Pengamat: Politisasi Bansos untuk Menarik Simpati Jelas Strategi Politik Tak Beretika
loading...
A
A
A
JAKARTA - Maraknya aksi politisasi bantuan sosial (bansos) oleh elite politik untuk mendulang simpati dinilai tidak memiliki etika. Sebab bansos merupakan kewajiban negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menanggapi aksi Menteri Perdagangan (Mendag) sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menyebut bansos merupakan program Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Terkait dengan etika ya ini merupakan kemunduran demokrasi dan menunjukkan politik tuna adab," tegas Neni, Kamis (4/1/2024).
Menurutnya, penyerahan bantuan ketika masa tahapan kampanye berlangsung ini menjadi rawan untuk kepentingan politik dan pemenangan kandidat. Neni menyesalkan adanya sekelompok orang mempergunakan bansos sebagai ajang mendulang simpati dan suara di masa kampanye.
Padahal bansos bukan milik perorangan melainkan program pemerintah. Tapi, bansos di-setting sedemikian rupa untuk kepentingan politik. “Penerima bansos adalah mereka dengan jumlah Kartu Keluarga (KK) dan pemilih basis yang sangat jelas dan diindikasi akan dimanfaatkan oleh peserta pemilu,” ungkapnya, Kamis (4/1/2024).
Neni mengungkapkan ini bukan kali pertama terjadi. Pada 2019 lalu, kasus program Program Keluarga Harapan (PKH) juga dipolitisasi. Penyaluran bansos dilakukan dengan pembagian stiker dan bahan kampanye politik lainnya.
“Bukan hanya di pilpres ya tetapi juga untuk pileg. Biasanya modus ini digunakan saat pertemuan terbatas dan tatap muka juga saat reses anggota DPR/DPRD,” imbuh Neni.
Penyaluran bansos di masa kampanye, kata Neni, akan sulit dicegah, dilarang atau dibatasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Tapi justru inilah tantangan Bawaslu bisa enggak sampai pembuktian merugikan dan menguntungkan peserta pemilu. Harus ada upaya progresif Bawaslu yang bisa dihadirkan dalam penegakan hukum termasuk bisa tidak Bawaslu itu memberikan himbauan agar penyerahan bansos itu ditunda sampai tahapan kampanye selesai,“ ungkapnya.
Neni menambahkan, Bawaslu juga bisa menggunakan instrumen hukum di luar UU Pemilu untuk memberikan efek jera. “Sebab, instrumen hukum juga tidak cukup memberikan keadilan. Bawaslu perlu menggunakan instrumen hukum di luar UU Pemilu agar bisa ada sanksi dan efek jera untuk mengkaji dugaan pelanggaran,“ kataya.
Neni menjelaskan, sejatinya bansos diberikan saat perekonomian sulit maupun daya beli menurun. Namun dengan maraknya pemberian bansos di masa kampanye pasti sarat politisasi dan seolah olah menunjukkan masyarakat kita dalam kondisi darurat bansos.
“Bawaslu bisa tidak memberikan surat imbauan untuk menunda pembagian bansos sampai dengan tahap pemungutan dan penghitungan suara selesai. Masalahnya kalau pembagian bansos ini dilakukan seolah olah kondisi masyarakat kita juga terus menerus darurat,“ tandas Neni.
Senada, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz menilai penyaluran bantuan sosial seharusnya tidak boleh dilekatkan dengan citra diri politikus tertentu.
"Saya kira ini tidak boleh kita politisasi orang perorangan. Artinya tidak boleh ada citra diri sehingga ini kemudian terhindar dari kampanye, dari kebutuhan peningkatan elektoral, meningkatkan elektabilitas," katanya.
Kahfi menjelaskan, hal itu disebabkan bansos merupakan kewajiban negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Bansos juga bersumber dari keuangan negara baik berupa APBN atau APBD, bukan dari perorangan.
"Jadi sebetulnya bansos merupakan satu kewajiban dari negara untuk menjamin hak masyarakat mendapat hidup layak. Bansos ini, kalau misal kita lihat, bantuan dari negara secara langsung untuk masyarakat bisa memenuhi kebutuhan," tegasnya.
Di masa kampanye, kata dia, bansos sangat rentan untuk disalahgunakan untuk kepentingan elektoral. Kahfi menerangkan kejadian pada Pilkada 2020.
"Kita lihat di Pilkada 2020 lalu bagaimana pada saat itu Covid-19, bansos menjadi program pemerintah. Seringkali ini dimanfaatkan, dipolitisasi, oleh misalnya incumbent, kemudian ditempelkan citra dirinya dan seterusnya. Ini kan bentuk kampanye," tambahnya.
Kahfi berharap agar kejadian bansos menjadi alat elektoral tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, Kahfi menekankan agar bansos bebas dari citra diri politikus. Kahfi menuturkan, bansos memang tidak bisa dihindarkan mengingat kondisi masyarakat yang membutuhkan. Tetapi, penyalurannya harus ditata agar tidak mudah diselewengkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
"Kalaupun memang mau dibagikan, ya bansos silakan dibagikan melalui aparatur sipil negara (ASN), dinas-dinas terkait atau kementerian terkait yang punya fungsi ke sana. Bukan oleh tokoh-tokoh politik tertentu," pungkasnya.
Sementara itu, capres nomor urut 2, Ganjar Pranowo mengingatkan agar bansos diharapkan tidak dijadikan sebagai komoditas politik karena sudah menjadi program pemerintah. Menurut dia, dalam suasana politik saat ini, mudah bagi pihak tertentu untuk mengklaim bansos merupakan jasa dari pihak-pihak tertentu.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menanggapi aksi Menteri Perdagangan (Mendag) sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menyebut bansos merupakan program Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Terkait dengan etika ya ini merupakan kemunduran demokrasi dan menunjukkan politik tuna adab," tegas Neni, Kamis (4/1/2024).
Menurutnya, penyerahan bantuan ketika masa tahapan kampanye berlangsung ini menjadi rawan untuk kepentingan politik dan pemenangan kandidat. Neni menyesalkan adanya sekelompok orang mempergunakan bansos sebagai ajang mendulang simpati dan suara di masa kampanye.
Padahal bansos bukan milik perorangan melainkan program pemerintah. Tapi, bansos di-setting sedemikian rupa untuk kepentingan politik. “Penerima bansos adalah mereka dengan jumlah Kartu Keluarga (KK) dan pemilih basis yang sangat jelas dan diindikasi akan dimanfaatkan oleh peserta pemilu,” ungkapnya, Kamis (4/1/2024).
Neni mengungkapkan ini bukan kali pertama terjadi. Pada 2019 lalu, kasus program Program Keluarga Harapan (PKH) juga dipolitisasi. Penyaluran bansos dilakukan dengan pembagian stiker dan bahan kampanye politik lainnya.
“Bukan hanya di pilpres ya tetapi juga untuk pileg. Biasanya modus ini digunakan saat pertemuan terbatas dan tatap muka juga saat reses anggota DPR/DPRD,” imbuh Neni.
Penyaluran bansos di masa kampanye, kata Neni, akan sulit dicegah, dilarang atau dibatasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Tapi justru inilah tantangan Bawaslu bisa enggak sampai pembuktian merugikan dan menguntungkan peserta pemilu. Harus ada upaya progresif Bawaslu yang bisa dihadirkan dalam penegakan hukum termasuk bisa tidak Bawaslu itu memberikan himbauan agar penyerahan bansos itu ditunda sampai tahapan kampanye selesai,“ ungkapnya.
Neni menambahkan, Bawaslu juga bisa menggunakan instrumen hukum di luar UU Pemilu untuk memberikan efek jera. “Sebab, instrumen hukum juga tidak cukup memberikan keadilan. Bawaslu perlu menggunakan instrumen hukum di luar UU Pemilu agar bisa ada sanksi dan efek jera untuk mengkaji dugaan pelanggaran,“ kataya.
Neni menjelaskan, sejatinya bansos diberikan saat perekonomian sulit maupun daya beli menurun. Namun dengan maraknya pemberian bansos di masa kampanye pasti sarat politisasi dan seolah olah menunjukkan masyarakat kita dalam kondisi darurat bansos.
“Bawaslu bisa tidak memberikan surat imbauan untuk menunda pembagian bansos sampai dengan tahap pemungutan dan penghitungan suara selesai. Masalahnya kalau pembagian bansos ini dilakukan seolah olah kondisi masyarakat kita juga terus menerus darurat,“ tandas Neni.
Senada, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz menilai penyaluran bantuan sosial seharusnya tidak boleh dilekatkan dengan citra diri politikus tertentu.
"Saya kira ini tidak boleh kita politisasi orang perorangan. Artinya tidak boleh ada citra diri sehingga ini kemudian terhindar dari kampanye, dari kebutuhan peningkatan elektoral, meningkatkan elektabilitas," katanya.
Kahfi menjelaskan, hal itu disebabkan bansos merupakan kewajiban negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Bansos juga bersumber dari keuangan negara baik berupa APBN atau APBD, bukan dari perorangan.
"Jadi sebetulnya bansos merupakan satu kewajiban dari negara untuk menjamin hak masyarakat mendapat hidup layak. Bansos ini, kalau misal kita lihat, bantuan dari negara secara langsung untuk masyarakat bisa memenuhi kebutuhan," tegasnya.
Di masa kampanye, kata dia, bansos sangat rentan untuk disalahgunakan untuk kepentingan elektoral. Kahfi menerangkan kejadian pada Pilkada 2020.
"Kita lihat di Pilkada 2020 lalu bagaimana pada saat itu Covid-19, bansos menjadi program pemerintah. Seringkali ini dimanfaatkan, dipolitisasi, oleh misalnya incumbent, kemudian ditempelkan citra dirinya dan seterusnya. Ini kan bentuk kampanye," tambahnya.
Kahfi berharap agar kejadian bansos menjadi alat elektoral tidak terjadi lagi. Oleh sebab itu, Kahfi menekankan agar bansos bebas dari citra diri politikus. Kahfi menuturkan, bansos memang tidak bisa dihindarkan mengingat kondisi masyarakat yang membutuhkan. Tetapi, penyalurannya harus ditata agar tidak mudah diselewengkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
"Kalaupun memang mau dibagikan, ya bansos silakan dibagikan melalui aparatur sipil negara (ASN), dinas-dinas terkait atau kementerian terkait yang punya fungsi ke sana. Bukan oleh tokoh-tokoh politik tertentu," pungkasnya.
Sementara itu, capres nomor urut 2, Ganjar Pranowo mengingatkan agar bansos diharapkan tidak dijadikan sebagai komoditas politik karena sudah menjadi program pemerintah. Menurut dia, dalam suasana politik saat ini, mudah bagi pihak tertentu untuk mengklaim bansos merupakan jasa dari pihak-pihak tertentu.
(cip)