Jokowi Panen Kritik, Istana: Presiden-presiden Sebelumnya juga Ikut Berkampanye
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) panen kritik usai menyebut presiden boleh berkampanye dan memihak. Pihak Istana Kepresidenan pun menganggap pernyataan Jokowi tersebut bukan hal yang baru.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktik politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Ari pun memberikan contoh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ikut berkampanye untuk memenangkan partai politik masing-masing.
"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.
Selain itu, kata Ari, presiden juga menegaskan bahwa semua pejabat publik atau elite politik harus berpegang pada aturan main. “Kalau aturan memperbolehkan, silakan dijalankan. Kalau aturan melarang maka tidak boleh dilakukan. Itu artinya, presiden menegaskan kembali bahwa setiap pejabat publik/pejabat politik harus mengikuti atau patuh pada aturan main dalan berdemokrasi," ungkapnya.
Diketahui sebelumnya, Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak Presiden Jokowi menarik kembali pernyataannya tentang presiden boleh ikut berkampanye dan berpihak dalam kontestasi Pemilu 2024. Perludem memandang, pernyataan Presiden tersebut dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenar bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di Pemilu 2024.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona mengkritisi pernyataan Presiden Jokowi soal kepala negara boleh ikut kampanye dan memihak. Yance menegaskan bahwa presiden berbakti pada nusa dan bangsa bukan untuk anak dan keluarga.
“Sumpah jabatan Presiden agar presiden berbakti kepada nusa dan bangsa, bukan untuk anak dan keluarganya,” kata Yance saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Rabu (24/1/2024).
Yance mengatakan bahwa tidak bisa memisahkan presiden sebagai pejabat negara dan aktor politik. "Sebagai seorang presiden, harus terus diingatkan bahwa sumpah jabatannya untuk berlaku adil dan mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa," ucap Yance.
“Sekali lagi, apa yang disampaikan Presiden Jokowi bukan hal yang baru. Koridor aturan terkait hal ini sudah ada di UU Pemilu. Demikian pula dengan praktik politiknya juga bisa dicek dalam sejarah pemilu setelah reformasi," kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana dalam keterangannya, Kamis (25/1/2024).
Ari pun memberikan contoh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga ikut berkampanye untuk memenangkan partai politik masing-masing.
"Presiden-presiden sebelumnya, mulai Presiden ke-5 dan ke-6, yang juga memiliki preferensi politik yang jelas dengan partai politik yang didukungnya dan ikut berkampanye untuk memenangkan partai yang didukungnya," jelasnya.
Selain itu, kata Ari, presiden juga menegaskan bahwa semua pejabat publik atau elite politik harus berpegang pada aturan main. “Kalau aturan memperbolehkan, silakan dijalankan. Kalau aturan melarang maka tidak boleh dilakukan. Itu artinya, presiden menegaskan kembali bahwa setiap pejabat publik/pejabat politik harus mengikuti atau patuh pada aturan main dalan berdemokrasi," ungkapnya.
Baca Juga
Diketahui sebelumnya, Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mendesak Presiden Jokowi menarik kembali pernyataannya tentang presiden boleh ikut berkampanye dan berpihak dalam kontestasi Pemilu 2024. Perludem memandang, pernyataan Presiden tersebut dangkal, dan berpotensi akan menjadi pembenar bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di Pemilu 2024.
Baca Juga
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona mengkritisi pernyataan Presiden Jokowi soal kepala negara boleh ikut kampanye dan memihak. Yance menegaskan bahwa presiden berbakti pada nusa dan bangsa bukan untuk anak dan keluarga.
“Sumpah jabatan Presiden agar presiden berbakti kepada nusa dan bangsa, bukan untuk anak dan keluarganya,” kata Yance saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Rabu (24/1/2024).
Yance mengatakan bahwa tidak bisa memisahkan presiden sebagai pejabat negara dan aktor politik. "Sebagai seorang presiden, harus terus diingatkan bahwa sumpah jabatannya untuk berlaku adil dan mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa," ucap Yance.
(rca)