Pegiat Hukum dan HAM Sebut Demokrasi Telah Dikooptasi Penguasa

Jum'at, 01 Desember 2023 - 21:38 WIB
loading...
Pegiat Hukum dan HAM Sebut Demokrasi Telah Dikooptasi Penguasa
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi, berunjuk rasa di perempatan Tugu Kota Yogyakarta, sebagai bentuk keprihatinan atas matinya demokrasi. Foto/iNews TV/Gunanto Farhan
A A A
JAKARTA - Demokrasi yang dijalankan saat ini dinilai sangat jauh dari kata ideal dan cenderung digunakan penguasa untuk mencapai tujuannya. Padahal, dalam sebuah negara demokrasi , kebebasan berpendapat sangat penting.

”Karena prinsip demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Dia berhak bicara agar kepentingannya didengar dan kebutuhannya dipenuhi oleh penguasa,“ kata Direktur LBH Jakarta Arief Maulana mengatakan, Jumat (1/12/2023).

Menurut Arief, sejatinya kebebasan berpendapat itu dijamin, dilindungi sebagai fondasi dari demokrasi. Namun kenyataan hari ini, sikap aparat, undang-undang yang berlaku seperti UU ITE, UU KUHP justru membelenggu suara rakyat dan antikritik.



“Jika kita membaca hasil dari Indikator Politik, 60-70% masyarakat Indonesia takut untuk berpendapat. Tidak percaya pemerintah bisa menerima kritik. Wajar kalau indeks demokrasi di Indonesia terjun bebas,“ jelas Arif.

Arif melihat adanya intimidasi dan tekanan diterima oleh orang-orang yang mengeritisi pemerintah. “Represi bukan hanya fisik, tetapi bisa juga di-bully, offline-online, akunnya bisa dibajak. Lebih besar ancamannya. Ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi,“ ucapnya.



Jika berharap pada hukum dan aparat penegak hukum, Arif menilai sekarang ini hukum justru dijadikan alat untuk melegitimasi praktik penyalahgunaan wewenang. Dia mencontohkan penggunaan aparat pemerintah seperti ASN, TNI-Polri, termasuk aparat desa beberapa waktu lalu dalam kampanye.

”Padahal mereka tidak boleh ikut politik praktis, berkampanye. Ketika kemudian mereka dimanfaatkan untuk melabrak aturan, itu jelas penyalahgunaan wewenang, tidak sesuai prinsip demokrasi. Tidak fair,” ungkapnya.

Dengan begitu, lanjut dia, banyak penyelewengan sehingga sulit untuk percaya bahwa pemilu ke depan akan berlangsung jujur dan adil.

Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai suasana kebatinan masyarakat tengah sensitif dengan isu demokrasi. Hal itu muncul ketika ada berbagai pelarangan yang menghambat kebebasan masyarakat sipil untuk bersuara dan menyampaikan pendapat.

"Saya kira ini suasana kebatinan yang dirasakan oleh masyarakat sipil, misalnya ada kasus pelarangan diskusi, pencegahan beberapa orang yang ingin diskusi di kampus karena ada intervensi kekuasaan, kemudian beberapa kawan yang mengeritik pejabat publik dilaporkan ke polisi, bahkan ada yang menghadapi proses hukum," jelasnya.

Gufron menyoroti beberapa kasus yang terjadi seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kini berhadapan dengan hukum dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Bahkan yang terbaru Ketua BEM UI Melki Sedek Huang juga dikabarkan menerima intimidassi akibat mengkritik Putusan MK Nomor 90.

“Saya kira itu beberapa tanda yang dirasakan masyarakat dari menurunnya kebebasan sebagai cerminan dari demokrasi yang mengalami regresi," tambah Gufron.

Berbagai kejadian itu juga dinilai menjadi potret yang secara induktif menggambarkan situasi umum hari ini. Kebebasan di ruang publik untuk kritis, berekspresi, berorganisasi, berdiskusi itu menghadapi dinamika politik elite yang anti terhadap kebebasan.

Gufron menilai, kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemunduran serius, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kemunduran demokrasi Indonesia semakin nyata saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 90 terkait batas usia capres dan cawapres yang dinilai melanggengkan politik dinasti.

“Demokrasi Indonesia mengalami de-konsolidasi, regresi. Indikatornya banyak. Puncak dari kemunduran itu salah satunya ditandai dengan politik dinasti yang dimuluskan lewat Putusan MK No.90," tegasnya.

Dia menambahkan, jauh sebelum Putusan MK muncul, publik juga sudah dihantui ketakutan untuk berbicara kritis di ruang publik. "Sebelumnya kan sudah banyak yang secara kritis menyoroti situasi kebebasan di ruang publik yang menurun. Orang takut untuk bicara, menyuarakan pandangan kritisnya ke pemerintah, presiden, DPR, dan elite politik. Beberapa di antaranya ada yang dilaporkan ke polisi, dikriminalisasi," kata Gufron.

Karena itu, Gufron menyayangkan penguasa saat ini yang muncul dari mekanisme demokrasi justru menyerang demokrasi. “Padahal mereka misalnya presiden, elite politik lain yang duduk dalam kekuasaan kan mereka muncul dari mekanisme politik demokrasi. Tapi justru mereka menjadi aktor yang menyerang demokrasi, kebebasan. Tentu itu menjadi sebuah ironi," katanya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1475 seconds (0.1#10.140)