Perempuan Harus Jadi Penggerak Pembangunan Keluarga dan Masyarakat

Sabtu, 28 April 2018 - 10:36 WIB
Perempuan Harus Jadi Penggerak Pembangunan Keluarga dan Masyarakat
Perempuan Harus Jadi Penggerak Pembangunan Keluarga dan Masyarakat
A A A
JAKARTA - Kaum perempuan harus bisa menjadi pelopor atau motor penggerak pembangunan di lingkungan keluarga dan juga masyarakat luas untuk mentransfer ilmu pengetahuannya demi kemajuan bangsa Indonesia.

Hal itu diungkapkan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Kamis 26 April 2018 di Jakarta. “Peran perempuan, baik di internal keluarga maupun di eksternal kalau yang bersangkutan katakan kariernya di luar rumah, perempuan sebagai istri, sebagai ibu tentu keluarga adalah nomor satu. Karena keluarga nomor satu fungsinya, peran pentingnya adalah bagaimana memberikan pendidikan, khususnya kalau punya putra-putri itu pada anak-anaknya, untuk membentengi keluarganya," tuturnya.

Menurut dia, kaum perempuan juga harus memberikan transfer pengetahuan, transfer nilai-nilai, transfer budaya bangsa Indonesia dan juga harus bisa mentransfer pengetahuan agama yang dianutnya. Itu semua harus diajarkan sejak kecil karena pada masa itu anak akan banyak mencontoh terhadap sikap ataupun perilaku orang tua.

“Orang tua harus memberikan tidak hanya pitutuh atau saran-saran, pembelajaran dan sebagainya, tapi adalah pembelajaran yang konkret. Itu harus ditunjukkan dari tutur kata dan perilaku kedua orang tua. Hubungan antara suami dan istri, bapak dan anak, ibu dan anak dan demikian juga bagaimana keluarga ini di tengah-tengah masyarakat di mana kita tinggal, itu penting sekali,” ujar perempuan kelahiran Blitar, 7 November 1958 ini. .

Dia berpendapat, pekerjaan untuk mencerahkan dan mengedukasi di lingkungan keluarga sendiri terutama terhadap anak-anak itu adalah utama, tidak hanya agama, tapi bagaimana kesantunan, sopan santun, etika dan sebagainya itu juga diajarkan sejak dini.

“Terutama pelajaran tentang kejujuran, pentingnya bagaimana mengelola integritas. Jadi kejujuran, menjadi orang yang amanah, menjadi orang yang mulia, yang baik membaikkan, mulia memuliakan itu kita ajarkan sejak awal kepada kita. Sehingga prinsip-prinsip hidup utama itu sudah dipegang teguh sejak awal oleh keluarganya,” ujarnya

Begitu juga bagi kaum perempuan yang melakukan karir di luar rumah. Kaum perempuan juga harus bisa ikut mengedukasi, mencerahkan, ikut bagaimana menyebarluaskan ilmu pengetahuan positif yang dimilikinya selain kepada keluarganya dan masyarakat sekitarnya.

Hal ini dikatakannya sekaligus untuk mengantisipasi agar kaum perempuan tidak mudah terpengaruh paham-paham radikal terorisme, termasuk juga masalah intoleransi. Tujuannya, agar lingkungan keluarganya dapat hidup sehat dan bermartabat.

“Apalagi sekarang dengan kemajuan teknologi yang sungguh luar biasa itu bisa memiliki dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif terutama masalah radikalisme, terorisme, intoleransi melalui dunia maya ini yang harus diantisipasi,” ujar peraih gelar MA bidang Ilmu Politik dari The Flinders University, Australia.

Agar paham-paham radikalisme terorisme dan juga masalah intoleransi tidak masuk dalam lingkungan sekitar, warga bangsa harus memahami bahwa di negara ini punya empat konsesus dasar bahwa landasan kita itu adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Sangat jelas bahwa Pancasila sebagai landasan falsafah hidup kita yang mana nilai-nilai dalam sila itu harus kita pahami, hayati, kita lakukan dan kita amalkan. Kita mengimplementasikan juga konstitusi kita, yaitu UUD 1945. Selain itu kita juga harus bagaimana menguatkan NKRI kita dan juga kita junjung tinggi Kebhinekaan kita, Bhineka Tunggal Ika. Unity in diversity, meskipun berbeda-beda kita satu juga,” ujarnya

Dengan empat konsensus dasar seperti itu, menurut dia, maka akan semakin kuat pemahaman masyarakat. Indonesia punya landasan, punya acuan, rujukan yang sangat jelas. Rasa memiliki bangsa dan negara sangat kuat.

“Karena dengan membangun, kita merasa memiliki negara kita, NKRI. Yang mana dapat membuat kita tidak gampang dipecah belah, tidak mudah untuk ditarik tarik ke arah yang keluar dari mainstream empat konsesus dasar tadi. Kita tetap adalah Pancasila, kita mengacu pada konstitusi, kita adalah NKRI dan kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu yang dicari bukan perbedaannya, tapi persamaannya. Jadi kalau pun beda itu wajar,” ujar wanita yang bisa disapa Wiwieq ini

Dia mengajak seluruh pihak lebih membumikan konsensus dasar tersebut. “Kita bangga memiliki empat konsensus dasar itu, dan ini yang harus kita aplikasikan, kita amalkan melalui banyak panutan-panutan, baik itu melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh birokrasi, tokoh politik, elite politik, elite birokrat, elite militer, pengusaha dan sebagainya,” ujarnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.8178 seconds (0.1#10.140)