Soal Surat Edaran Etika AI Kominfo, Dosen STIN: Penting, Walau Masih Pedoman Umum

Selasa, 26 Desember 2023 - 13:01 WIB
loading...
Soal Surat Edaran Etika AI Kominfo, Dosen STIN: Penting, Walau Masih Pedoman Umum
Pakar transformasi digital Riri Satria menilai, surat edaran mengenai pedoman etika penggunaan AI masih bersifat pedoman umum. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Kementerian Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan surat edaran mengenai pedoman etika penggunaan Artificial Intelligence (AI). Pedoman itu dinilai penting meski masih bersifat pedoman umum.

Berdasarkan siaran Pers No.583/HM/KOMINFO/12/2023 tanggal 22 Desember 2023, Surat Edaran (SE) Etika Kecerdasan Artifisial tersebut resmi ditandatangani pada Selasa, 19 Desember 2023.

Pakar transformasi digital sekaligus Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Riri Satria menilai, SE tersebut tidak mengikat secara hukum, namun jika ada penyalahgunaan teknologi atau data pribadi, tentu akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) beserta perubahannya dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).



"Surat edaran itu masih berupa pedoman umum, sehingga tidak dapat dijadikan acuan untuk proses penegakan hukum," ujarnya, Selasa (26/12/2023).

Namun demikian, kata Riri, surat edaran ini sudah menunjukkan setidaknya pemerintah sudah punya kepedulian tentang perkembangan AI. "Setidaknya saat ini sudah ada pedomannya walau bersifat umum. Ke depannya kita membutuhkan perangkat regulasi yang lebih rinci lagi," katanya.



Pengajar di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) ini menyebut, Menteri Kominfo Budi Arie menyatakan jika pedoman AI ini juga merespons intensitas dan utilisasi yang membawa nilai ekonomi makin signifikan.

Sebagai informasi, nilai pasar global AI di 2023 mencapai USD142,3 Miliar. Sedangkan di ASEAN pada 2030 AI diperkirakan akan berkontribusi pada PDB ASEAN hingga angka USD1 triliun, di mana USD366 Miliar di antaranya kontribusi dari Indonesia, mengutip data Kearney & CSET 2023.

"Aspek lain dari penggunaan dan pemanfaatan AI di Indonesia sangat berdampak pada dunia kerja. Berdasarkan data 2023 ditemukan 26,7 juta tenaga kerja mengimplementasikan penggunaan teknologi AI," katanya.

Namun, kehadiran AI juga membawa berbagai tantangan mulai dari bias, halusinasi AI, disinformasi, hingga ancaman hilangnya beberapa sektor pekerjaan akibat otomasi AI.

Riri Satria menyebut, SE ini memuat tiga kebijakan yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial. SE tersebut ditujukan kepada pelaku usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial pada Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup publik dan privat.

Sedangkan, terkait kebijakan nilai etika AI, SE tersebut menegaskan nilai inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, serta, kredibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan AI.

Walaupun masih berupa arahan umum, Riri Satria mengapresasi terbitnya SE tersebut. “Setidaknya SE ini menjawab sebagian pertanyaan orang mengenai praktik pengembangan serta penggunaan AI sehari-hari di Indonesia. Dengan demikian ini perlu diberikan apresiasi," katanya.

Apalagi dijelaskan nilai inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, serta, kredibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan AI. "Walaupun kita masih membutuhkan penjelasan yang lebih rinci dan perangkat regulasi yang lebih menikat secara hukum," ujarnya.

Berkaitan dengan kebijakan pelaksanaan nilai etika AI, PSE lingkup publik dan privat melaksanakan nilai etika melalui tiga pendekatan utama. Pertama, penyelenggaraan AI sebagai pendukung aktivitas manusia khususnya untuk meningkatkan kreativitas pengguna dalam menyelesaikan permasalahan dan pekerjaan.

Kedua, penyelenggaraan yang menjaga privasi dan data sehingga tidak ada individu yang dirugikan. Ketiga pengawasan pemanfatan untuk mencegah penyalahgunaan AI oleh pemerintah, penyelenggara, dan pengguna.

“Persoalannya pada tataran implementasi di lapangan. Apakah nilai inklusivitas, aksesibilitas, keamanan, kemanusiaan, serta, kredibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan AI tersebut harus menjadi indikator kinerja atau tidak? Apakah tiga pendekatan utama dalam melaksanakan nilai etika penggunaan AI juga harus demikian? Saat ini memang belum ada yang mengikat. Namun menurut saya, perusahaan atau organisasi mana pun yang menjadi PSE harus memasukkannya sebagai indikator kinerja," tegas Riri Satria yang juga narasumber transformasi digital pada PPSA dan PPRA di Lemhanas RI.

Adapun kebijakan tentang tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan AI, PSE lingkup publik dan privat mewujudkan tanggung jawab pengembangan dan pemanfaatannya melalui tiga cara.

Pertama, memastikan AI tidak diselenggarakan sebagai penentu kebijakan dan/atau pengambil keputusan yang menyangkut kemanusiaan. Kedua, memberikan informasi yang berkaitan dengan pengembangan teknologi berbasis kecerdasan artifisial oleh pengembang untuk mencegah dampak negatif dan kerugian dari teknologi yang dihasilkan. Ketiga, memperhatikan manajemen risiko dan manajemen krisis dalam pengembangan AI.

“Point pertama itu sangat penting. Jangan sampai AI difungsikan sebagai penentu kebijakan dan/atau pengambil keputusan yang menyangkut kemanusiaan. Ini sebenarnya yang banyak dikhawatirkan masyarakat, di mana jika ini terjadi, maka nilai-nilai kemanusiaan akan dipertanyakan karena keputusan terkait kemanusiaan akan diserahkan kepada AI,” katanya.

Apalagi, jika sistem blockchain sudah marak dipergunakan nantinya, ini menjadi sangat mendesak. Sistem blockchain memiliki algoritma yang bertindak sebagai smart contract yang mengatur ekosistemnya. "Bayangkan jika ini dipergunakan untuk mengatur hajat hidup orang banyak, maka kita menyerahkan kehidupan kemanusiaan kita kepada mesin. Ini berbahaya," ucapnya.

Smart contract merupakan suatu program berbasis AI yang tersimpan dalam sistem blockchain yang berjalan ketika kondisi yang ditentukan sudah terpenuhi. Smart contract juga dijalankan tanpa adanya pihak ketiga dan tertulis diatas blockchain.

Smart contract berbeda dengan program komputer yang lain, di mana smart contract akan tersimpan secara permanen di dalam sistem blockchain. Ini juga dapat diartikan sebagai suatu protokol dalam komputer yang digunakan untuk memfasilitasi dan memverifikasi negosiasi atau kinerja suatu contract secara digital.

Riri Satria menambahkan, smart contract umumnya digunakan untuk proses otomatisasi yang dapat memicu adanya tindakan berikutnya ketika kondisi tersebut terpenuhi.

“Bayangkan jika seandainya kehidupan kemanusiaan diatur oleh smart contract, maka tentu diperlukan sebuah regulasi khusus untuk mengatur smart contract tersebut. Inti dari regulasi adalah bagaimana membuat masyarakat merasa aman atau terlindungi oleh kehadiran negara dalam kehidupan, termasuk semua sistem yang menggunakan AI," ucapnya
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2064 seconds (0.1#10.140)