Pegiat Hukum dan HAM Sebut Demokrasi Telah Dikooptasi Penguasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Demokrasi yang dijalankan saat ini dinilai sangat jauh dari kata ideal dan cenderung digunakan penguasa untuk mencapai tujuannya. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi , kebebasan berpendapat sangat penting.
”Karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,“ kata Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan, Jumat (1/12/2023).
Menurut Arief, sejatinya kebebasan berpendapat itu dijamin, dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap aparat, undang-undang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat dan antikritik.
“Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,“ jelas Arif.
Arif melihat adanya intimidasi dan tekanan diterima oleh orang-orang yang mengeritisi pemerintah. “Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,“ ucapnya.
Jika berharap pada hukum dan aparat penegak hukum, Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye.
”Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” ungkapnya.
Dengan begitu, lanjut dia, banyak penyelewengan sehingga sulit untuk percaya bahwa pemilu ke depan akan berlangsung jujur dan adil.
”Karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,“ kata Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan, Jumat (1/12/2023).
Menurut Arief, sejatinya kebebasan berpendapat itu dijamin, dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap aparat, undang-undang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat dan antikritik.
“Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,“ jelas Arif.
Arif melihat adanya intimidasi dan tekanan diterima oleh orang-orang yang mengeritisi pemerintah. “Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,“ ucapnya.
Jika berharap pada hukum dan aparat penegak hukum, Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye.
”Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” ungkapnya.
Dengan begitu, lanjut dia, banyak penyelewengan sehingga sulit untuk percaya bahwa pemilu ke depan akan berlangsung jujur dan adil.