Masih Adakah yang Tersisa dari Hukum?
loading...
A
A
A
Romli Atmasasmita
PERTANYAAN sinis penuh makna dalam judul tulisan ini mempertanyakan baik dari aspek teoritik maupun dari aspek praktik hukum. Aspek teoritik, hukum diajarkan sebagai suatu konsep nalar (pemikiran rasional) -minus naluri-, tentang peraturan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain yang diharapkan dapat memelihara keseimbangam hak dan kewajibannya sehingga tidak bertentangan dengan kepercayaan para pihak yang dilandaskan pada itikad baik (good faith atau te goeder trouw) yang telah dibangun bersama-sama.
Harapan hidup damai yang bertujuan untuk dan demi kesejahterasn pribadi dan sosial merupakan cita yang dilandaskan pada.kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Namun demikian, di dalam kenyataan (aspek praktikal) kehidupan hukum tidak terlepas dari pengaruh (tangan) kekuasaan. Idealisme hukum sering berlawanan dengan realisme hukum. Hukum tidak dapat ditegakkan lurus ke atas melainkan lebih tajam ke bawah, demikian ungkapan sinis masyarakat.
Hal yang pertama, idealisme hukum selalu bersikukuh pada pendapat bahwa hukum hasil produk pemerintah dan DPR (hukum tertulis). Lazimnya tertulis, harus menjadi panduan hidup manusia. Akan tetapi aliran realisme hukum berpendapat sebaliknya, bahwa hukum yang baik dan dapat dijadikan panduan manusia adalah hukum yang sesuai dengan pandangan yang berkembang dalam masyatakat. Hukum yang layak dan pantas untuk didiami. Menurut aliran realisme hukum, hukum tertulis yang baik dan benar adalah hukum yang lahir dari pandangan masyarakat tentang perbuatan tercela/tidak tercela.
Sejalan dengan aliran realisme hukum yang lahir pertengahan abad ke 19, aliran sosiologi hukum (sociological jurisprudence) berkembang di AS dan Inggris, telah mendominasi pemikiran hukum, terutama dalam praktik MA di sana. Bagaimana dengan aliran paham yang mengunggulkan hukum tertulis (positivisme hukum)? Aliran ini pada abad 20 dan 21 saat ini sudah terdiam-diam oleh paham realisme hukum yang telah menafikan aliran hukum alam tentang hukum, hukum bersifat eternal dan abadi.
Karakter hukum yang berpijak pada aliran realisme selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan lebih khusus mengenai fungsi dan peranannya dalam.maayarakat. Fungsi dan peranan hukum sejatinya adalah menempatkam manusia pada tempat yang layak dan pantas untuk didiami (alm. Mochtar Kusumaatmadja) dan sudah sepantasnya dikatakan bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (alm. Satjipto Rahardjo).
Namun dalam konteks kehidupan bangsa ini, hukum harus difungsikan untuk kemaslahatan kehidupan manusia yang berlandaskan Pancasila. Hukum yang difungsilan hanya sebagai suatu norma dan perilaku saja hanya merupakan “mesin birokrasi” tanpa nyawa tetapi karena di dalam hukum terkandung pandangan masyarakat tentang-nilai kehidupan manusia maka fungsi dan peranan hukum seharusnya bergeser dari sistem norma dan perilaku kepada suatu sistem nilai Pancasila yang merupakan satu-satunya sistem nilai bangsa yang berakar dari sejarah bangkitnya Indonesia Merdeka lepas dari masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Hukum berdasarkan Nilai Pancasila ini dituntut menciptakan kepastian hukum yang adil yang dapat menimbulkan perdamaian yang jauh lebih utama dari penghukuman dan pembalasan. Obsesi pada tujuan pemidanaan/penghukuman yang telah dianut sejak Tahun 1818 termasuk di Indonesia sejak Tahun 1946, telah kehilangan pengaruhnya ketika umat manusia se-dunia menyadari bahwa setiap orang berhak atas jaminan dan perlindungan sebagai manusia: hak hidup, hak sosial dan hak ekonomi secaras setara tanpa perbedaan atas dasar suku, etnis, dan agama.
Indonesia telah meratifikasi Prinsip Universal Perlindungan HAM sejak tahun 2005 dan telah diwujudkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, di dalam praktik hukum keseharian tidak terlepas dan fakta yang sama terjadi di negara-negara lain bahwa jaminan dan perlindungan dimaksud lebih pada “macan kertas” belaka daripada realitas yang dirasakan setiap individu dalam kehidupan masyarakat.
Bagi Indonesia, sejak era reformasi 1998 telah diberlakukan lebih dari 100 undang-undang dan peraturan daerah, akan tetapi pada hakikatnya tidak efektif apalagi efisien bagi kehidupan kita karena penyebab tunggal daripadanya adalah masalah akhlak/kesusilaan yang masih rendah khususnya di kalangan aparatur negara/ASN terkhusus aparatur penegak hukum. Selain penyebab tersebut, masyarakat telah bersikap apatis dan individualis terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat disertai semakin berkurangnya tanggung jawab sosial untuk bersama-sama membangun sistem hukum yang kita sama-sama dambakan sejak duduk di semester pertama Fakultas Hukum.
Kurikulum pendidikan hukum salama tujuh semester atau kurang lebih 4 tahun 5 bulan tidak memiliki mata kuliah pendidikan akhlak/kesusilaan berhukum sehingga daya nalar yang semakin meningkat sedangkan perasaan sanubari/nurani kemanusiaan terhadap sesamanya dalam hukum semakin menurun. Tantangan pendidik hukum tersebut adalah nyata dan sepatutnya ditanggapi dengan membangun keseimbangan antara nalar (rasio) dan nurani (rasa) di dalam mempelajari hukum(baca norma) dan seharusnya juga dipelajari nilai-nilai yang terkandung di balik setiap norma undang-undang termasuk Undang-Undang Hukum Pidana.
Berangkat dari pernyataan ini, adalah benar dan tepat kiranya pendapat Alm Roeslan Saleh, ahli hukum/Guru Besar Hukum yang mengemukakan bahwa hukum terkhusus hukum pidana adalah masalah pergulatan kemanusiaan. Tentu mengandung makna kemanusiaan yang sangat dalam dan pendorong pemikiran serta sikap kita termasuk aparatur ASN dan penegak hukum untuk merenungkan, memahami, dan melaksanakannya dalam kenyataan masyarakat.
PERTANYAAN sinis penuh makna dalam judul tulisan ini mempertanyakan baik dari aspek teoritik maupun dari aspek praktik hukum. Aspek teoritik, hukum diajarkan sebagai suatu konsep nalar (pemikiran rasional) -minus naluri-, tentang peraturan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain yang diharapkan dapat memelihara keseimbangam hak dan kewajibannya sehingga tidak bertentangan dengan kepercayaan para pihak yang dilandaskan pada itikad baik (good faith atau te goeder trouw) yang telah dibangun bersama-sama.
Harapan hidup damai yang bertujuan untuk dan demi kesejahterasn pribadi dan sosial merupakan cita yang dilandaskan pada.kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Namun demikian, di dalam kenyataan (aspek praktikal) kehidupan hukum tidak terlepas dari pengaruh (tangan) kekuasaan. Idealisme hukum sering berlawanan dengan realisme hukum. Hukum tidak dapat ditegakkan lurus ke atas melainkan lebih tajam ke bawah, demikian ungkapan sinis masyarakat.
Hal yang pertama, idealisme hukum selalu bersikukuh pada pendapat bahwa hukum hasil produk pemerintah dan DPR (hukum tertulis). Lazimnya tertulis, harus menjadi panduan hidup manusia. Akan tetapi aliran realisme hukum berpendapat sebaliknya, bahwa hukum yang baik dan dapat dijadikan panduan manusia adalah hukum yang sesuai dengan pandangan yang berkembang dalam masyatakat. Hukum yang layak dan pantas untuk didiami. Menurut aliran realisme hukum, hukum tertulis yang baik dan benar adalah hukum yang lahir dari pandangan masyarakat tentang perbuatan tercela/tidak tercela.
Sejalan dengan aliran realisme hukum yang lahir pertengahan abad ke 19, aliran sosiologi hukum (sociological jurisprudence) berkembang di AS dan Inggris, telah mendominasi pemikiran hukum, terutama dalam praktik MA di sana. Bagaimana dengan aliran paham yang mengunggulkan hukum tertulis (positivisme hukum)? Aliran ini pada abad 20 dan 21 saat ini sudah terdiam-diam oleh paham realisme hukum yang telah menafikan aliran hukum alam tentang hukum, hukum bersifat eternal dan abadi.
Karakter hukum yang berpijak pada aliran realisme selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan pandangan masyarakat tentang kesusilaan dan lebih khusus mengenai fungsi dan peranannya dalam.maayarakat. Fungsi dan peranan hukum sejatinya adalah menempatkam manusia pada tempat yang layak dan pantas untuk didiami (alm. Mochtar Kusumaatmadja) dan sudah sepantasnya dikatakan bahwa hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (alm. Satjipto Rahardjo).
Namun dalam konteks kehidupan bangsa ini, hukum harus difungsikan untuk kemaslahatan kehidupan manusia yang berlandaskan Pancasila. Hukum yang difungsilan hanya sebagai suatu norma dan perilaku saja hanya merupakan “mesin birokrasi” tanpa nyawa tetapi karena di dalam hukum terkandung pandangan masyarakat tentang-nilai kehidupan manusia maka fungsi dan peranan hukum seharusnya bergeser dari sistem norma dan perilaku kepada suatu sistem nilai Pancasila yang merupakan satu-satunya sistem nilai bangsa yang berakar dari sejarah bangkitnya Indonesia Merdeka lepas dari masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Hukum berdasarkan Nilai Pancasila ini dituntut menciptakan kepastian hukum yang adil yang dapat menimbulkan perdamaian yang jauh lebih utama dari penghukuman dan pembalasan. Obsesi pada tujuan pemidanaan/penghukuman yang telah dianut sejak Tahun 1818 termasuk di Indonesia sejak Tahun 1946, telah kehilangan pengaruhnya ketika umat manusia se-dunia menyadari bahwa setiap orang berhak atas jaminan dan perlindungan sebagai manusia: hak hidup, hak sosial dan hak ekonomi secaras setara tanpa perbedaan atas dasar suku, etnis, dan agama.
Indonesia telah meratifikasi Prinsip Universal Perlindungan HAM sejak tahun 2005 dan telah diwujudkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Namun, di dalam praktik hukum keseharian tidak terlepas dan fakta yang sama terjadi di negara-negara lain bahwa jaminan dan perlindungan dimaksud lebih pada “macan kertas” belaka daripada realitas yang dirasakan setiap individu dalam kehidupan masyarakat.
Bagi Indonesia, sejak era reformasi 1998 telah diberlakukan lebih dari 100 undang-undang dan peraturan daerah, akan tetapi pada hakikatnya tidak efektif apalagi efisien bagi kehidupan kita karena penyebab tunggal daripadanya adalah masalah akhlak/kesusilaan yang masih rendah khususnya di kalangan aparatur negara/ASN terkhusus aparatur penegak hukum. Selain penyebab tersebut, masyarakat telah bersikap apatis dan individualis terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat disertai semakin berkurangnya tanggung jawab sosial untuk bersama-sama membangun sistem hukum yang kita sama-sama dambakan sejak duduk di semester pertama Fakultas Hukum.
Kurikulum pendidikan hukum salama tujuh semester atau kurang lebih 4 tahun 5 bulan tidak memiliki mata kuliah pendidikan akhlak/kesusilaan berhukum sehingga daya nalar yang semakin meningkat sedangkan perasaan sanubari/nurani kemanusiaan terhadap sesamanya dalam hukum semakin menurun. Tantangan pendidik hukum tersebut adalah nyata dan sepatutnya ditanggapi dengan membangun keseimbangan antara nalar (rasio) dan nurani (rasa) di dalam mempelajari hukum(baca norma) dan seharusnya juga dipelajari nilai-nilai yang terkandung di balik setiap norma undang-undang termasuk Undang-Undang Hukum Pidana.
Berangkat dari pernyataan ini, adalah benar dan tepat kiranya pendapat Alm Roeslan Saleh, ahli hukum/Guru Besar Hukum yang mengemukakan bahwa hukum terkhusus hukum pidana adalah masalah pergulatan kemanusiaan. Tentu mengandung makna kemanusiaan yang sangat dalam dan pendorong pemikiran serta sikap kita termasuk aparatur ASN dan penegak hukum untuk merenungkan, memahami, dan melaksanakannya dalam kenyataan masyarakat.
(zik)