Mereformasi Mindset Bank Kita

Kamis, 11 Januari 2018 - 07:01 WIB
Mereformasi Mindset Bank Kita
Mereformasi Mindset Bank Kita
A A A
Raja Sapta Oktohari
Pengusaha, Ketua Dewan Pembina BPP Hipmi

BANK Indonesia (BI) mem­per­kirakan pertum­buh­an kredit tahun ini pada kisaran 12-14%, sedikit di atas 10-12% dari tahun lalu. Ber­beda dengan BI yang sedikit le­bih optimistis, Otoritas Jasa Ke­uangan (OJK), mirip-mirip ta­hun lalu juga, mem­pro­yek­si­kan 11-12%, atau lebih tinggi se­dikit 11,7% (2017). Menurut data statistik BI, kredit tumbuh 7,85% hingga September 2017. Angka itu menurun tipis 7,89% per Agustus 2017.

Berbeda dengan kredit, Da­na Pihak Ketiga (DPK) per­bank­an malah tumbuh tinggi sebesar 11,46% pada bulan se­be­lum­nya. Sedikit aneh memang. Pa­da situasi normal semestinya kre­dit yang tumbuh lebih tinggi me­lampaui DPK.

Menteri Keuangan Sri Mul­ya­ni Indrawati mengingatkan, per­lambatan pertumbuhan kre­dit perbankan berpotensi men­jadi penghalang per­tum­buh­an eko­nomi tahun ini. Se­per­ti diketahui, pemerintah me­nargetkan per­tum­buhan eko­nomi sebesar 5,4% di Ang­gar­an Pendapatan dan Belanja Ne­gara (APBN) 2018.

Bukannya pesimistis, Men­keu sendiri telah melihat ada­nya gelagat kurang sedap tahun ini dari rendahnya kemampuan transmisi perbankan, utama­nya di Kredit Modal Kerja (KMK) tahun 2017. Bila kinerja per­tumbuhan KMK dan Kredit Investasi (KI) masih sama se­per­ti tahun lalu, mantan direk­tur pelaksana Bank Dunia itu pe­simistis target pertumbuhan eko­nomi sebesar 5,4% bakal ter­capai.

Pertumbuhan kredit KMK dan KI diperkirakan se­be­sar 11 hingga 13% pada 2017. Se­men­tara untuk mencapai tar­get per­tumbuhan ekonomi 5,4% tahun ini dibutuhkan tam­bahan kredit paling sedikit 13% hingga 15%.

Tren penurunan pertum­buh­an kredit perbankan na­sio­nal sudah berjalan sejak 2011. Bah­kan pada 2016, kredit ha­nya tum­buh satu digit. Be­bera­pa faktor pencetus tren tersebut yakni krisis finansial yang me­landa Ame­rika Serikat serta be­lum pu­lih­nya ekonomi kawasan Eropa, yang mendorong per­min­taan komoditas andalan Indonesia ikut mengalami pe­nurunan.

Situasi di atas membuat se­mua sektor ikut terpukul, se­hing­ga daya beli masyarakat me­le­mah. Hal ini tecermin dari kon­sumsi rumah tangga yang selalu tumbuh di bawah 5% se­jak tri­wulan IV/2016. Bank-bank kecil yang masuk dalam Bank Ke­lom­pok Usaha (BUKU) I paling besar terkena dam­pak­nya sehingga per­tumbuhan kre­ditnya negatif.

Warisan Krisis 1998
Terlepas dari tren kredit di atas, situasi perekonomian ti­dak menjadi alasan tunggal pe­le­mahan fungsi intermediasi per­bankan. Sa­lah satu penye­bab­nya re­gu­la­tor, regulasi, dan per­bank­an kita masih mewarisi pola pikir dan bu­daya pe­nge­tat­an akibat krisis 1998.

Krisis 1998 memang di­tandai oleh le­mah­nya fun­da­men­tal industri perbankan yang sudah ter­ak­u­mu­lasi sejak be­bera­pa tahun se­be­lum­nya. Parah­nya lagi, saat itu, ke­mam­puan manajerial bank sangat ren­dah dan meng­aki­bat­kan penu­run­an kualitas aset pro­duk­tif dan pe­ning­kat­an ri­si­ko per­ban­k­­an.

Dari si­si de­bi­tor (pe­ngu­sa­ha dan kor­po­rasi), pe­nyaluran kre­­dit te­ra­sa begitu longgar tan­pa mem­per­tim­bang­kan re­putasi de­bitor yang ketat se­hingga te­lah men­do­rong ting­gi­nya kredit macet.

Di lain pihak, ta­gih­an bank da­lam bentuk kredit valuta asing, nilai ekuivalen ru­piahnya dalam pembukuan bank juga mengalami kenaikan se­hing­ga debitur yang bersangkutan ti­dak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Aki­batnya, bank-bank mengalami kesulitan untuk memenuhi pe­na­rikan dana oleh para kre­di­tur­nya.

Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal ge­lombang kesulitan likuiditas pada per­bankan yang ke­mu­di­an berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar. Pada saat itu, kredit macet (non performing loan /NPL) men­capai 30%.

Belajar dari krisis di atas, re­gulator dan perbankan kita ke­mu­dian melakukan pembe­nah­an ke dalam industri. Parlemen, BI, dan pemerintah menopang sek­tor keuangan dengan re­gu­lasi berlapis-lapis mulai un­dang-undang (UU) sampai Pe­ra­turan Bank Indonesia (PBI).

Ber­bagai sanksi keras telah di­lakukan un­tuk mencegah pem­be­rian kredit yang kurang wajar dan tidak se­suai dengan asas-asas per­kre­dit­an yang sehat. Ter­bentuknya OJK, atas pe­rintah UU, salah satunya ber­tu­juan untuk mem­per­ketat peng­awasan terhadap industri per­bankan.

Namun, krisis 1998 sudah se­lesai dan belum pernah lagi ter­ulang krisis dengan skala dan magnitude serupa. Pernah ada krisis 2008, namun per­bankan kita malah teruji sangat tang­guh saat itu. Refor­ma­si per­bank­an di­nilai suk­ses. NPL sa­at itu tak sam­pai 5%. Kon­di­si ke­se­hat­an in­dus­­tri per­bankan kita juga sudah sangat baik dan se­makin mem­baik.

Reformasi Lanjutan
Sampai di si­ni, bisa dikata­kan, sejak reformasi dan kon­so­li­­dasi per­bankan nasional 1999 digelar, industri keuangan kita sudah “menang banyak.” Per­eko­no­mian juga sudah semakin stabil, begitu pula dengan per­politi­kan. Pada 2011-2014, pro­duk do­mes­tik bruto (PDB) In­do­nesia ber­kisar USD878 mi­liar, dengan PDB per kapita USD3.550. Dalam pe­riode ter­sebut, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 6,4-7,5%.

Proyeksi ekonomi Indo­ne­sia pada 2015-2025 bisa lebih ting­gi ketimbang sebelumnya. PDB Indonesia di­per­kirakan men­­­ca­pai USD4,0 tri­liun hingga USD4,5 triliun. PDB per kapita op­ti­mistis dapat tembus USD14.250-15.500. Per­tum­buh­­an ekonomi 2015-2025 juga dipre­diksi me­nyen­tuh 8,0-9,0%. Indonesia diperkirakan ber­ada pada jajaran urut­an GDP ter­­besar (no­mor 9) dunia pada 2030 dan peringkat 4 pada 2050.

Di tengah kemajuan ki­nerja per­bank­­an dan prospek­tif­nya masa de­pan ekonomi kita, sa­yang­nya stigma buruk ke­pa­da peng­usa­ha–produk dari saat kri­sis 1998– be­lum juga ter­sing­kir dari cara pan­dang para bankir dan regulasi du­nia per­bank­an kita. Re­pu­tasi para peng­­usa­ha masih kerap diang­gap sama se­per­ti saat kri­sis 1998. Pe­ni­laian bankable com­pany pun masih mema­kai stan­dar-stan­dar dan kriteria era krisis.

Di sinilah reformasi lanjutan di perbankan kita juga semakin mendesak. Di saat cara pan­dang per­bankan kita masih be­lum ber­ubah, berbagai ino­va­si dan pa­ra­dig­ma baru sudah ber­munculan. Saat ini, peru­sa­ha­an yang sehat dan bukan lagi yang beraset besar, tetapi me­re­ka yang memiliki cus­to­mer based dan brand value yang tinggi.

Di sinilah para pengusaha atau pe­rusahaan berprospek ba­gus kerap ter­ham­bat proses banka­bi­li­tasnya sebab lembaga ke­uang­an kita masih keukeuh dengan kriteria-kriteria la­ma­­nya (zaman old). Para peng­us­aha oleh bank dianggap tidak com­pa­tible untuk me-leverage usa­­ha, sebab bankir kita masih me­­ma­kai rumusan dan kriteria lama dalam menyetujui pro­po­sal kredit.

Di luar perbankan sana, alam pikiran dunia usaha sudah berubah. Era industri tra­di­sio­nal yang berbasis aset sudah di­ganti kekuatan brand dan pe­langgan (customer based). Feno­me­na pe­rubahan ini tidak bisa dike­sam­pingkan oleh per­bank­an kita, mengingat ke depan me­reka ini akan menjadi pe­nen­tu per­tum­buhan ekonomi In­do­nesia.

Pe­rusahaan ritel ber­ba­sis jaringan toko telah ter­gan­tikan dengan e-commerce de­ngan aset jauh lebih rendah dan minim inventory. Ke­wi­ra­usa­ha­an di Indonesia mulai dido­mi­na­si oleh bidang teknologi dari bersifat software application, market place/e-commerce hing­ga yang berjenis Fintech.

Agen pertumbuhan me­mang masih didominasi oleh per­bank­an. Namun, bila re­for­masi dan inovasi terasa mandek di lembaga keuangan kon­ven­sio­nal, maka tidak menge­jut­kan nanti bila peran peer to peer financing dalam pembiayaan usa­­ha akan semakin membesar. Tantangan lain, refor­masi mau­pun inovasi perbankan adalah operasional perbankan yang belum cukup efisien se­hing­ga masih memberatkan debitor.

Efisiensi bank di Indonesia masih cukup rendah. Sebanyak 25 Bank mempunyai rasio biaya operasional dibanding pen­da­pat­an operasional atau BOPO di atas 95%. Bersamaan itu, per­bank­an mengambil bunga ber­sih atau NIM terlalu tinggi yak­ni, rata-rata di atas 5% bahkan un­tuk bank buku 4 masih di atas 6%. Beban inefisiensi dan NIM ini mesti ditanggung oleh pe­ng­usaha.

Di sinilah reformasi di per­bankan kita menjadi sangat men­­desak dan berkelanjutan. Saat ini, memperoleh pem­bia­ya­an ke sek­tor-sektor produktif jauh lebih susah. Sedangkan pem­biayaan konsumtif malah akses­nya ter­bu­ka lebar sebab begitu gampang. Indonesia me­ru­pakan salah satu negara de­ngan tingkat kesulitan tertinggi mengakses Kredit Mo­dal Kerja dan Kredit Investasi.

Se­ba­lik­nya, di negara kita sangat gam­pang untuk memperoleh kartu kredit, kredit tanpa agunan (KTA), kredit kepemilikan ken­da­raan (KKB), kredit kepemi­lik­an rumah (KPR), kredit elek­tro­nik, kredit furnitur, dan se­ba­gainya.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4885 seconds (0.1#10.140)