Waspadai Bancakan APBD Jelang Pilkada

Kamis, 22 Februari 2018 - 14:40 WIB
Waspadai Bancakan APBD Jelang Pilkada
Waspadai Bancakan APBD Jelang Pilkada
A A A
JAKARTA - Potensi penyimpangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jelang pelaksanaan pilkada disinyalir meningkat. Dari berbagai modus yang dilakukan, ijon proyek-proyek dengan pihak ketiga menjadi yang paling banyak digunakan.

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, saat ini ada pergeseran tren penyimpangan dana APBD. Jika sebelumnya penyimpangan paling banyak dengan menggunakan dana hibah dan bansos, kini tren terbanyak dengan modus ijon program dan proyek. Sebab ijon program dan proyek dianggap memiliki nilai paling besar bila dibandingkan dengan modus lain.

"Nilainya cukup besar untuk modal pilkada. Baik pemberian proyek atau kemudahan pemberian izin ke pihak ketiga. Mereka pasti mau memberikan sejumlah fee yang bisa digunakan saat pilkada," ungkap Yenny dalam acara konferensi pers dengan tema "Awasi! APBD Rawan Bancakan Jelang Pilkada" di Bakoel Koffie, Jakarta, Rabu (21/2/2018).

Menurut dia, proyek-proyek yang sering diijon adalah infrastruktur dan alat kesehatan karena memiliki nilai yang cukup besar. Selain ijon proyek dan program, modus lain yang juga sering digunakan untuk menghimpun dana adalah pemanfaatan dana hibah/bansos, penurunan pendapatan asli (PAD), pemanfaatan sisa lebih penggunaan anggaran (silpa), dan penyalahgunaan suntikan dana ke BUMD. "Dulu memang misalnya hibah/bansos cukup populer digunakan. Sekarang masih ada, tapi tidak seberapa," paparnya.

Yenny mengungkapkan, penyalahgunaan APBD ini didesain sedemikian rupa. Sebab untuk memastikan proyek, program, ataupun perizinan jatuh ke tangan pemodal, hal itu harus dimulai sejak perencanaan sampai implementasi. Bahkan pembahasan RAPBD di DPRD pun harus diamankan. "Ini yang terjadi akhir-akhir ini. Petahana sengaja menyuap DPRD untuk memastikan usulan perencanaan APBD-nya disetujui sehingga proyek yang dijanjikan dengan pihak ketiga dapat dilaksanakan," ujarnya.

Apalagi di saat yang sama para pihak ketiga akan benar-benar memanfaatkan peluang ini untuk mengambil keuntungan. Di daerah, lanjutnya, proyek-proyek pemerintah daerah (pemda) begitu menggiurkan. Praktik suap untuk mendapatkan proyek pun masih kerap terjadi. "Misalnya menjalankan proyek Rp2 triliun itu keuntungannya 30-40%. Dengan memberikan fee untuk pilkada, pemodal mendapatkan jaminan mendapatkan proyek terebut," ungkapnya.

Peneliti Fitra Gulfino C mengatakan, korupsi pemilu lebih rentan dilakukan calon kepala daerah petahana. Pasalnya petahana masih memiliki wewenang dan kekuasaan atas pengelolaan anggaran. "Dengan kekuasaan tersebut, peluangnya lebih besar bila dibandingkan dengan calon lain," ujarnya.

Menurut Gulfino, ada sejumlah faktor yang mendorong petahana melakukan penyalahgunaan APBD demi pemenangan pilkada. Di antaranya biaya rekomendasi yang tinggi memaksa petahana mencari pun dipundi. Rekomendasi penting untuk mendapatkan dukungan. "Beberapa waktu lalu sempat terjadi kegaduhan bahwa mahar menjadi lazim dalam proses pemilu. Tidak hanya pilkada, tetapi juga pemilu legislatif (pileg). Mahar dijadikan sebagai sarana mempermudah rekomendasi dari elite partai," katanya.

Kemudian biaya survei untuk melihat keterpilihan juga tidaklah murah. Dia menyebut, survei pilkada tingkat kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan responden 400 orang dan margin error sekitar 5% berbiaya sekitar Rp100 juta-150 juta. "Provinsi dengan jumlah responden 800 orang dan margin error 3,506% ongkosnya Rp250 juta sampai Rp300 juta," ungkapnya.

Selanjutnya biaya kampanye pemilu juga tidak sedikit. Sering kali, menurutnya, pelaksanaan teknis kampanye melibatkan cara-cara yang kotor dan merusak demokrasi. Salah satunya melalui politik uang. "Biaya memobilisasi konstituen tidaklah sedikit. Ada relawan-relawan sebagai mesin pemenangan yang harus diperhatikan agar terus bergerak. Terakhir adalah adanya pembelian suara, tidak saja suara pemilih, tapi juga penyelenggara," tandasnya.

Peneliti Fitra lainnya, Gurnadi R, mengatakan, modus-modus penyalahgunaan APBD untuk kepentingan pilkada mulai terlihat. Dia mencontohkan untuk penurunan PAD pun mulai tergambar jelas di beberapa daerah. Bahkan untuk tataran provinsi rata-rata mengalami penurunan PAD mencapai 7% dari total belanja pada 2017.

"Berdasarkan nilai penurunan itu, Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki nilai penurunan terbesar rata-rata mencapai Rp7,2 miliar," ungkapnya.

Kemudian terdapat sembilan daerah yang mengalami peningkatan pos anggaran hibah/bansos. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Barito Kuala, Donggala, Garut, Parigi Moutong, Deiyai, Bondowoso, Kubu Raya, Majalengka, dan Kabupaten Kuningan. "Rata-rata peningkatan belanja hibah/bansos 2017 di sembilan daerah tersebut 35,4%," katanya.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo sudah memperingatkan daerah baik kepala daerah ataupun DPRD untuk tidak main-main dalam mengelola APBD. Tjahjo mengatakan, baik DPRD atau pun jajaran kepala daerah harus memperhatikan kepentingan publik dalam pembahasan RAPBD. Terutama merealisasi janji-janji kampanye dan melaksanakan program-program strategis nasional.

"Dana hibah/bansos ini tidak bisa seenaknya, termasuk juga yang mau maju lagi bupati/wali kota. Jangan menggelembungkan dana bansos dan dana hibah ataupun memanfaatkan APBD untuk hal-hal yang tidak perlu seperti kepentingan pilkada," tandasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4107 seconds (0.1#10.140)