Ketua MPR Bamsoet Dorong Pemerintah Kaji Ulang soal Pajak Hiburan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendorong pemerintah mempertimbangkan secara cermat dampak dari kenaikan pajak hiburan terhadap industri hiburan.
Hal ini dikatakan Bamsoet usai menerima pemilik Phantom, Rudy Salim pada Minggu 21 Januari 2024. "Pemerintah dan DPR diharapkan untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dengan melibatkan semua pihak terkait," kata Bamsoet dalam keterangannya, Senin (22/1/2024).
"Suara para pelaku usaha hiburan perlu didengar dengan baik dalam proses pengambilan keputusan ini. Sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang ada," tambahnya.
Menurut Bamsoet, perlu dilakukan kembali kajian mendalam dan dialog yang lebih intensif dengan pelaku usaha hiburan guna mencari solusi terbaik yang dapat menjaga keseimbangan. "Antara kepentingan fiskal negara dan kelangsungan usaha para pengusaha hiburan," ujarnya.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) Pasal 58 Ayat 2 menyebutkan, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Kenaikan tersebut kemudian memunculkan sejumlah kontroversi dari para pelaku usaha hiburan. "Kenaikan pajak hiburan sebesar ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap industri hiburan," ungkap Bamsoet.
"Selain memberatkan para pelaku usaha, kenaikan pajak sebesar ini berpotensi menimbulkan dampak negatif. Seperti peningkatan harga tiket masuk, penurunan daya beli masyarakat, dan bahkan berdampak pada kelangsungan usaha para pelaku industri hiburan," sambungnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, dibanding negara lain pajak hiburan di Indonesia tergolong tinggi. Dicontohkan, Thailand menerapkan pajak hiburan hanya 5 persen demi menarik wisatawan.
"Kini Thailand merupakan negara ASEAN yang paling ramai akan wisatawan mancanegara. Pajak hiburan Indonesia yang melonjak tinggi ke tingkat minimum 40 persen merupakan posisi teratas dibandingkan Singapura sebesar 15 persen, Malaysia yang berada di angka 10 persen, dan Amerika Serikat (Chicago) di angka 9 persen. Dikhawatirkan tingginya pajak hiburan di Indonesia, bisa membuat daya tarik Indonesia menurun dibandingkan negara-negara tetangga," pungkas Bamsoet.
Hal ini dikatakan Bamsoet usai menerima pemilik Phantom, Rudy Salim pada Minggu 21 Januari 2024. "Pemerintah dan DPR diharapkan untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dengan melibatkan semua pihak terkait," kata Bamsoet dalam keterangannya, Senin (22/1/2024).
"Suara para pelaku usaha hiburan perlu didengar dengan baik dalam proses pengambilan keputusan ini. Sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang ada," tambahnya.
Menurut Bamsoet, perlu dilakukan kembali kajian mendalam dan dialog yang lebih intensif dengan pelaku usaha hiburan guna mencari solusi terbaik yang dapat menjaga keseimbangan. "Antara kepentingan fiskal negara dan kelangsungan usaha para pengusaha hiburan," ujarnya.
Baca Juga
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) Pasal 58 Ayat 2 menyebutkan, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Kenaikan tersebut kemudian memunculkan sejumlah kontroversi dari para pelaku usaha hiburan. "Kenaikan pajak hiburan sebesar ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap industri hiburan," ungkap Bamsoet.
"Selain memberatkan para pelaku usaha, kenaikan pajak sebesar ini berpotensi menimbulkan dampak negatif. Seperti peningkatan harga tiket masuk, penurunan daya beli masyarakat, dan bahkan berdampak pada kelangsungan usaha para pelaku industri hiburan," sambungnya.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini memaparkan, dibanding negara lain pajak hiburan di Indonesia tergolong tinggi. Dicontohkan, Thailand menerapkan pajak hiburan hanya 5 persen demi menarik wisatawan.
"Kini Thailand merupakan negara ASEAN yang paling ramai akan wisatawan mancanegara. Pajak hiburan Indonesia yang melonjak tinggi ke tingkat minimum 40 persen merupakan posisi teratas dibandingkan Singapura sebesar 15 persen, Malaysia yang berada di angka 10 persen, dan Amerika Serikat (Chicago) di angka 9 persen. Dikhawatirkan tingginya pajak hiburan di Indonesia, bisa membuat daya tarik Indonesia menurun dibandingkan negara-negara tetangga," pungkas Bamsoet.