Indonesia di Tengah Konflik Geopolitik, Begini Visi Otonomi Strategis Ganjar-Mahfud

Kamis, 11 Januari 2024 - 17:41 WIB
loading...
Indonesia di Tengah...
Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD kompak memakai jaket bomber ala pilot Top Gun saat menghadiri debat capres di Jakarta, Minggu (7/1/2023). FOTO/MPI/ALDHI CHANDRA
A A A
JAKARTA - Pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendorong gagasan otonomi strategis di tengah kondisi global yang tidak menentu akibat konflik geopolitik. Hal ini penting agar Indonesia tidak ikut terseret ke dalam konflik kepentingan antarnegara adidaya.

Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto mengatakan, Ganjar-Mahfud memaknai Bebas-Aktif adalah keleluasaan menentukan posisi yang 100% sejalan kepentingan nasional. Menurutnya, penguatan kapasitas nasional menjadi syarat kunci dalam mewujudkan otonomi strategis. Namun, kondisi terkini menunjukkan tren pelemahan kapasitas nasional untuk mendukung diplomasi yang efektif.

"Skor Indonesia dalam Asia Power Index yang dirilis Lowy Institute mengalami tren penurunan. Tahun 2019, Indonesia mencatatkan skor power sebesar 20,6. Tahun 2023, skor Indonesia turun menjadi 19,4," kata Andi Widjajanto dalam keterangannya, Kamis (11/1/2024).



Sementara itu, mantan Duta Besar Republik Indonesia Indonesia (Dubes RI) untuk Britania Raya, Irlandia, dan International Maritime Organization, Rizal Sukma mengatakan, Otonomi Strategis semestinya menjadi bagian integral dari prinsip Bebas-Aktif yang merupakan fondasi kebijakan luar negeri Indonesia.

"Selama ini, Bebas-Aktif banyak diterjemahkan sebagai netralitas, sehingga pemahaman itu perlu redefinisi," kata Rizal Sukma dalam keterangannya, Kamis (11/1/2024).

Diakuinya, Indonesia dikategorikan sebagai kekuatan menengah (middle power). Indonesia setidaknya harus mencatatkan skor 40 untuk menjadi kekuatan besar (major power) di kawasan. Ganjar-Mahfud akan mempercepat penguatan kapasitas nasional di segala dimensi agar Indonesia menjadi kekuatan maritim Indo-Pasifik, sebagai Garda Samudera (Guardian of the Seas) yang mampu menjalankan diplomasi maritim yang membawa manfaat secara konkret dan diakui global.

"Sebagai Garda Samudera, pelindungan kawasan maritim harus menjadi salah satu komitmen utama," kata Rizal Sukma.



Kekhawatiran terbesar yang muncul dari wilayah kemaritiman kawasan adalah sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Tiongkok dengan beberapa negara tetangga di ASEAN. Sebagai negara non-claimant, Indonesia akan terus berkiblat pada UNCLOS yang sudah mengatur regulasi luas kawasan bagi tiap-tiap negara berdaulat yang memiliki kawasan maritim.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2240 seconds (0.1#10.140)