lembaran negara. Pada aspek kedudukan hukum para pemohon, Daniel meminta para pemohon yang merupakan lulusan S1 agar melampirkan ijazah dan kartu kerja untuk memperkuat argumentasi para pemohon.

Hakim konstitusi Suhartoyo menilai, sistematika permohonan para pemohon sudah cukup baik meskipun baru pertama kali berperkara di MK. Hanya, kata Suhartoyo, substansi permohonan mestinya dipadatkan dan tidak terjadi pengulangan. Kemudian untuk kewenangan MK, menurut Suhartoyo, rujukannya sudah cukup bagus.

"Sedangkan untuk kedudukan hukum, perlu dijelaskan lagi keterkaitannya dengan kerugian konstitusional para pemohon dengan berlakunya norma yang diujikan ke MK," kata Suhartoyo.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4444 seconds (0.1#10.140)