Narasi Pilpres 2024 Satu Putaran Runtuhkan Kualitas Demokrasi Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Narasi Pemilu 2024 satu putaran dinilai meruntuhkan kualitas dari demokrasi di Indonesia. Apalagi ketika narasi ini terus digaungkan dan dilakukan dengan menghalalkan segala cara.
Hal ini disampaikan Ketua Umum NETFID Indonesia Muhammad Afit Khomsani menanggapi sejumlah pendukung paslon nomor 02 Prabowo-Gibran yang mengampanyekan perlunya pilpres digelar cuma satu putaran agar negara bisa hemat.
“Kami melihat bahwa narasi tersebut hanya mungkin menguntungkan satu kelompok tertentu, dan di sisi lain meruntuhkan kualitas dari demokrasi sendiri,” kata Afit, Jumat (29/12/2023).
Menurut Afit, pemilu merupakan pesta demokrasi, dari, oleh, dan untuk rakyat. Sehingga aktor politik yang memainkan narasi ini sangat tidak bijaksana. “Kaitan dengan narasi tersebut kami melihat bahwa narasi itu sangat berbenturan dengan semangat dan juga proses demokrasi sendiri yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat,” ujarnya.
Afit menambahkan, fenomena hari ini, publik dihadapkan pada pertarungan narasi antartim pemenangan pasangan calon. Namun dia mengingatkan pentingnya menjaga etika dan menghormati aturan yang sudah ada.
“Kaitannya dengan narasi satu putaran, seharusnya aktor-aktor politik kita itu bertindak lebih bijak dalam melemparkan isu isu yang kemudian cenderung memperkeruh suasana dalam pemilu,” ungkap Afit.
Menurutnya, pesta demokrasi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber-Jurdil). Peran rakyat, semangat demokrasi, tidak boleh dinafikan oleh kepentingan sekolompok orang.
“Di mana proses dan juga berlingkaran demokrasi sendiri harusnya dikembalikan, diselenggarakan oleh rakyat. Bukan kemudian aktor politik yang menentukan proses tersebut,” tegas Afit.
Karenanya, kata dia, guna menghadapi perang narasi, masyarakat jangan sampai merugi karena terseret arus. “Tentu peran masyarakat sangat penting dalam menyikapi perang narasi ini. kami juga mendorong masyarakat untuk secara komprehensif tidak menelan bulat-bulat, atau mentah-mentah perang narasi yang dilemparkan salah satu kelompok,” jelasnya.
Afit mengimbau agar masyarakat harus lebih cerdas mengelola narasi yang dilempar antara kelompok pendukung capres-cawapres. “Kembali lagi bahwa, aktor politik, calon, timses, dan sebagainya tidak memperkeruh suasana dengan narasi yang kontradiktif dengan perkembangan demokrasi di Indonesia,” tandas Afit.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai pilpres satu putaran sebetulnya sah-sah saja, namun hal itu harus terjadi secara alamiah. Sebaliknya, akan berbahaya jika narasi pilpres satu putaran menguat dengan mendorong dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan kontestasi. "Ini yang merusak demokrasi dan menjadikan demokrasi kita tuna adab," katanya.
Apalagi, ketika narasi ini terus digaungkan dan dilakukan dengan menghalalkan segala cara. "Maka hanya ada satu paslon diuntungkan dan dua paslon lainnya dirugikan," katanya.
Soal alasan menghemat uang negara, Neni menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat narasi semacam ini. "Tetapi memang kalau narasi ini terus digulirkan dan ini akan kuat membentuk opini publik di masyarakat," tambahnya.
Dia menambahkan, anggaran pilpres dua putaran pun sudah menjadi konsekuensi dari proses demokrasi yang sehat. "Terkait dengan anggaran seharusnya ini sudah menjadi konsekuensi dan pasti sudah dianggarkan juga oleh KPU yang sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Alasannya menurut saya sangat klasik dan cenderung dipaksakan," tukas Neni.
Menurutnya, menghemat anggaran bisa dilakukan dengan cara lain bukan membajak demokrasi dan pemilu menjadi pertaruhan. "Kita kan berharap pemilu ini bisa berjalan free and fair election, kalau narasi dua putaran yang tidak berjalan alamiah itu terus diperkuat maka 2024 ini menjadi kegagalan demokrasi," katanya.
Hal ini disampaikan Ketua Umum NETFID Indonesia Muhammad Afit Khomsani menanggapi sejumlah pendukung paslon nomor 02 Prabowo-Gibran yang mengampanyekan perlunya pilpres digelar cuma satu putaran agar negara bisa hemat.
“Kami melihat bahwa narasi tersebut hanya mungkin menguntungkan satu kelompok tertentu, dan di sisi lain meruntuhkan kualitas dari demokrasi sendiri,” kata Afit, Jumat (29/12/2023).
Menurut Afit, pemilu merupakan pesta demokrasi, dari, oleh, dan untuk rakyat. Sehingga aktor politik yang memainkan narasi ini sangat tidak bijaksana. “Kaitan dengan narasi tersebut kami melihat bahwa narasi itu sangat berbenturan dengan semangat dan juga proses demokrasi sendiri yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat,” ujarnya.
Afit menambahkan, fenomena hari ini, publik dihadapkan pada pertarungan narasi antartim pemenangan pasangan calon. Namun dia mengingatkan pentingnya menjaga etika dan menghormati aturan yang sudah ada.
“Kaitannya dengan narasi satu putaran, seharusnya aktor-aktor politik kita itu bertindak lebih bijak dalam melemparkan isu isu yang kemudian cenderung memperkeruh suasana dalam pemilu,” ungkap Afit.
Menurutnya, pesta demokrasi harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (Luber-Jurdil). Peran rakyat, semangat demokrasi, tidak boleh dinafikan oleh kepentingan sekolompok orang.
“Di mana proses dan juga berlingkaran demokrasi sendiri harusnya dikembalikan, diselenggarakan oleh rakyat. Bukan kemudian aktor politik yang menentukan proses tersebut,” tegas Afit.
Karenanya, kata dia, guna menghadapi perang narasi, masyarakat jangan sampai merugi karena terseret arus. “Tentu peran masyarakat sangat penting dalam menyikapi perang narasi ini. kami juga mendorong masyarakat untuk secara komprehensif tidak menelan bulat-bulat, atau mentah-mentah perang narasi yang dilemparkan salah satu kelompok,” jelasnya.
Afit mengimbau agar masyarakat harus lebih cerdas mengelola narasi yang dilempar antara kelompok pendukung capres-cawapres. “Kembali lagi bahwa, aktor politik, calon, timses, dan sebagainya tidak memperkeruh suasana dengan narasi yang kontradiktif dengan perkembangan demokrasi di Indonesia,” tandas Afit.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai pilpres satu putaran sebetulnya sah-sah saja, namun hal itu harus terjadi secara alamiah. Sebaliknya, akan berbahaya jika narasi pilpres satu putaran menguat dengan mendorong dan mengerahkan segala daya dan upaya untuk memenangkan kontestasi. "Ini yang merusak demokrasi dan menjadikan demokrasi kita tuna adab," katanya.
Apalagi, ketika narasi ini terus digaungkan dan dilakukan dengan menghalalkan segala cara. "Maka hanya ada satu paslon diuntungkan dan dua paslon lainnya dirugikan," katanya.
Soal alasan menghemat uang negara, Neni menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat narasi semacam ini. "Tetapi memang kalau narasi ini terus digulirkan dan ini akan kuat membentuk opini publik di masyarakat," tambahnya.
Dia menambahkan, anggaran pilpres dua putaran pun sudah menjadi konsekuensi dari proses demokrasi yang sehat. "Terkait dengan anggaran seharusnya ini sudah menjadi konsekuensi dan pasti sudah dianggarkan juga oleh KPU yang sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR. Alasannya menurut saya sangat klasik dan cenderung dipaksakan," tukas Neni.
Menurutnya, menghemat anggaran bisa dilakukan dengan cara lain bukan membajak demokrasi dan pemilu menjadi pertaruhan. "Kita kan berharap pemilu ini bisa berjalan free and fair election, kalau narasi dua putaran yang tidak berjalan alamiah itu terus diperkuat maka 2024 ini menjadi kegagalan demokrasi," katanya.
(cip)