Direktur Juru Kampanye TPN Sebut Kekuasaan Sedang Tunjukkan Kepongahan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Juru Kampanye Tim Pemenangan Nasional ( TPN) Ganjar-Mahfud , Choirul Anam menilai fenomena politik menjelang Pemilu 2024, banyak ditandai dengan maraknya penyalahgunaan sebagai wujud dari kekuasaan yang pongah atau sombong.
Kepongahan itu diperlihatkan ketika para mahasiswa, masyarakat sipil, bahkan guru-guru di sejumlah universitas besar bergerak kemana-mana. Kekuasaan tidak memperlihatkan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan itu. Namun, malah memperlihatkan siapa yang berkuasa di negeri ini.
"Ini teman-teman mahasiswa dan masyarakat sipil sudah bergerak ke mana-mana, tapi nggak ada berhentinya, eh malah menunjukkan siapa yang berkuasa di negeri ini," katanya Cak Anam, sapaan akrabnya di Media Lounge TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Contoh kepongahan itu, kata Anam, bisa dilihat melalui instrumen bantuan sosial (bansos), yang seharusnya dibagikan karena kebijakan negara dengan infrastruktur yang ada, justru dibagi-bagi menggunakan kekuasaan yang pongah. Kekuasaan yang pongah ini sampai masuk ke desa-desa bahkan di depan Istana.
Menurut Anam, apa yang dilakukan bukan sekadar membagi-bagikan bansos, tapi tindakan tersebut menunjukkan kekuasaan ingin memberangus tatanan, tata kelola pemerintahan yang baik, merusak birokrasi. "Birokrat yang kritis diancam-ancam, ayo netral, ayo netral, tapi dia sendiri tidak nentral," tegas Anam.
Fenomena inilah yang menurut Anam akhirnya ditangkap para guru besar. Melihat sejarah gerakan di negara-negara lain, seperti Amerika Latin, jika mahasiswa sudah bergandengan dengan guru-guru besar, maka harus hati-hati.
"Bagi kami sikap para guru besar, mahasiswa, masyarakat sipil tidak sekadar menyoalkan etika, tapi sedang memperingatkan secara keras, bahwa tata kelola negara ini jalannya sedang salah. Bahasa yang paling konkret, apa salahnya, pongah kekuasaannya, atau bahasa kerennya totaliter kekuasaannya," kata mantan Komisioner Komnas HAM ini.
Jika membaca kisah-kisah kuno zaman kerajaan, kata Anam, para cendekiawan dianggap orang suci. Jika orang suci sudah bersabda, yang disentuh bukan hanya hati nuraninya, bukan pikiran-pikiran jernih semua orang, tapi juga energinya untuk bergerak.
Karena itu, Anam meminta kepada seluruh pihak untuk mendengarkan suara para cendekia, khususnya kalangan mahasiswa. Jika sebelumnya berdiri sendiri, bergerak sendiri kini para guru besar sudah mengajak bersama-sama.
"Ayo kita inisiasi satu penyelamatan negara biar negara ini tidak gagal menuju negara demokratis. Yang paling konkret adalah gunakan hak Anda untuk memilih dengan basis seruan para cendekia, agar apa, agar kekuasaan yang pongah ini tidak berlangsung terus-menerus," katanya.
Kepongahan itu diperlihatkan ketika para mahasiswa, masyarakat sipil, bahkan guru-guru di sejumlah universitas besar bergerak kemana-mana. Kekuasaan tidak memperlihatkan untuk berhenti menyalahgunakan kekuasaan itu. Namun, malah memperlihatkan siapa yang berkuasa di negeri ini.
"Ini teman-teman mahasiswa dan masyarakat sipil sudah bergerak ke mana-mana, tapi nggak ada berhentinya, eh malah menunjukkan siapa yang berkuasa di negeri ini," katanya Cak Anam, sapaan akrabnya di Media Lounge TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Senin (5/2/2024).
Contoh kepongahan itu, kata Anam, bisa dilihat melalui instrumen bantuan sosial (bansos), yang seharusnya dibagikan karena kebijakan negara dengan infrastruktur yang ada, justru dibagi-bagi menggunakan kekuasaan yang pongah. Kekuasaan yang pongah ini sampai masuk ke desa-desa bahkan di depan Istana.
Menurut Anam, apa yang dilakukan bukan sekadar membagi-bagikan bansos, tapi tindakan tersebut menunjukkan kekuasaan ingin memberangus tatanan, tata kelola pemerintahan yang baik, merusak birokrasi. "Birokrat yang kritis diancam-ancam, ayo netral, ayo netral, tapi dia sendiri tidak nentral," tegas Anam.
Fenomena inilah yang menurut Anam akhirnya ditangkap para guru besar. Melihat sejarah gerakan di negara-negara lain, seperti Amerika Latin, jika mahasiswa sudah bergandengan dengan guru-guru besar, maka harus hati-hati.
"Bagi kami sikap para guru besar, mahasiswa, masyarakat sipil tidak sekadar menyoalkan etika, tapi sedang memperingatkan secara keras, bahwa tata kelola negara ini jalannya sedang salah. Bahasa yang paling konkret, apa salahnya, pongah kekuasaannya, atau bahasa kerennya totaliter kekuasaannya," kata mantan Komisioner Komnas HAM ini.
Jika membaca kisah-kisah kuno zaman kerajaan, kata Anam, para cendekiawan dianggap orang suci. Jika orang suci sudah bersabda, yang disentuh bukan hanya hati nuraninya, bukan pikiran-pikiran jernih semua orang, tapi juga energinya untuk bergerak.
Karena itu, Anam meminta kepada seluruh pihak untuk mendengarkan suara para cendekia, khususnya kalangan mahasiswa. Jika sebelumnya berdiri sendiri, bergerak sendiri kini para guru besar sudah mengajak bersama-sama.
"Ayo kita inisiasi satu penyelamatan negara biar negara ini tidak gagal menuju negara demokratis. Yang paling konkret adalah gunakan hak Anda untuk memilih dengan basis seruan para cendekia, agar apa, agar kekuasaan yang pongah ini tidak berlangsung terus-menerus," katanya.
(abd)