Pengakuan Agus Rahardjo terkait Kasus E-KTP Diminta Diselidiki Serius
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo terkait kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov) diminta diselidiki secara serius. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai pengakuan Agus Rahardjo menyingkap upaya sistematis pelemahan terhadap KPK.
“Pengakuan Agus Raharjo ini juga menyingkap upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Sebagaimana diketahui, pelemahan KPK secara konsisten telah dilakukan sejak Jokowi berkuasa,” ujar Isnur dalam keterangan resmi, Sabtu (2/12/2023).
Dia menuturkan, YLBHI punya beberapa catatan terkait upaya pelemahan dan penghancuran KPK. Misalnya, kata dia, kriminalisasi para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, dan puluhan penyidik lembaga antirasuah itu pada 2015.
Selain itu, penyerangan terhadap Novel Baswedan dan hak angket DPR terhadap KPK. Menurut dia, upaya pelemahan dan penghancuran KPK yang dilakukan pemerintah saat ini selanjutnya ketika mengangkat panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK bermasalah dan merevisi UU KPK.
Lalu, kata dia, pemberhentian ilegal 75 lebih pegawai KPK, hingga Firli Bahuri yang kini ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Isnur mengatakan, jika Jokowi benar terbukti pernah memerintahkan pimpinan KPK menghentikan kasus korupsi E-KTP, maka itu tindak pidana serius.
Sebab, menurut dia, menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan tindakan penghinaan pada peradilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.
Dia mengatakan, sesuai Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa obstruction of justice adalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
“Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus E-KTP yang merugikan negara sebanyak Rp2 triliun,” ujarnya.
Dia menerangkan, tindakan obstruction of justice adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Oleh karenanya, Isnur mendesak agar segera dilakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pengakuan Agus Rahardjo tersebut.
Menurut dia, terhadap seluruh rangkaian peristiwa pelemahan dan penghancuran KPK tersebut, maka YLBHI berpendapat perlu dilakukan upaya hukum. “Dan juga pemulihan kembali institusi KPK agar menjadi independen,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mempertanyakan motif mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menudingnya terkait kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov). Diketahui, Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan kasus e-KTP yang menjerat Setnov.
“Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?" kata Jokowi di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Jokowi juga membantah pernah melakukan pertemuan dengan Agus Rahardjo. Jokowi mempersilakan pihak-pihak untuk mengecek langsung jadwal pertemuan dengan Agus kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
"Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg enggak ada agenda, yang di Setneg enggak ada. Tolong dicek lagi aja," kata Jokowi.
“Pengakuan Agus Raharjo ini juga menyingkap upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Sebagaimana diketahui, pelemahan KPK secara konsisten telah dilakukan sejak Jokowi berkuasa,” ujar Isnur dalam keterangan resmi, Sabtu (2/12/2023).
Dia menuturkan, YLBHI punya beberapa catatan terkait upaya pelemahan dan penghancuran KPK. Misalnya, kata dia, kriminalisasi para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, dan puluhan penyidik lembaga antirasuah itu pada 2015.
Selain itu, penyerangan terhadap Novel Baswedan dan hak angket DPR terhadap KPK. Menurut dia, upaya pelemahan dan penghancuran KPK yang dilakukan pemerintah saat ini selanjutnya ketika mengangkat panitia seleksi (pansel) pimpinan KPK bermasalah dan merevisi UU KPK.
Lalu, kata dia, pemberhentian ilegal 75 lebih pegawai KPK, hingga Firli Bahuri yang kini ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Isnur mengatakan, jika Jokowi benar terbukti pernah memerintahkan pimpinan KPK menghentikan kasus korupsi E-KTP, maka itu tindak pidana serius.
Sebab, menurut dia, menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan tindakan penghinaan pada peradilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum.
Dia mengatakan, sesuai Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa obstruction of justice adalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
“Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus E-KTP yang merugikan negara sebanyak Rp2 triliun,” ujarnya.
Dia menerangkan, tindakan obstruction of justice adalah tindakan yang menabrak dan berkontradiksi dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Oleh karenanya, Isnur mendesak agar segera dilakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pengakuan Agus Rahardjo tersebut.
Menurut dia, terhadap seluruh rangkaian peristiwa pelemahan dan penghancuran KPK tersebut, maka YLBHI berpendapat perlu dilakukan upaya hukum. “Dan juga pemulihan kembali institusi KPK agar menjadi independen,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mempertanyakan motif mantan Ketua KPK Agus Rahardjo menudingnya terkait kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov). Diketahui, Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Jokowi untuk menghentikan kasus e-KTP yang menjerat Setnov.
“Terus untuk apa diramaikan itu? Kepentingan apa diramaikan itu? Untuk kepentingan apa?" kata Jokowi di Halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (4/12/2023).
Jokowi juga membantah pernah melakukan pertemuan dengan Agus Rahardjo. Jokowi mempersilakan pihak-pihak untuk mengecek langsung jadwal pertemuan dengan Agus kepada Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
"Saya suruh cek, saya sehari kan berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg enggak ada agenda, yang di Setneg enggak ada. Tolong dicek lagi aja," kata Jokowi.
(rca)